Makassar (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Pesisir (ASP) Sulawesi Selatan menyatakan abrasi di sepanjang pantai Galesong Kabupaten Takalar, diduga dipicu oleh penambangan pasir laut oleh perusahaan tambang, baik lokal maupun internasional untuk kepentingan reklamasi.

"Dari pemantauan ASP, kondisi pesisir Galesong Raya sangat memperhatikan. Beberapa desa di pesisir terkena abrasi, seperti di Desa Mangindara, Desa Mappakalompo, Desa Boddia, Desa Galesong Kota, Desa Tamasaju dan Desa Sampulungan," kata Koordinator ASP Muhaimin Arsenio, melalui siaran persnya diterima Rabu.

Dari hasil pantauan, bukan hanya tanah dan rumah warga yang bermukim di wilayah pesisir yang rusak, tetapi juga fasilitas umum dan pemecah ombak.

Kerugian secara ekonomi dan rasa ketakutan dialami warga. Kala cuaca ekstrem disertai hujan deras, gelombang air laut menjadi tinggi dan sangat besar.

"Penyebab gelombang air laut besar di pesisir Galesong Raya karena hilangnya sebagian pasir dan terumbu karang sebagai peredam gelombang air laut secara alami," katanya.

Baca juga: Walhi Sulsel: Abrasi di Galesong masih disebabkan penambangan pasir

Baca juga: Gubernur tinjau abrasi Pantai Galesong Kabupaten Takalar


Menurut Badan Pekerja Walhi Sulsel itu, fungsi terumbu karang dan pasir laut di perairan Galesong sebagai pemecah ombak secara alami, kini tidak terlalu berfungsi sebagai mana mestinya. Pasir dan terumbu karang di perairan Galesong sudah rusak dan hilang.

Kejadian abrasi tersebut kata dia, bukan disebabkan cuaca ekstrem saja tapi diduga karena pengerukan serta aktivitas tambang pasir di tengah laut yang dilakukan secara berlebihan.

Pengerukan pasir laut itu dilakukan Kapal Bkl dan JDN sejak 2017-2018 untuk proyek reklamasi Central Poin of Indonesia (CPI) dan sebagian pelabuhan Makassar New Port (MNP).

"ASP mendesak pemerintah provinsi dalam hal ini Gubernur Sulsel dan Kapolda Sulsel untuk meminta pertanggungjawaban semua perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari pengerukan pasir laut di perairan Galesong," ujarnya.

Perusahaan tersebut adalah PT Cip, PT Bkl dari Belanda, kapal JDN dari Swedia, Bank Atd dari Belanda dan beberapa perusahaan yang memiliki konsesi pertambangan di perairan Galesong.

"Perusahaan ini dinilai turut andil dalam pengerukan pasir laut dan mengambil keuntungan, tentu mereka harus bertanggungjawab, bukan hanya Pemda Takalar dan Pemrov Sulsel.

Mereka sudah merusak sumber penghidupan nelayan Galesong serta dampaknya merusak permukiman masyarakat pesisir," kata Arsenio.

Sebelumnya, tim ASP telah bertemu dengan warga Desa Tamasaju, Sahrir Daeng Bolo yang rumahnya terkena abrasi. Sahrir menyebut kejadian abrasi mulai tahun 2018 di saat pengerukan pasir laut ditambang oleh kapal asing.

Di Dusun Sawakong, Desa Tamasaju, terdapat tujuh rumah rusak ringan dan satu tempat wisata.

"Saat ini kami membuat penahan ombak dengan menggunakan karung yang diisi dengan pasir sebagai penahan ombak sementara. Kita berharap Pemerintah Kabupaten Takalar dan pemerintah provinsi segera membantu menangani abrasi ini," kata Sharir.*

Baca juga: Warga Sampulungan butuh bantuan atasi abrasi secepatnya

Baca juga: Warga Takalar gunakan pasir dalam karung untuk tahan abrasi

Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020