Jakarta (ANTARA) - Direktur Rumah Mediasi Indonesia, M Ridha Saleh meminta elite politik untuk memberikan contoh berdemokrasi yang konstitusional dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.

"Elit politik diharapkan memberikan contoh bagaimana melaksanakan demokrasi yang konstitusional," kata Ridha di Jakarta, Senin.

Mantan anggota Komnas HAM ini mengatakan, elite politik seharusnya menghargai masyarakat yang sudah memberikan hak pilihnya di Pemilu Legislatif dan Pilpres 17 April lalu.

Dikatakannya, berdasarkan data yang diperolehnya partisipasi pemilih di Pemilu 2019 cukup tinggi, mencapai 80,90 persen. Angka itu melebihi target KPU sebesar 77,5 persen.

"Ini menggambarkan bahwa partisipasi dan kesadaran politik warga negara akan kedaulatan mereka dalam menentukan masa depan bangsa semakin menggembirakan, fakta tersebut tidak bisa diartikan semata-mata karena masyarakat antusias untuk memilih presiden dan wakil presiden atau, untuk calon legislatif, lebih dari itu harus dilihat bahwa pelaksanaan pemilu tahun ini jauh lebih demokratis dan tingkat kepercayaan dan harapan rakyat terhadap pemerintah jauh lebih tinggi," jelasnya.

Partisipasi politik rakyat ini, kata Ridha, harus diletakkan dalam konteks besar politik Indonesia yakni hak pilih bukan semata-mata berarti hak setiap orang untuk memilih calon yang dipilihnya, melainkan arti dari kemuliaan hak pilih itu terletak pada keinginan dan partisipasi politik setiap warga negara sebagai pemangku hak pilih untuk menghormati konstitusi.

Baca juga: MUI: Mari jaga persaudaraan usai Pemilu

"Pada pemilu kali ini, kita masih melihat kendala teknis dari penyelenggara pemilu yang menyebabkan pelaksanaan pemilu di sejumlah daerah bahkan di luar negeri terjadi insiden hilangnya hak pilih warga negara, karena rumitnya teknis dan baru pertama kalinya kita melaksanakan pemilihan umum secara bersamaan, namun kita juga harus memahami bahwa pemilu kali ini dipersiapkan dengan niat baik oleh penyelenggara pemilu," tuturnya.

Oleh karena itu, Ridha berpesan agar semua pihak bersabar karena masih ada dua rangkaian pemilu yaitu perhitungan dan penetapan pemenang.

Bahkan ada kesempatan waktu bagi yang kalah untuk menggunakan hak hukumnya dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi jika penyelenggaraan pemilu dianggap telah terjadi kecurangan yang terorganisir, sistemik dan meluas.

Saling klaim
Sementara itu, pengamat politik, Ujang Komarudin menyayangkan fenomena saling klaim kemenangan, sebab proses perhitungan masih berlangsung.

"Demokrasi dan kontestasi politik memang mengharuskan kedua kubu yang bersaing untuk memiliki kesabaran tingkat tinggi dalam menunggu hasil perhitungan dari KPU," kata Ujang.

Menurut Ujang, dengan telah usainya perhelatan pesta demokrasi lima tahunan, semua pihak seharusnya bisa lebih mencairkan suasana. Bukan justru saling klaim kemenangan hanya hanya akan menambah suasana politik makin panas.

Saling klaim kemenangan di banyak daerah atau provinsi, kata Ujang, tidak akan bermakna apa-apa karena capres dan cawapres dengan suara terbanyaklah yang akan menang.

"Menang di banyak daerah itu tidak berarti menang Pilpres, jika tidak mendapatkan suara terbanyak. Mari kita arif dan bijaksana dalam menilai ketentuan perundang-undangan. Jangan menafsirkan sepenggal-sepenggal sehingga rakyat tidak mendapatkan informasi yang benar," ujarnya.

Pencoblosan sudah berjalan dengan aman, damai, dan tertib. Mari jaga kerukunan dan persaudaraan dengan tidak saling mengklaim kemenangan, kata Ujang.

Baca juga: PBNU imbau masyarakat jaga persatuan dan kesatuan usai Pemilu 2019
Baca juga: Jimly anjurkan Jokowi-Prabowo ngopi bareng

 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019