RUU sudah ada sejak 2004
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr Giwo Rubianto Wiyogo mendorong agar pemerintah maupun legislatif segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

"Negara harus hadir dalam penghapusan kekerasan seksual pada perempuan. Untuk itu, kami mendorong agar pemerintah maupun legislatif segera mengesahkan RUU ini," ujar Giwo dalam webinar di Jakarta, Jumat.

RUU PKS telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, namun kemudian keluar dari pembahasan. Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar RUU tersebut masuk Prolegnas 2021 dan segera disahkan.

Baca juga: Jalan panjang pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Adanya UU PKS tersebut, lanjut dia, sangat penting untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi perempuan maupun korban kekerasan seksual.

"Negara harus hadir melindungi kaum perempuan dan anak," imbuh dia.

Dia menjelaskan Kowani siap mengawal agar RUU PKS tersebut segera disahkan. Kowani memiliki komitmen untuk mengawal RUU tersebut, bahkan sampai melakukan aksi turun ke jalan. Padahal, hal itu tidak pernah dilakukan sebelumnya terutama pascakemerdekaan.

"Kowani pernah melakukan aksi unjuk rasa pada saat Belanda melarang Kongres. Saat itu, anggota Kowani tidur di bantalan rel. RUU sudah ada sejak 2004 dan hingga saat ini belum juga disahkan," terang dia.

Baca juga: LPSK Dorong RUU PKS jadi prioritas pembahasan pada Prolegnas 2021

Dalam kesempatan itu, Giwo menjelaskan webinar itu bertujuan agar memperkaya muatan RUU PKS tersebut dengan melibatkan pemangku kepentingan. Hal itu dikarenakan ada sebagian masyarakat atau komunitas yang masih beranggapan bahwa materi RUU PKS tersebut tidak sesuai dengan nilai norma sosial.

Berdasarkan data sistem informasi perempuan dan anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyebutkan kekerasan terhadap perempuan dewasa periode 1 Januari 2020 hingga 28 Agustus 2020, sebanyak 3.757 kasus.

"Itu menurut data, tapi saya yakin jumlah yang sebenarnya jauh lebih banyak lagi karena belum tentu semua kasus dilaporkan, masih banyak menganggap hal itu sebagai aib," tambah dia.

Baca juga: Akademisi nilai RUU PKS jadi alat politik pertahankan isu pembelahan

Dengan disahkannya RUU PKS tersebut, Giwo yakin akan tercapai pembaruan sistem dalam mengatasi kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan.

"Kami merasa harus mendampingi pengesahan RU ini karena merupakan hak substantif bagi warga negara serta merupakan harkat dan martabat bangsa ini. Khususnya kaum perempuan, karena korbannya merupakan perempuan dewasa maupun anak," jelas dia lagi.

Staf Ahli Bidang Komunikasi Pembangunan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, mengatakan banyak korban kasus kekerasan seksual yang tidak melapor.

"Ini seperti fenomena gunung es. Korban umumnya menderita lahir dan batin serta juga mengalami gangguan kesehatan," kata Ratna.

Ratna mengatakan korban kekerasan seksual mengalami penderitaan memerlukan layanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, pendampingan, dan bantuan hukum. 

Baca juga: Komnas Perempuan bantah RUU PKS hanya mengadopsi feminisme

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020