Kalau pasar yang besar saja kita kalah, kemudian kita mau bertarung dengan negara-negara di wilayah yang postur ekonominya relatif kecil, ini bahaya karena persaingan juga akan sama
Jakarta (ANTARA) - Indonesia for Global Justice (IGJ) mengkritik strategi pemerintah, yang ingin menyasar pasar ekspor nontradisional, sementara pasar utama dunia belum tergarap dengan optimal.

"Pasar-pasar dunia tidak kita kerjakan dengan serius, tapi mau buka pasar baru. Logikanya kalau pasar besar itu sudah optimal kita kerjakan, kita bisa sasar pasar baru sebagai ekspansi atau diversifikasi arah," kata Research Associate IGJ Hafidz Arfandi dalam diskusi Policy Center ILUNI UI di Jakarta, Kamis.

Hafidz menuturkan pasar baru seperti Amerika Serikat, Uni Eropa atau Australia merupakan pasar besar utama yang seharusnya bisa digarap dengan baik. Namun, impor ketiga pasar itu dari Asia justru sangat rendah.

Indonesia pun, lanjut dia, masih kalah jauh dari Thailand, Malaysia dan Vietnam untuk bisa mengekspor ke Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia.

"Kalau pasar yang besar saja kita kalah, kemudian kita mau bertarung dengan negara-negara di wilayah yang postur ekonominya relatif kecil, ini bahaya karena persaingan juga akan sama," ungkapnya.

Hafidz berpendapat ketimbang sesumbar untuk menggarap pasar baru, alangkah baiknya jika Indonesia berupaya untuk meningkatkan daya saing produk.

"Maka yang perlu kita fokuskan adalah daya saing daripada mengalihkan pasar kita," katanya.

Meski demikian, Hafidz juga mengatakan membuka pasar baru, utamanya ke Amerika Selatan, Afrika dan Asia Tengah, juga tetap penting dilakukan dengan fokus pada produk unggulan industri makanan, kimia dan farmasi, tekstil dan alas kaki.

"Kerja sama dengan Amerika Selatan yang punya karekteristik sama dengan kita juga bisa didorong," ujarnya.

Baca juga: 2019, Menperin targetkan ekspor otomotif tembus 450 ribu unit
Baca juga: BPS: Ekspor industri turun bukan deindustrialisasi

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019