Kupang (ANTARA) - Sebanyak 200 hektare hutan mangrove atau hutan bakau di desa Aeramo, kecamatan Aesesa, kabupaten Nagekeo, NTT rusak dan terancam punah akibat alih fungsi lahan menjadi tambak ikan bandeng oleh pemerintah kabupaten (pemkab) Nagekeo.

Warga desa Aeramo, Yakobus Mapa Ahi saat menghubungi Antara dari Nagekeo ,Kamis pagi mengatakan bahwa dirinya menyayangkan adanya tambak ikan bandeng ilegal yang dilakukan oleh Pemkab setempat.

“Sejujurnya kami warga di desa ini tidak tahu menahu ketika pertama kali ditebang ratusan pohon bakau di sini. Kami baru mengetahui setelah adanya papan pengumanan yang bertuliskan bahwa kawasan itu yang akan dijadikan tambak ikan bandeng,” katanya.

Ia mengkhawatirkan penebangan pohon bakau di lokasi itu dapat mengakibatkan bencana seperti air laut naik atau tsunami akibat hutan bakau yang dijadikan sebagai pohon pelindung pantai sudah ditebang semuanya.

Saat ini kata Yakibus sejumlah besar tambak ikan telah terbengkalai ditinggalkan warga karena tidak adanya ikan yang dihasilkan dari tambak ikan itu. Bahkan,  keberadaan burung migran yang sering singgah untuk berkembang biak di kawasan pantai utara itu juga sudah jarang terlihat.

“Pada 2018, pemkab Nagekeo juga sempat menebang ratusan pohon di daerah itu dengan alasan membuat jalan. Justru hal itu semakin memperparah keadaan di daerah itu,”ujarnya.

Yakabus juga menambahkan pengrusakan kawasan hutan mangrove di daerah itu juga mengakibatkan pihaknya hingga saat ini kesulitan mendapatkan kerang dan ikan padahal sebelum adanya penebangan itu, ternyata  ikan dan kerang di daerah itu berlimpah.

Dia yang mengaku mewakili warga di desa Aeramo itu sangat khawatir karena setiap tahun daerah pantai terus meluas mencapai lima meter akibat abrasi pantai .

“Mangrove seharusnya menjadi benteng pertahanan telah ditebang hanya untuk tambak ikan bandeng sehingga sangat mengancam kehidupan anak cucu kami ke depannya,” tandas Yakabus.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nagekeo,  Marsel Mudha ketika dihubungi dari Kupang mengakui selama ini kajian lingkungan untuk pembangunan tidak berjalan sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove.

“Secara aturan seharusnya tidak boleh ada pembangunan pada seratus meter dari pasang tertinggi air laut,” katanya.

Dia mengaku pihaknya sudah pernah meminta ijin ke dinas perikanan untuk melakukan kajian lingkungan di lokasi itu pascapembukaan lahan tambak ikan itu.

Namun pihaknya belum pernah mendapatkan permohonan ijin tentang kajian lingkungan untuk pembangunan tambak dari dinas perikanan .

“Seharusnya ada kajian lingkungan ketika ada pembangunan tambak ikan di daerah pesisir,” ujar Marsel.

Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Alex Sariwating
Copyright © ANTARA 2019