APL itu kawasan yang dikelola kabupaten dan memang punya nilai ekonomi
Jakarta (ANTARA) - Aktivis lingkungan Emmy Hafild menyarankan semua pemangku kepentingan melakukan pengelolaan berkelanjutan di Area Penggunaan Lain (APL) ekosistem Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang menjadi habitat spesies orangutan Tapanuli.
 

“Di dalam APL ini sudah banyak sekali kegiatannya. APL itu kawasan yang dikelola kabupaten dan memang punya nilai ekonomi, diperuntukkan untuk pembangunan ekonomi.
 

Ada tambang emas, PLTA lain, ada perkebunan, geothermal Sarulla yang terbesar di dunia 300 MW, lalu ada sawah bagus banget diairi Sungai Batang Toru, lalu ada PLTA yang sedang dibangun di sana,” kata Emmy dalam konferensi pers Mengelola Habitat Orangutan Dalam Kawasan APL oleh CSREM secara daring diakses dari Jakarta, Senin.
 

Itulah yang, menurut Emmy, harus dilakukan semua pihak termasuk tambang, perkebunan yang Hak Guna Usahanya (HGU) belum dibuka maka harus diidentifikasi di mana habitat kritisnya, termasuk di Geothermal Sarulla di sisi utara ekosistem tersebut.
 

“Semua pihak ini kolaborasi untuk melaksanakan sustainable management di areal APL ini untuk melindungi orangutan yang di luar kawasan konservasi. Kalau di dalam konservasi, ya sudah , sudah aman dia, tinggal jaga enggak ada perburuan liar,” ujar dia.
 

Bahwa ekosistem Batang Toru dengan lebih dari 700 individu orangutan Tapanuli sudah tereksploitasi sedemikian rupa, sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi itu harus dihentikan.

Namun di dalam konteks APL, menurut dia, kesempatan untuk menyelamatkan spesies orangutan terancam punah tersebut dengan melakukan pengelolaan berkelanjutan.

Baca juga: Orangutan Tapanuli menyukai buah durian

Baca juga: Peneliti: perlu hutan buatan dorong interaksi Orangutan Tapanuli

 

“Hutan lindung itu areal terbesar di ekosistem Batang Toru, jadi kita sebenarnya udah aman. Yang kita peduli itu yang orange, APL. Kami dan PanEco sepakat bahwa ini opportunity untuk melakukan sustainable management, karena ini sudah APL,” ujar dia.
 

Menurut mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) itu, kalau wilayah APL mau ditarik menjadi suaka alam maka perdebatannya akan panjang, mengingat itu daerah kekuasaan bupati.

“Kalau kita mau otak-atik ini lagi prosesnya panjang sekali. Yang harus dilakukan segera itu menyelamatkan APL, bukan dengan perubahan status tapi dengan sustainable management”.
 

Ia mengatakan penyebab utama fragmentasi habitat orangutan Tapanuli atau Pongo tapanuliensis adalah jalan trans Sumatera yang cukup besar sehingga sulit bagi primata terancam punah itu menyeberang. Jika di sebelah timur populasinya cukup banyak, di sisi selatan sedikit sehingga tidak baik untuk aliran genetikanya.
 

“Yang diributkan saat ini hanya satu, yaitu koridor Sitandiang dan Dolok Sibual-buali. Ini yang dikatakan PLTA Batang Toru akan memutus,” ujar dia.
 

Namun, menurut Emmy, area proyek pembangkit listrik tersebut terpisah, tidak memanjang sehingga koridor Sitandiang tidak akan terganggu. Justru populasi di area Sibual-buali yang lokasinya berada di tengah yang menjadi perhatian dan sudah menjadi perhatian ahli primata Didik Prasetyo dan Direktur Pusat Studi Energi Berkelanjutan dan Manajemen Sumber Daya Alam (CSERM) Universitas Nasional (UNAS) Jito Sugarjito.
 

Sementara itu, Jito mengaku alergi jika mendengar perluasan kawasan konservasi mengingat yang sudah ada saja belum semua benar pengelolaannya. “Jadi yang benar bukan perluasan, tapi manajemen pengelolaan kawasan yang ada yang diperkuat”.
 

“Seberapa luasnya pun kawasan konservasi, kalau enggak benar manajemennya, ya percuma. Yang sudah ada saja enggak benar manajemennya, apalagi kalau nambah terus. Persoalan dari dulu itu, karena visi satu pihak,” ujar dia.
 

Menurut Jito, walaupun APL bukan kawasan konservasi tapi kalau manajemen dilakukan dengan benar maka tidak menjadi masalah.



Baca juga: BBKSDA Sumut lepasliarkan Orangutan di hutan lindung Tapanuli Tengah

Baca juga: BBKSDA lepasliarkan satu individu Orangutan di Cagar Alam Sibual-buali


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020