Jakarta (ANTARA News) - Penggiat Hutan dan Perkebunan WALHI, Rully Syumanda, mengatakan, 27,6 juta hektare hutan dan lahan telah terbakar di Pulau Sumatera dan Kalimantan sejak 2001 hingga 2006 sebagian besar karena pembakaran yang disengaja pihak korporasi. "Jika dihitung berdasarkan jumlah `hotspot` (titik api) yang tertangkap sensor satelit dari 2001 hingga 2006, maka dapat dikalkulasikan luas yang terbakar seluruhnya ada 27,6 juta hektare," katanya di Jakarta, Selasa (8/8). Menurut dia, jumlah titik api yang teridentifikasi dalam rentang waktu tersebut ada 247.506 satu titik api, sedangkan satu titik api itu mewakili kawasan seluas 1,32 kilometer persegi. Hingga Mei 2006, telah tercatat 22.051 titik api atau 55 persen dari jumlah tahun 2005 yaitu 39.904 titik api. Selanjutnya Rully mengungkapkan, pada tahun 2006 hingga bulan Mei, jumlah provinsi yang terbanyak "menyumbangkan" titik api adalah Riau di Sumatera dengan 6.792 titik api dan Kalimantan Barat di Kalimantan dengan 1.159 titik api. "Riau dan Kalimantan Barat juga merupakan jumlah `penyumbang` titik panas terbanyak di pulau masing-masing pada tahun 2005," ujar dia. Selain itu, WALHI menilai bahwa kebakaran hutan di Indonesia lebih banyak disebabkan unsur kesengajaan sehingga lebih pantas disebut sebagai pembakaran. Salah satu indikasinya, banyak ditemukan di konsesi perkebunan tumpukan kayu yang disusun berjalur-jalur yang menandakan bahwa kawasan tersebut sedang dalam persiapan pembersihan lahan dengan metode bakar. Metode ini paling sering digunakan perusahaan karena dianggap paling efektif dan dapat meminimalkan penyebaran api. Selain itu, sekitar 80 persen dari wilayah kebakaran terletak pada kawasan perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), ujarnya. "Berdasarkan data tahun 2001, titik api di Sumatera terdapat pada 126 perkebunan, 35 HTI, dan 21 HPH. DI Kalimantan, titik api terdapat pada 99 perkebunan, 24 HTI, dan 41 HPH," kata Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad. Menurut dia, pada tahun 2004 WALHI telah melakukan gugatan terhadap 36 perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan. Namun, gugatan itu tidak berhasil karena putusan selanya memutuskan bahwa WALHI tidak mempunyai kewenangan melakukan gugatan. Oleh karena itu, Chalid berharap agar pemerintah memiliki keseriusan untuk menindak pelaku pembakaran hutan, diantaranya dengan mengeluarkan peraturan perundangan yang melarang tegas dan memuat sanksi baik terhadap perusahaan yang menggunakan metode bakar, maupun yang konsesinya terbakar. "UU Kehutanan no 41 tahun 1999 tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran karena larangan membakar hutan dalam UU tersebut dapat dimentahkan untuk tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang, sesuai pasal 50 ayat 3 huruf d," ujar dia. Selain itu, Chalid berharap pemerintah mencabut izin dari perusahaan yang memakai metode bakar dalam membersihkan lahan, tetapi memberikan insentif ekonomi pada perusahaan yang membersihkan lahan tanpa menggunakan metode bakar. Usaha lainnya yang harus dilakukan pemerintah adalah menyetop pengeluaran izin baru bagi konversi lahan, memberlakukan hukuman bagi penjahat lingkungan dengan proporsional, dan menyusun Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang sifatnya tegas dan mudah dipahami masyarakat awam, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006