Disarankan, tekanlah pengeluaran dengan cara-cara yang masih mungkin untuk dilakukan
Jakarta (ANTARA) - Diduga kuat perekonomian Indonesia akan masuk resesi, berdasarkan rilis Kementerian Keuangan yang memprediksi perekonomian Indonesia dari Juli ke September (kuartal III 2020) akan berada di kisaran minus 2,9 persen hingga minus 1 persen dan seluruh tahun ini sekitar minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen.

Menurut Forbes, resesi adalah suatu kondisi terjadinya penurunan pada kegiatan ekonomi suatu negara yang berlangsung selama dua kuartal secara berturut - turut. Sehingga berdasarkan penyampaian Kementerian Keuangan tersebut dan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal II terjadi kontraksi hingga 5,32 persen, maka bayang-bayang terjadi pemulihan untuk dapat mencapai positif pada kuartal IV secara realistis akan sulit dicapai.

Dan apabila benar terjadi resesi, maka hal ini dapat mengakibatkan penurunan seluruh aktivitas ekonomi. Yang paling mudah dirasakan adalah dengan menurunnya jumlah lapangan kerja yang tercipta, perusahaan-perusahaan akan semakin sedikit produksinya, melonjaknya jumlah pengangguran, penurunan penjualan ritel, serta terjadinya kontraksi terhadap pendapatan usaha.

Sembari menunggu Pemerintah menerbitkan berbagai strategi dan kebijakan untuk pemulihan ekonomi nasional, kita sebagai pribadi sangat perlu mempersiapkan diri khususnya di sektor keuangan pribadi agar sigap dan mampu melewati goncangan akibat resesi yang dapat terjadi di waktu mendatang.

Baca juga: Ekonom: peningkatan daya beli antisipasi resesi panjang

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memastikan keuangan pribadi tetap kebal dari goncangan resesi. Beberapa langkah sigap yang dapat dilakukan :

1. Kurangi pengeluaran

Mengingat potensi atas kompleksnya masalah yang dapat muncul saat resesi terjadi, maka hal-hal yang menurut kita mungkin dianggap lebay atau berlebihan justru akan menjadi sangat relevan ketika resesi benar-benar melanda.

Di level negara, ada beberapa negara di dunia seperti China, Vietnam dan Turkmenistan yang sempat dianggap berlebihan karena sejak awal langsung menerapkan langkah pencegahan secara drastis dalam usaha menghadapi pandemi covid-19. Kini sikap itu terbukti sukses menjinakkan penyebaran virus COVID-19 dan perekonomian mereka berhasil lolos dari ancaman resesi.

Upayakan untuk menekan pengeluaran rutin hingga 70 persen dari biasanya. Dampak resesi akan membuat hidup semakin sulit dan sepakat bahwa hal ini memang tidak semudah yang disampaikan, namun bila kita mencoba membiasakan melihat orang-orang yang kemampuan hidupnya di bawah, maka kita akan semakin mudah untuk bersyukur sehingga lebih cepat move on dari kondisi yang tak sesuai ekpekstasi.

Salah satu sikap syukur misalnya saat kita merasa bahwa kendaraan yang kita miliki sudah tak sebaik tetangga, maka kita juga harus yakin bahwa masih banyak orang yang tak punya kendaraan bekas sekalipun.

Disarankan, tekanlah pengeluaran dengan cara-cara yang masih mungkin untuk dilakukan. Salah satu contoh misalnya bagi anggota keluarga dewasa untuk mengurangi “jatah” makan nasi sebanyak sepertiga dari porsi biasanya.

Dengan mulai membiasakan mengurangi belanja konsumsi bahkan termasuk kebutuhan pokok, In Sha Allah seandainya resesi terjadi, anda tak lagi dikagetkan dengan kondisi sulit tersebut karena sudah terbiasa berhemat dengan cara yang mungkin dianggap berlebihan oleh sebagian orang.

2.​ Ciptakan kebiasaan baru yang murah

Menciptakan kebiasaan baru yang murah pada situasi sulit ini menjadi hal yang perlu dilakukan untuk menekan pengeluaran tanpa mengurangi kualitas konsumsi secara signifikan. Bahkan selain efek positif bagi keuangan, kebiasaan baru yang murah juga dapat meminimalisir rasa jenuh. Kuncinya adalah pada kreativitas dan inovasi.

Dalam kondisi normal, anda tentu dapat mengajak anak-anak bermain di wahana permainan anak yang tersedia di mall atau pasar malam. Pada saat resesi, misalnya anda dapat mendesain permainan baru bagi anak - anak dengan kardus bekas secara sederhana namun tetap menyenangkan.

