Secara keseluruhan penangkapan kepiting khususnya rajungan telah mengkhawatirkan
Jakarta (ANTARA News) -  Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Moh Abdi Suhufan menyatakan penangkapan komoditas kepiting dan rajungan masih berada dalam kondisi mencemaskan sehingga tepat bila dilakukan pembatasan.

"Secara keseluruhan penangkapan kepiting khususnya rajungan telah mengkhawatirkan," kata Moh Abdi Suhufan, di Jakarta, Senin.

Menurut dia, dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ada sebanyak dua WPP yang sudah eksploitasi berlebihan.

Moh Abdi Suhufan berpendapat bahwa hal tersebut sudah mencemaskan karena selama ini ada keterbatasan informasi dan pencatatan pada perikanan skala kecil rajungan, terutama untuk kebutuhan traceability atau keterlacakan.

"Yang harus dilakukan pemerintah agar secepatnya memberlakukan pemanfaatan perikanan rajungan yang berbasis WPP dan kedua agar daerah dapat lebih berinisiatif melakukan pengelolaan perikanan rajungan sesuai karakteristik WPP," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan penangkapan kepiting selama ini lebih banyak dari hasil penangkapan dari alam yang dilakukan secara tidak terukur dan cenderung eksploitatif.

"Akibatnya terjadi kelebihan tangkapan dan depleting stok sumber daya kepiting di alam," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto.

Ia mengungkapkan bahwa fakta di lapangan menunjukkan populasi kepiting baik jumlah maupun ukuran menurun sejak tahun 1990, ini dapat dilihat di eksportir dari Jakarta, Bali, dan Surabaya, yang sangat sulit mendapatkan ukuran di atas 1 kg.

Berdasarkan hasil kajian terkait estimasi potensi, lanjutnya, terlihat bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan tingkat pemanfaatan sumber daya kepiting dan rajungan di 10 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPN RI) telah menunjukkan bahwa status pemanfaatan kepiting rajungan berada pada kategori tereksploitasi penuh hingga eksploitasi berlebih.

"Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 tahun 2016, jadi anggapan bahwa pemerintah sengaja mematikan usaha kerapu masyarakat itu tidak benar, sehingga ini harus diluruskan," tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa regulasi tersebut tidak melarang ekspor kepiting dan rajungan, namun membatasi ukuran ekspor, kondisi bertelur/tidak bertelur dan musim penangkapan.

Berdasarkan data BPS (2018) tercatat rata-rata volume ekspor kepiting rajungan periode 2012 - 2017 tumbuh 0,67 persen per tahun, sedangkan nilai ekspor tumbuh 6,06 persen per tahun.

Baca juga: Tak lagi andalkan alam, kini rajungan bisa dibudidaya di tambak

Baca juga: Indonesia pasarkan rajungan pertama ke Arab Saudi

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018