Paling banyak ditemukan di Kecamatan Mojoroto sebanyak 88 orang
Kediri (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kota Kediri, Jawa Timur, meminta warga agar mewaspadai ancaman terjadinya chikungunya, virus yang ditularkan melalui nyamuk mengingat intensitas hujan masih relatif tinggi yang menyebabkan air menggenang.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Kediri dr Fauzan Adima mengemukakan jumlah penderita chikungunya pada bulan Juni 2020 ini bahkan tertinggi sejak awal tahun 2020.

"Jumlah penderita chikungunya pada Juni ini sebanyak 128 orang. Paling banyak ditemukan di Kecamatan Mojoroto sebanyak 88 orang," kata Fauzan Adima yang juga Direktur RSUD Gambiran Kota Kediri tersebut di Kediri, Kamis.

Pihaknya menambahkan, pasien yang sakit chikungunya di Kecamatan Mojoroto terdata di Puskesmas Campurejo ada 23 orang dan Puskesmas Sukorame ada 65 orang. Sedangkan untuk lokasi yang terjangkit juga menyebar antara lain di Kelurahan Campurejo, Tamanan, Sukorame, Bujel, dan Mojoroto.

Sementara itu, hingga saat ini temuan pasien yang terkena chikungunya lainnya berada di Kelurahan Banaran, Kota Kediri sejumlah 40 orang dan saat ini menjalani perawatan di Puskesmas Pesantren. Jumlah tersebut meningkat tajam dari bulan sebelumnya, Mei 2020 yang hanya 17 orang.

Sedangkan, sejak bulan Januari hingga akhir Juni 2020, jumlah keseluruhan kasus warga yang terkena chikungunya di Kota Kediri sebanyak 191 kasus.

Baca juga: Puluhan warga Tulungagung terserang chikungunya

Baca juga: Penderita chikungunya Madiun capai 313 orang


Sementara itu, terkait dengan temuan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kota Kediri juga cenderung lebih sedikit. Sejak Januari hingga Mei 2020, jumlah pasien DBD yang terdata sebanyak 100 orang. Kasus tersebut juga tersebar merata di seluruh kecamatan wilayah Kota Kediri antara lain Kecamatan Mojoroto, Kota, dan Pesantren.

Untuk angka tertinggi kasus DBD di Kota Kediri terjadi di Maret sebanyak 30 kasus. Sedangkan data bulan Mei jumlahnya mulai turun menjadi 15 kasus.

Fauzan Adima juga menambahkan, penyakit chikungunya dan DBD tersebut bisa terjadi karena disebabkan oleh infeksi virus melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan serangan ini sering terjadi di daerah tropis, seperti Indonesia. Demam chikungunya dan DBD juga memiliki banyak kemiripan pada tahap awal, sehingga kerap terjadi salah diagnosis untuk pengobatannya.

Nyamuk Aedes Aegypti juga memiliki karakteristik dalam menggigit manusia. Nyamuk tersebut banyak aktif menyerang antara pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB. Dalam beberapa kasus nyamuk ini juga menyerang pada pukul 16.00 WIB hingga 17.00 WIB atau sebelum Maghrib.

Dirinya menambahkan, pada serangan pertama, gejala klinis yang muncul akibat gigitan nyamuk adalah demam, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, serta ruam. Fase berikutnya mulai terdapat perbedaan pada DBD, dimana pasien bisa mengalami perdarahan ringan hingga neutropenia.

Perbedaan lainnya adalah pada penderita yang mengalami demam karena Chikungunya memiliki masa inkubasi virus sekitar 1 – 12 hari. Sedangkan gejala dan penyakitnya bisa berlangsung sekitar satu hingga dua pekan.

Sedangkan, untuk penderita DBD masa inkubasinya 3 – 7 hari, dengan durasi penyakit bisa berlangsung dari 4 – 7 pekan, tergantung sistem kekebalan tubuhnya. 

Ia juga memberikan saran agar warga banyak mengonsumsi makanan yang bergizi dan berolahraga teratur, terlebih lagi di masa pandemi COVID-19 ini. Masyarakat juga diharapkan tetap menjaga lingkungan demi mencegah nyamuk berkembang.

"Penting untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan di masa pandemi (COVID-19) ini. Selain kebersihan diri untuk mencegah corona, juga mengantisipasi gigitan nyamuk," kata Fauzan Adima. 

Baca juga: PMI Tangerang lakukan pencegahan dini penyebaran DBD dan cikungunya

Baca juga: Chikungunya serang 10 warga Kampung Lodaya Sukabumi

 

Pewarta: Asmaul Chusna
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020