Jakarta (ANTARA News) - Butir-butir salju mulai turun Kamis pagi itu sekitar pukul 09.30 waktu Davos, Swiss, atau sekitar 17.30 WIB.

Di tengah udara dingin, minus 6-7 derajat celcius yang mengigit hingga ke tulang dan pipi, serta jalanan yang licin oleh salju yang mulai menjadi es, kami berjalan kaki menyusuri jalan menurun dari apartemen menuju Hotel Morosani yang terletak di tengah kota Davos.

Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Meski jalanan licin dan jejak kaki dilangkah sangat hati-hati agar tidak terjatuh, kami sampai di hotel yang dijaga ketat itu lebih awal dari jadwal.

Sebelum pukul 10.00 kami sudah sudah sampai di lobby hotel, merelakan mantel dingin kami dilepas untuk dipindai bersama tas dan barang bawaan lainnya oleh petugas keamanan di tempat menginap para pemimpin perusahaan global serta pejabat pemerintahan yang hadir pada Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang berlangsung pada 21-24 Januari 2015 itu.

Cukup lama kami menunggu sambil berdiri, karena kursi di lobbi penuh, sebelum akhirnya, pukul 10.30 waktu setempat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil menyapa, dan kami memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan media masing-masing dari LKBN Antara, Kompas, dan Bisnis Indonesia.

"Kapan datang?," sapa mantan Menteri BUMN itu ramah kepada kami, sebelum diberondong dengan sejumlah pertanyaaan.

Meski sudah beberapa kali jadi menteri, Sofyan mengaku baru pertama kali datang ke forum yang dihadiri lebih dari 1.000 CEO (chief executive officer) dari berbagai perusahaan kelas dunia itu, ratusan perwakilan pemerintahan, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat, serta jurnalis itu.

"Forum ini ternyata sangat bagus, karena pesertanya orang-orang yang kompeten di bidangnya," ujar Sofyan.

Ia nampak terkesan setelah hadir pada sejumlah sesi diskusi hari pertama di WEF dan pertemuan dengan petinggi perusahaan minyak dan gas, serta asosiasi di sela-selanya.

"Tadinya saya pikir, ini (WEF) hanya forum kongko-kongko," ujarnya mengawali cerita tentang manfaat WEF bagi Indonesia.

Nyatanya, menurut Sofyan, pada forum tersebut dia mendapat wacana baru tentang banyak hal, termasuk pengelolaan minyak dan gas (migas), karena forum tersebut tidak hanya bicara soal ekonomi, tapi juga sosial, politik, dan lingkungan, teknologi.

"Kami mendapat perspektif baru untuk melihat masalah ekonomi, industri, secara global. Selama ini lebih lokal," katanya.

Salah satu yang nampak membuatnya terkesan adalah tren global sejumlah pemain migas dunia untuk menunda atau membatalkan proyek mereka.

"Proyek marginal mulai di tinggalkan, proyek besar dibatalkan, mereka bicara tentang skala keekonomian dalam bisnis migas global," katanya. Hal itu dilakukan mereka, terkait harga minyak mentah yang terus menurun. Bahkan, para pakar dan pemain dunia, memperkirakan harga minyak mentah sulit kembali ke tingkat 100 dolar/barel dalam jangka menengah

Sofyan pun menyayangkan perusahaan migas nasional PT Pertamina (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak hadir di forum bergengsi tersebut.

Dari kalangan pemerintahan hanya Kementerian Perdagangan yang selalu hadir pada pertemuan tahunan WEF di Davos.

Tahun ini, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyempatkan hadir pada hari ke-3 forum dunia itu, setelah kunjungan kerjanya ke Jepang.

Meski jadwal kunjungannya singkat hanya dua hari, Mendag memanfaatkan WEF untuk melakukan sejumlah pertemuan bilateral, antara lain dengan Amerika Serikat melalui USTR (US Trade Representative), Uni Eropa, Swiss, dan Jepang (JETRO), serta pertemuan informal anggota WTO.

"Forum ini bisa menjadi sarana promosi Indonesia untuk menawarkan kerja sama perdagangan, industri, dan investasi, karena para CEO kelas dunia dan pejabat tinggi sejumlah negara hadir di sana," kata Rachmat yang juga baru pertama kali hadir di pertemuan tahunan anggota WEF.


Ekslusif

Tidak semua perusahaan dan perwakilan negara bisa diundang pada pertemuan yang setiap tahun diselenggarakan WEF, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan. Klaus Schwab, seorang profesor di bidang bisnis dari Universitas Jenewa.

