Bahwa norma dalam Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu memang dimaksudkan sebagai peralihan dan setelah anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten kota diisi berdasarkan peraturan yang baru maka akan berlaku ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU Pemilu
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu terkait jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Daerah, telah memberikan kepastian hukum bagi seluruh penyelenggara Pemilu.

"Bahwa norma dalam Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu memang dimaksudkan sebagai peralihan dan setelah anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten kota diisi berdasarkan peraturan yang baru maka akan berlaku ketentuan Pasal 10 ayat (9) UU Pemilu," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Senin.

Apabila diletakkan dalam konteks tujuan pembentukan hukum, lanjut Saldi, tidak bisa dipungkiri pembentukan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu untuk menciptakan kepastian hukum yang adil bagi penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten kota.

"Apabila pembentuk undang-undang tidak membuat aturan peralihan tersebut, bukan tidak mungkin penyelenggara pemilu, termasuk KPU tingkat provinsi dan kabupaten kota akan berakhir masa jabatannya ketika peraturan yang baru diberlakukan, padahal berdasarkan peraturan yang lama masa jabatannya belum lagi berakhir," jelas Saldi.

Dalam konteks itulah semua penyelenggara pemilu termasuk para pemohon telah diberikan kepastian hukum yang adil oleh norma Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu.

"Dengan demikian, apabila dalil para pemohon diikuti justru akan memunculkan ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan anggota KPU provinsi dan kabupaten kota yang masa jabatannya masih tersisa yang diisi berdasarkan UU 15/2011," jelas Saldi.

Berkenaan dengan kekhawatiran para pemohon terkait adanya pergantian anggota KPU provinsi kabupaten kota berdekatan dengan jadwal pemungutan suara, kekhawatiran tersebut dinilai Mahkamah bukanlah disebabkan oleh ketentuan Pasal 567 ayat (1) UU Pemilu.

Karena secara faktual, terdapat pergantian sejumlah anggota KPU provinsi dan kabupaten kota yang berdekatan dengan tahap pemungutan suara.

"Masalah ini dapat diatasi dengan membuat desain pengisian anggota KPU yang disesuaikan dengan tahapan pemilu. Sehingga fakta pergantian yang dikhawatirkan oleh para pemohon tidak terjadi lagi, KPU dapat membuat desain proses seleksi yang mempertimbangkan tahap-tahap pemilu dimaksud," tutur Saldi.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut Mahkamah memutuskan menolak permohonan uji UU Pemilu yang diajukan oleh Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Aru Victor F. Sjair (Pemohon I) dan Ketua KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat Johanna Joice Julita Lololuan (Pemohon II).

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019