Harus diakui secara semantik ujaran atau pernyataan kebencian tak punya batas-batas yang tegas, definitif meskipun pada ujaran tertentu batas-batas itu sangat jelas dan nyata.

Ketika seorang netizen berkomentar dengan dua kata-kata keras dalam bahasa Jawa yang berbunyi: "Ndasmu, Gus" atas pernyataan KH Mustofa Bisri, tokoh Nahdlatul Ulama yang dikenal rendah hati, santun dan toleran yang akrab dipanggil Gus Mus, ujaran kebencian yang terkandung dalam komentar keji itu jelas batas-batasnya.

"Ndas" adalah varian kategori ujaran kasar untuk "sirah" yang artinya "kepala". Kira-kira untuk bahasa lisan dialek Betawi ujaran itu sepadan dengan: "Pala lo".

Gus Mus pribadi tak memperlihatkan reaksi emosional bahkan memaklumi ujaran kebencian itu. Gus Mus mengatakan telah memaafkan dan memaklumi penulis ujaran kebencian itu.

Namun tidak demikian dengan sejumlah warganet yang bersimpati kepada Gus Mus. Mereka umumnya menyebut komentar yang ditujukan kepada kiai yang juga penyair itu sudah keterlaluan, sangat kasar dan biadab.

Tampaknya tak begitu mudah mencapai maqom sebijaksana Gus Mus yang bisa berdamai menghadapi ujaran kebencian yang ditujukan kepada dirinya. Dengan kata lain, tidak mudah untuk menerapkan apa yang dianjurkan kaum spiritualis untuk berdamai dengan ketidaknyamanan.

Pelaku ujaran kebencian yang dilontarkan kepada tokoh publik bisa dijerat pasal-pasal yang mengatur perkara ujaran kebencian. Bahkan, warga biasa pun dapat mengadukan penulis ujaran kebencian ke polisi untuk diproses secara legal.

Namun, sang penegak hukum pasti akan kewalahan jika setiap ujaran kebencian perlu ditangani dan pelakunya perlu disidang di meja hijau. Dalam perdebatan di media sosial di antara sesama warganet, ujaran kebencian melimpah ruah.

Ada warganet yang namanya sudah kesohor yang punya ketahanan mental untuk melayani lawan-lawan diskusinya yang gampang mengujarkan kata-kata bernada membenci, bahkan tak jarang dengan menyebar fitnah lewat media sosial seperti Twitter atau Facebook.

Namun, bagi yang tak punya daya tahan mental untuk berkelahi secara verbal dengan lawan-lawannya yang gampang mengutarakan kalimat-kalimat sarkastik, langkah menghindar dengan menghapus pertemanan atau memutus untuk berelasi dengan netizen yang gemar berkata-kata kasar menjadi pilihan terbaik mereka.

Tampaknya produksi ujaran kebencian di media sosial tak akan surut secara total karena di media sosiallah para warganet itu memperoleh ruang untuk melampiaskan kekesalan, amarah dan kebencian mereka karena berbagai faktor penyebab, entah itu yang menyangkut persoalan personal, ekonomi, sosial atau pun politik.

Media sosial juga memberi ruang yang aman bagi warganet untuk berkata-kata sepuas-puasnya karena di sanalah mereka dapat hadir tanpa memberikan identitas yang sebenarnya.

Berbagai nama samaran yang kocak, konyol maupun yang sangat serius bisa ditemui di media sosial, terutama di Twitter.

Jika produksi ujaran kebencian tak bisa dihentikan, tentu pilihan sikap untuk berdamai dengan ujaran kebencian harus diprioritaskan. Banyak kiat yang bisa dicoba. Pertama, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan, apa pun bentuknya, selalu dipengaruhi oleh situasi kejiwaan pelaku.

Netizen yang pemarah akan tersulut perasaannya jika tersinggung oleh kata-kata yang dipandang ditujukan kepada dirinya. Watak pemarah cenderung eksplosif dalam kondisi psikis yang terluka saat perasaan tersinggung melanda diri.

Kiat kedua untuk berdamai dengan ujaran kebencian adalah tak melayaninya dalam bentuk komentar balik. Kiat ketiga dan langkah ini agaknya yang paling penting untuk dicoba: yakni memperlakukan ujaran kebencian sebagai objek melatih diri bersikap tenang di tengah rimba ujaran kebencian.

Ujaran kebencian yang dilontarkan para netizen di saat kampanye politik untuk menghantam lawan-lawan politik mereka harus dipandang sebagai kekalahan dalam berargumen secara rasional.

Kritik yang dilontarkan pada tindakan, kebijakan, gagasan dan bukan pada pribadi seseorang tak perlu dipandang sebagai ujaran kebencian.

Namun para figur publik pun perlu membiasakan diri untuk menghadapi kritik yang menyangkut pribadi sebab itulah salah satu risiko menjadi tokoh publik.

Di media sosial yang keanggotaannya tertutup seperti grup WhatsApp, para anggota yang bersuara ketus, galak, tak santun bisa disingkirkan dari keanggotaan. Hanya pihak yang berwenang yang punya otoritas untuk menutup akun pengujar kebencian yang dianggap meresahkan masyarakat.

Namun, cara terbaik menghadapi para pengujar kebencian di media sosial adalah membentengi diri untuk siap berdamai dengan pernyataan-pernyataan yang tak mengenakkan di benak dan perasaan.

Ujaran kebencian yang diproduksi secara sistematis dan dijadikan industri untuk pemenangan pemilu sesungguhnya jalan bunuh diri bagi politikus yang mendukung dana produsen ujaran kebencian itu.

Yang membuat industri ujaran kebencian itu sampai saat ini masih bertahan adalah faktor masih banyaknya netizen yang mudah termakan oleh isu-isu primordial dan sektarian yang dikemas dalam bentuk politisasi agama.

Namun, yang bisa dijadikan landasan optimisme dalam menghadapi ujaran kebencian di masa depan adalah bahwa kedewasaan netizen akan meningkat seiring dengan semakin banyaknya fakta bahwa media sosial yang merupakan bagian integral dari perkembangan teknologi informasi pada akhirnya cenderung akan mencerdaskan orang ketimbang memperbodohnya.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018