Organisasi yang didirikan tahun 1971 di Jenewa, Swiss itu, menerapkan persyaratan yang ketat bagi perusahaan yang ingin menjadi anggota.

Salah satu persyaratannya adalah perusahaan tersebut mempunyai perputaran uang lebih dari lima miliar dolar AS atau sekitar Rp62,5 triliun setahun dengan asumsi Rp12.500/dolar AS.

Selain itu, perusahaan tersebut juga harus masuk dalam jajaran perusahan top dan memainkan peranan penting bagi masa depan industri dan negara masing-masing.

Itupun masih diseleksi lagi. Keanggotaan dibagi dalam beberapa tingkatan, sesuai dengan iuran keanggotaan mereka, sehingga keikutsertaan dalam forum pun berbeda-beda.

Grup Sinar Mas, misalnya, yang menjadi anggota dengan kriteria industrial partner sejak Januari 2012, bisa mendapat dua undangan untuk hadir di pertemuan WEF ke-45 di Davos tersebut.

Selain Managing Director Grup Sinar Mas Gandhy Sulistyanto, CEO Sinar Mas Agribusiness & Food Franky O Widjaja juga diundang, meski berhalangan hadir.

"Undangannya tidak bisa diwakilkan," kata Gandhy Sulistyanto yang ditemui saat makan siang di hotel tempat menginap para pejabat tinggi dan bos perusahaan dunia itu.

Untuk mendapat fasilitas itu, pihaknya harus membayar iuran sebesar 250.000 swiss frank (Rp3,55 miliar dengan asumsi Rp14.200/swiss frank) sebagai industrial partner dan sebesar 27 ribu swiss frank (Rp383,4 juta) untuk forum CEO 27.000 frank.

Pintarnya, bos Grup Sinar Mas Franky O Widjaja memanfaatkan fasilitas WEF itu untuk juga menyuarakan inisiatif Indonesia dalam hal keamanan pangan yang menjadi visi baru WEF.

Franky O Widjaja yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pertanian dan Pangan, memasukkan agenda pertemuan tingkat tinggi Kadin bertajuk "feed Indonesia, feed the World" dalam jadwal WEF, sehingga potensi pertanian dan suara Indonesia terkait masalah pangan didengar dunia.

Sementara itu Presdir PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto yang datang ke Davos, menilai banyak manfaat dari ajang tersebut.

"Ini pertemuan tahunan para CEO dunia, karena hanya CEO yang boleh hadir di sini," katanya.

Prijono yang mengaku beberapa tahun terakhir datang ke pertemuan WEF di Davos itu memanfaatkan ajang tersebut untuk ketemu CEO mitra dan calon mitra Astra.

"Di sini saya melakukan banyak pertemuan dengan sesama CEO mitra Astra, antara lain Standard Chartered mitra kami di Bank Permata," kata Prijono yang membawahi 183 perusahaan dibawah Grup Astra.


Tren

Berbeda dengan Sinar Mas dan Astra, Bank Mandiri yang diwakili oleh Dirutnya Budi Gunadi Sadikin dan Direktur Perbankan Komersial Sunarso mengaku banyak memanfaatkan forum tersebut untuk mendapat informasi tentang tren ekonomi global.

Apalagi pada pertemuan tahunan kali ini WEF mengangkat tema "New Global Context" yang mengungkap berbagai masalah dunia terkini di tengah harga minyak yang terus menurun, krisis di Uni Eropa, dan Amerika Serikat, serta masalah politik di Ukraina, Irak, dan Rusia.

"Saya tertarik hadir pada sesi yang terkait pertanian dan energi," kata Sunarso yang tengah mengembangkan pembiayaan untuk pertanian dan perkebunan, di samping proyek-proyek energi.

Sedangkan Budi secara jeli mengamati kebijakan ketahanan bank (Basel III) yang banyak "dikritik" para bankir dunia karena terlalu rigid dan dinilai tidak adil, serta tren global terkait likuiditas dunia seiring kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) dalam program "quantitative easing (QE) dengan pembelian obligasi di pasar senilai 60 miliar Euro.

"Hal-hal tersebut akan berdampak pada bisnis perbankan kita, baik secara langsung maupun tidak langsung," ujar bankir bank BUMN terbesar di Indonesia itu.

Namun apapun tujuan dan manfaat yang diperoleh para peserta, akan sangat rugi bila ajang pertemuan yang mahal dan setahun sekali itu hanya untuk sekedar kongko-kongko.

"Kita datang ke sini bukan bukan untuk menginisiasi masalah, tapi mencari solusi dari tantangan global," kata Klaus Schwab pada malam pembukaan ajang itu.

Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015