Semakin dini ditangani, semakin sedikit risiko kematian.
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendorong pemerintah untuk meningkatkan jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) hingga ke seluruh pelosok daerah di Indonesia agar kasus COVID-19 dapat lebih cepat dideteksi dan ditangani.

"Semakin dini ditangani, semakin sedikit risiko kematian. Semakin dini dapat dicegah menulari yang lain," kata Ketua Umum PDPI Dr dr Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR dalam konferensi pers secara virtual yang digelar dalam rangka HUT PDPI, di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan bahwa upaya penelusuran, pemeriksaan dan penanganan (3T) perlu terus ditingkatkan sehingga deteksi kasus dapat diperoleh lebih cepat, pengobatan dapat dilakukan lebih dini dan pada akhirnya semua upaya itu diharapkan dapat memutus rantai penularan COVID-19 di tengah masyarakat.

Kemudian, selain perlu meningkatkan jumlah tes PCR, pemerintah juga didorong untuk mengambil langkah lebih lanjut berupa isolasi personal atau keluarga di tempat yang telah ditentukan, sampai dengan karantina wilayah atau negara bila keadaan sudah sangat mendesak.

"Pemerintah harus dengan cermat dan saksama memperhatikan konsekuensi yang akan timbul dengan melakukan antisipasi sebelumnya," katanya.

Selanjutnya, pemerintah juga perlu menambah jumlah dan kapasitas rumah sakit perawatan COVID-19, termasuk juga bertanggung jawab dalam meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan tenaga medis dalam hal tatalaksana COVID-19, serta menyediakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai level lokasi kerja selain juga perlunya distribusi obat secara merata untuk semua fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) COVID-19.

Lebih lanjut, PDPI juga meminta pemerintah untuk menjadikan pandemi COVID-19 sebagai masalah yang serius sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Wabah Penyakit Menular Nomor 4 Tahun 1984 dan UU nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan memberikan penindakan atau hukuman bagi siapa saja yang dengan sengaja menghalangi atau menolak implementasi undang-undang tersebut.

Dengan memperhitungkan risiko penularan yang masih sangat tinggi, maka pemerintah juga didorong untuk sebaiknya menunda pembukaan layanan umum seperti sekolah, pertemuan-pertemuan, bioskop dan lain-lain.

Selain itu, dengan melibatkan atau memberdayakan masyarakat, sosialisasi dan edukasi juga perlu terus diupayakan, terutama memberikan pengetahuan tentang COVID-19 dan cara pencegahannya, komplikasi yang dapat ditimbulkan hingga kematian akibat COVID-19, cara melindungi diri dan keluarga, konsekuensi hukum bagi pelanggar dan tata cara kebiasaan baru yang perlu dilakukan setiap hari untuk mencegah penularan.

Pemerintah juga perlu memperhatikan keberlangsungan sistem pelayanan kesehatan nasional baik untuk COVID-19 maupun non-COVID-19, untuk mencegah lumpuhnya sistem kesehatan rujukan.

"Lumpuhnya sistem kesehatan rujukan akan mengakibatkan tingginya kematian penyakit non-COVID-19, termasuk kematian ibu dan anak, kematian akibat tuberkulosis dan pneumonia dan kematian non-COVID-19 lainnya. Kondisi ini berakibat tidak tercapainya Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs)," demikian Agus Dwi Susanto.

Baca juga: PDPI: Belum ada terapi pengobatan paling manjur untuk COVID-19

Baca juga: PDPI dorong pemerintah ambil langkah tegas kendalikan COVID-19

Baca juga: Dokter paru: Pasien sembuh dari COVID-19 berisiko alami fibrosis

Baca juga: PDPI: Dokter usia 65 tahun lebih jangan langsung tangani pasien corona

 

Pewarta: Katriana
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020