Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi) akan mengajukan uji materi (judicial review) UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu Serentak kepada Mahkamah Konstitusi untuk pasal 449 ayat 2 dan ayat 5, pasal 509 serta pasal 540 ayat 2 yang berisi dua poin, yakni pembatalan pelarangan publikasi di masa tenang dan boleh mempublikasikan hasil hitung cepat begitu TPS di wilayah Indonesia bagian barat ditutup yang di dalamnya termasuk publikasi hasil exit poll.

Ketua Umum Aropi Sunarto Ciptoharjono dalam siaran persnya, di Jakarta, Jumat, mengatakan, Aropi mengajak seluruh elemen masyarakat dan lembaga terkait, seperti lembaga penyiaran, asosiasi jurnalis, dan seluruh lembaga survei untuk mendukung langkah-langkah judicial review itu.

Selain itu, Aropi mengimbau kepada lembaga legislastif untuk lebih cermat lagi dalam proses penyusunan undang-undang agar kasus serupa tidak terulang kembali.

"Aropi memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempercepat putusan atas permohonan judicial review ini sebelum masa tenang pemilu," kata Sunarto yang dihadiri Ketua Dewan Pembina Aropi, Denny JA.

Sunarto mengatakan, pada Pemilu 2019 keinginan masyarakat untuk tahu lebih cepat hasil pemilu terkendala oleh peraturan pemilu yang tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 449 ayat 2 dan ayat 5 yang berisi tentang pengumuman hasil survei yang tidak boleh dilakukan di masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil hitung cepat hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Waktu Indonesia Barat.

Pasal 509 yang berisi ancaman hukuman pidana pada pihak yang mengumumkan hasil survei, serta pasal 540 ayat 2 yang berisi ancaman pidana penjara dan denda apabila lembaga survei masih melakukan tindakan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 449 ayat 2 dan 5.

Kasus ini sebetulnya sudah ada yurisprudensi yang jelas. Pada 2008, MK mengabulkan uji materi yang diajukan Aropi terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pasal 188 ayat 2,3, dan 5 serta pasal 228 dan pasal 255 tertuang penjelasan yang memungkinkan peneliti lembaga survei dijerat hukum pidana apabila mengumumkan hasil survei pada masa tenang dan mempublikasikan perhitungan cepat di hari H pemilu.

Pada tahun 2014, MK juga mengabulkan uji materi oleh Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) terkait UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang tersebut memuat peraturan yang serupa dengan UU Nomor 42 Tahun 2008 yang berisi pembatasan penyiaran hitung cepat 2 jam setelah TPS ditutup di wilayah Waktu Indonesia Barat.

Sunarto menambahkan, perkara semacam ini seharusnya tidak perlu terulang kembali karena Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan judicial review yang diajukan AropiI dan Persepi dengan substansi permasalahan serupa. Apabila undang-undang ini tetap digunakan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat putusan MK Nomor: 24/PUU-XII/2014 masih berlaku.

Pengajuan judicial review terhadap undang-undang yang mengancam hak keingintahuan masyarakat terkait hasil hitung cepat juga dilakukan dengan alasan-alasan yang sangat berdasar. Pertama, rilis data hitung cepat oleh lembaga survei merupakan hasil perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang menjawab kebutuhan masyarakat akan keterbukaan informasi seputar pemilu.

"Jika pemanfaatan teknologi ini terhalang oleh undang-undang yang membatasi kegiatan lembaga survei, maka sama saja dengan upaya untuk kembali ke belakang," kata Sunarto pula.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019