Atau merubah kebiasaan berolahraga di tempat persewaan alat olahraga menjadi berolahraga di rumah. Selain mengurangi pos pengeluaran, tubuh dapat tetap bugar meski dilakukan gerakan-gerakan olahraga secara sederhana.

3.​ Jual aset bukan nambah utang

Di saat resesi, pendapatan anda cenderung tetap atau bisa tiba-tiba berkurang. Maka penting memiliki prinsip untuk mencari sumber tambahan pemasukan dari jual aset (jika ada), bukan malah berhutang.

Sebab sudah banyak cerita pahit akibat jeratan hutang karena orang yang akan berhutang cenderung mengalami kondisi psikologis yang lemah daripada biasanya. Sehingga keputusan yang diambil seringkali tidak dalam perhitungan yang logis, hal ini biasanya terjadi karena tak teliti membaca dan memahami klausula hutang yang ditawarkan padahal sangat mungkin terdapat jebakan berupa bunga yang mencekik.

4.​ Perkuat kolaborasi

Seandainya harus menghadapi masa resesi yang diprediksi dapat menggoncang keuangan keluarga dalam waktu yang tidak sebentar, maka kepastian untuk pemenuhan kebutuhan pokok keluarga menjadi prioritas penting yang tak terhindarkan untuk diupayakan sejak sekarang.

Salah satu solusinya adalah dengan kekuatan kolaborasi komunitas. Kekuatan ekonomi berbasis komunitas kini menjadi harapan besar untuk turut menjadi “bemper” yang kebal terhadap resesi ekonomi.

Kolaborasi komunitas rukun tetangga, sekolah, bisnis, sosial, hobi, maupun lainnya akan membantu memberi kepastian pemenuhan kebutuhan pokok seseorang. Secara keuangan, harga yang dibayarkan akan jauh lebih murah. Sedangkan secara sosial, hubungan kekeluargaan dalam komunitas untuk saling menjaga satu sama lain akan menguat.

Hal ini kemudian akan memunculkan peluang baru untuk mendapatkan penghasilan tambahan karena bisnis sejatinya adalah tentang kepercayaan. Ketika kekuatan trust dalam dan atau antar komunitas bertumbuh baik, maka potensi terjadinya transaksi bisnis juga akan semakin besar.

5.​ Tetaplah berbagi

Kondisi sedang sulit, kok masih harus memikirkan orang lain? Merujuk pada penelitian Shanjiv Chopra, seorang profesor medis dari Havard Medical School, berkata bahwa secara ilmiah, kebiasaan berbagi merupakan salah satu faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap indeks kebahagiaan seseorang.

Bila demikian, apakah berarti menumpuk harta untuk memikirkan diri sendiri itu tak baik?

Agar lebih mudah dipahami, analogi kepemilikan harta seseorang itu ibarat bertambahnya jumlah ketersediaan air yang ditampung dalam bendungan.

Semakin berlimpah jumlah airnya, maka akan semakin baik untuk pemenuhan kebutuhan.

Namun saat air yang tersedia telah mencapai batas ketinggian tertentu, maka petugas pintu air harus segera membuka sejumlah pintu pembuangan. Sebab jika tidak segera dibuka, bangunan bendungan air akan berpotensi runtuh oleh volume air yang terus bertambah hingga melampaui batas maksimal daya dukung bangunan dalam menahan semakin derasnya dorongan air.

Maka dalam kondisi sulit seharusnya tak akan mempengaruhi kita untuk berhenti berbagi terhadap sesama. Karena dengan terus berbagi, sesungguhnya tubuh juga akan selalu memproduksi hormon seperti serotonin, dopamin, relaksin, atau oksitosin yang dapat meningkatkan imun seseorang dan menjadikannya merasa bahagia.

Dengan kondusifnya suasana yang terbentuk dalam hati, hal tersebut akan menjadikan rasa psikologis terbangun positif, keputusan strategis yang diambil menjadi lebih realistis dan motivasi untuk mencari nafkah dalam rangka meningkatkan potensi pendapatan dari bisnis pun akan semakin besar.

*) Baratadewa Sakti Perdana, ST, CPMM, AWP adalah Praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Bisnis UMKM

Baca juga: Bank Dunia: Pandemi pukul ekonomi Asia Timur, picu kemiskinan baru
Baca juga: Indonesia masuki zona resesi, apa arti resesi dan dampaknya?
 

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020