Jakarta (ANTARA) - Menjelang 22 Mei tahun 2019, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU) berkewajiban melakukan pengumuman tentang hasil pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) pada 17 April lalu, ternyata suhu politik semakin meningkat.

Pilpres diikuti dua pasangan, yakni nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta lawan tandingnya Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno dengan nomor urut 02. Namun, kekecewaan mendalam nampaknya masih menyelimuti salah satu kubu dengan terus menggalang dukungan dan simpati rakyat.

Hampir setiap hari, rakyat Indonesia harus mendengar dan melihat betapa sibuknya para pendukung kedua pasangan tersebut terus-menerus melempar isu dan atau "gosip" tentang kehebatan dan juga kelebihan jagoan-jagoan mereka. Jika sudah begini, mereka seakan lupa pada prinsip "Siap Menang dan Siap Kalah".

Dalam pertandingan apa pun juga, apakah di bidang olahraga, kesenian dan lain-lain hampir selalu dapat dipastikan hanya ada satu juara pertama dan yang lainnya juara kedua yang lazim disebut "runner up".

Maka harus diterima keadaan bahwa dalam Pilpres ini hanya bakal muncul satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih. Yang lainnya cukup menempati peringkat kedua.

Rakyat Indonesia pada dasarnya sudah dapat menebak siapa yang bisa menjadi pimpinan negara mulai 20 Oktober 2019 selama lima tahun mendatang. Namun, sayang 1.000 sayang menjelang pengumuman KPU tersebut, terus muncul berbagai isu.

Selama beberapa hari terakhir ini di Jakarta khususnya dan di Tanah Air pada umumnya muncul omongan atau ucapan seorang politisi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) "tak ada gunanya".

Padahal, jelas sekali bahwa lembaga negara yang tertinggi di bidang hukum ini selalu melakukan sidang secara terbuka dan bersifat independen sehingga setiap warga negara Indonesia dapat terus-menerus mengecek alias memeriksanya.

Kalau ucapan politisi itu benar bahwa MK "tidak ada gunanya", sebaliknya rakyat pasti sudah tahu betapa banyak saudara-saudara mereka yang mengadukan masalahnya terutama di bidang hukum. Dan ternyata putusan MK tersebut praktis diikuti dan dipatuhi.

Sementara itu, seorang politisi lainnya meminta rakyat untuk tidak membayar pajak terhadap pemerintahan yang bakal berkuasa selama lima tahun mendatang. Alasan sang politisi tersebut adalah presiden dan wakil presiden lima tahun mendatang itu tidak sah, tidak legitimate.

Kedua politisi tersebut sah-sah saja untuk berbicara apa pun juga terutama yang menyangkut masalah hukum.

Akan tetapi sadarkah atau tahukah mereka bahwa sebagian rakyat Indonesia hanya berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP), bahkan tidak tamat? Bagi rakyat Indonesia itu, yang paling utama atau pokok bagi mereka adalah mencari uang untuk bisa makan bagi anggota keluarganya, bisa bersekolah serta punya rumah yang memadai.

Tanpa bermaksud merendahkan atau menganggap enteng saudara sebangsa dan se- Tanah Air tersebut, maka masalah politik adalah urusan nomor sekian, atau terakhir.

Ikhlaskan

Sebagaimana disebutkan di atas maka dapat disebutkan bahwa sikap dasar "Siap Menang dan juga Siap Kalah" harus diakui oleh semua politisi terutama yang kini telah memjadi wakil rakyat yang terhormat di Senayan, Jakarta.

Kemenangan dan juga sebaliknya kekalahan dalam pemilu dan pileg lima tahunan tersebut harus disadari seharusnya dianut oleh politisi yang mana pun juga dan dari partai politik yang mana pun juga serta koalisi apa pun juga.

Kalau hasil pada Pemilu baik Pilpres maupun Pileg 2019 telah diumumkan oleh KPU maka masih sangat terbuka peluang untuk menang pada tahun 2024, apalagi Joko Widodo telah menegaskan bahwa dia tidak mempunyai beban untuk maju lima tahun mendatang.

Peraturan sudah mengharuskan bahwa setiap warga negara Indonesia hanya boleh maksimal dua kali menjadi seorang presiden.

Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla biar bagaimanapun juga telah memperlihatkan bahwa dirinya tidak mau mengajukan hak uji materi (judicial review) kepada MK agar bisa menjadi "orang kedua" untuk ketiga kalinya dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, wahai para politisi di Tanah Air, sadarlah untuk belajar bicara tak tidak asal bunyi (asbun). Sadarkah para politisi bahwa banyak warga negara yang tidak berniat atau berminat untuk mendengar omongan atau ucapan yang sekelas asbun itu.

Masyarakat sangat mendambakan ucapan para politisi yang sangat berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti di bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan yang amat langsung berkaitan dengan kehidupan mayoritas rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mayoritas rakyat Indonesia sama sekali tidak membutuhkan omongan para politisi yang membubung tinggi di langit, apalagi yang cuma berkaitan dengan pemilihan umum yang diselenggarakan setiap lima tahun.

Karena itu, mumpung KPU RI baru akan mengumumkan hasil rekapitulasi atau penghitungan suara pada tanggal 22 Mei, maka para politisi yang telah ngomong "seenak perutnya sendiri" untuk berhenti bicara semaunya sendiri. Apalagi, tidak kurang dari 662 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ditambah sekitar 29 anggota Polri dan tiga prajurit TNI telah gugur dalam menjalankan tugas negara itu.

Rakyat NKRI memang membutuhkan presiden, wakil presiden, serta anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, kabupaten serta kota yang amanah, yakni sanggup melaksanakan harapan rakyat secara jujur.

Jangan ada lagi wakil rakyat yang duduk di Senayan, Jakarta dan kemudian bicara dengan "gagahnya", padahal dia dipecat atau diberhentikan oleh partai politiknya. Sudah siapkah para pemimpin untuk melaksanakan amanah rakyat?

*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.

Copyright © ANTARA 2019