Jakarta (ANTARA) - Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi undang-undang yang paling banyak dimohonkan untuk diuji materi di Mahkamah Konstitusi.

"Tahun 2019, ada 51 undang-undang yang dimohonkan pengujian. UU dengan frekuensi atau intensitas paling sering diuji adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sebanyak 18 kali," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di gedung MK Jakarta, Selasa.

Anwar Usman menyampaikan hal tersebut dalam acara "Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019" yang dihadiri Presiden Joko Widodo para hakim konstitusi yaitu Wakil Ketua MK Aswanto, hakim MK Enny Nurbaningsih, Manahan MP Sitompul, Wahiddudin Adams, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P Foekh, Saldi Isra, Suhartono; Ketua DPR Puan Maharani; Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali serta para pejabat terkait lainnya.

"Selanjutnya ada UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebanyak sembilan kali lalu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebanyak lima kali," tambah Anwar.

Masih ada tiga UU lain yang juga diuji sebanyak empat kali yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan data MK, pada 2019, MK menerima sebanyak 85 perkara ditambah 37 perkara uji materi dari tahun 2018. Artinya, ada 122 perkara pengujian UU yang masuk sepanjang tahun 2019.

"Dibandingkan tahun 2018, jumlah itu agak lebih banyak, yakni 49 perkara yang diregistrasi tahun 2017 dan 65 yang diterima tahun 2018, sehingga pada tahun 2018, MK menangani 114 perkara," ungkap Anwar.

Dari 122 perkara yang ditangani tahun 2019 hingga akhir Desember, telah diputus sebanyak 92 perkara sehingga masih ada sisa 30 perkara yang masih dalam proses pemeriksaan.

Dari 92 perkara yang telah diputus tahun 2019, empat diputus dengan amar dikabulkan, 46 ditolak, 32 tidak dapat diterima, dua gugur, dan delapan perkara ditarik kembali. Pada 2019, MK juga memutus satu perkara sengketa kewenangan lembaga negara.

"Capaian yang juga penting untuk disampaikan ialah terkait dengan jangka waktu penyelesaian perkara pengujian undang-undang. Sesuai data di tahun 2019, setiap perkara rata-rata diselesaikan selama 59,39 hari kerja," tambah Anwar.

Sebagai perbandingan, pada 2018, waktu penyelesaian perkara rata-rata selama 69 hari kerja atau 3,5 bulan per perkara sedangkan pada 2017, rata-rata 101 hari kerja atau 5,2 bulan per perkara.

"Artinya, upaya dan komitmen untuk mempercepat jangka waktu penyelesaian perkara pengujian undang-undang dapat diwujudkan. Namun demikian, keberadaan pihak-pihak sangat menentukan pula cepat atau lambatnya penyelesaian sebuah perkara," tambah Anwar.

Baca juga: Presiden Jokowi minta dukungan MK terkait "omnibus law"

Baca juga: Presiden Jokowi akui Indonesia mengalami obesitas regulasi


 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020