Mereka tidak berani menggunakan kapal dengan gross ton besar. Selain mencari ikan dengan waktu lama, mereka tidak memiliki modal,"
Gunung Kidul (ANTARA News) - Kelompok usaha bersama nelayan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menolak tawaran pengadaan 10 unit kapal fiberglass 10 gross ton dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan alasan terkendala modal untuk mengoperasikannya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Gunung Kidul Agus Priyanto di Gunung Kidul, Sabtu, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada kelompok-kelompok nelayan yang tergabung dalam kelompok usaha bersama (KUBE).

"Tidak ada satu pun KUBE nelayan di Gunung Kidul yang berani mengajukan proposal bantuan kapal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kami tidak tahu alasannya. Namun, kami sudah melakukan sosialisasi kepada kelompok-kelompok nelayan," kata Agus.

Berdasarkan pengalaman pemberian bantuan kapal ukuran besar untuk nelayan di Gunung Kidul, mereka hanya ingin melaut 1 hingga 2 hari.

Kalau kapal ukuran 10 gross ton, lanjut dia, melautnya membutuhkan waktu minimal 4 hari dan modalnya sangat besar, yakni Rp20 juta.

Menurut dia, nelayan masih menggunakan perahu motor tempel (PMT) atau perahu jukung, dan mengoperasikan kapal di bawah 7 gross ton. Mereka melaut hanya sehari dan modal yang dikeluarkan hanya untuk membeli bahan bakar minyak (BBM).

"Mereka tidak berani menggunakan kapal dengan gross ton besar. Selain mencari ikan dengan waktu lama, mereka tidak memiliki modal," katanya.

Agus mengatakan bahwa pihaknya pernah menawari nelayan lima unit bantuan kapal dengan harga Rp800 juta per unitnya. Namun, tawaran tersebut juga ditolak nelayan. Padahal, nelayan dapat menginginkan model kapal yang akan dibuat dan melihat pembuatannya.

"Nelayan tetap tidak mau tawaran kapal yang kami tawarkan. Mereka memilih mengoperasikan PMT yang daya tanggapnya sangat kecil," katanya.

Menurut dia, nenek moyang nelayan Gunung Kidul bukan seorang pelaut. Untuk menanamkan karakter jiwa bahari kepada nelayan Gunung Kidul, bukan persoalan yang mudah. Mereka belum menganggap menjadi nelayan akan membuatnya kaya dan menjadi profesi yang dapat menjamin kehidupan mereka.

Nelayan di Gunung Kidul sendiri dibagi dalam beberapa kategori, di antaranya nelayan utama dan nelayan sambilan. Nelayan utama biasanya nelayan yang sudah profesional dan mengandalkan hidupnya dari laut. Kemudian, nelayan sambilan itu biasanya 50 persen untuk melaut dan 50 persen bertani, atau 70 persen bertani dan 30 persen melaut.

"Gunung Kidul kekurangan nelayan profesional. Artinya, Gunung Kidul krisis nelayan profesional," katanya.

Pewarta: Sutarmi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016