jika tidak setuju dengan hukum internasional terkait masyarakat adat yang ditetapkan PBB lebih baik tidak usah ada
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komnas HAM Sandrayati Moniaga menegaskan agar isi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat harus secara substantif memenuhi hak masyarakat adat dan sesuai dengan hukum internasional.

RUU ini harus melengkapi semua hak masyarakat adat yang diakui hukum internasional yang belum diatur dalam undang-undang sektoral yang ada di dalam negeri, ujar Sandrayati Moniaga yang akrab disapa Sandra Moniaga itu di Jakarta, Senin.

“Jadi RUU ini jangan sembarangan dijadikan RUU, harus memuat secara substantif hak masyarakat adat dan hukum internasional,” katanya.

Baca juga: Jelang 100 hari Jokowi-Ma'ruf dan nasib RUU Masyarakat Adat
Baca juga: RUU Masyarakat Adat dan keseriusan pemerintah membahasnya


Menurut dia, itu menjadi dasar penghormatan kepada masyarakat adat.

"Jika tidak setuju dengan hukum internasional terkait masyarakat adat yang ditetapkan PBB lebih baik tidak usah ada Undang-undang (UU) Masyarakat Adat," katanya.

Sandra mengatakan selama ini UU sektoral tidak melihat hak-hak masyarakat adat, tidak melihat hak atas tanah, hak memperoleh pekerjaan, hak pendidikan, hak politik.

Pendidikan masyarakat adat tidak diakui, hak politik tidak eksplisit, ada sistem Noken di Papua yang diakui tapi di masyarakat hukum adat lainnya tidak ada pengakuan.

​​​​​​Ia menilai, UU Pemilu belum mengatur itu secara komprehensif, sehingga perlu dicari loophole ada di mana, kekosongan sektoral tadi harus diisi, atau malah revisi UU yang ada dan melengkapinya dengan pengakuan hak masyarakat adat.

RUU Masyarakat Adat merupakan sarana penting bagi negara untuk bisa menghadirkan keadilan berdasar prinsip penghormatan HAM.

Baca juga: KPA: Pertimbangkan hak masyarakat adat di RUU Pertanahan
Baca juga: Menteri LHK janji bantu selesaikan RUU masyarakat hukum adat


Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan UU Masyarakat Adat merupakan hal yang fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.

“Memang benar bahwa saat ini telah banyak peraturan perundangan-perundangan yang mengatur keberadaan masyarakat adat, tetapi keberadaan peraturan perundang-undangan yang sektoral tersebut justru mengakibatkan masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan hak-hak tradisionalnya, karena dalam praktiknya UU tersebut saling tumpang-tindih dan menyandera pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat”, kata Rukka.

Hingga kini RUU tentang Masyarakat Adat terkatung-katung. Aturan itu tidak juga naik jadi UU meski telah digodok selama dua periode pemerintahan, era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono hingga Joko Widodo-Jusuf Kalla.

RUU Masyarakat Hukum Adat pertama kali masuk dalam Prolegnas DPR pada 2013, 2014 dan Prolegnas Prioritas 2019. Kehadiran UU Masyarakat Adat sangat penting untuk masyarakat dan pemerintah karena akan menjadi solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan hak masyarakat adat, serta untuk menjawab berbagai tantangan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat.

Baca juga: Menyiapkan dialog dengan Presiden di 20 tahun AMAN
Baca juga: Masyarakat adat menunggu kepastian hukum
Baca juga: HuMa: masyarakat adat masih jadi korban konflik SDA, agraria


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019