Jakarta (ANTARA) - Minggu 20 Oktober 2019 Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin secara resmi akan dilantik serta diambil sumpahnya di Gedung DPR/MPR RI untuk mengemban tugas negara selama lima tahun ke depan.

Bagi Presiden Jokowi, ini merupakan momen kedua kalinya dilantik sebagai orang nomor satu di Tanah Air untuk mengomandoi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan wakilnya, KH Ma'ruf Amin merupakan kali pertamanya menduduki kursi RI dua.

Setelah proses pelantikan selesai, setumpuk beban dan tugas negara telah menanti dan mesti dilaksanakan oleh presiden dan wakil presiden terpilih. Tentunya langkah pertama yang perlu diselesaikan, yaitu memilih orang-orang hebat untuk membantu presiden dalam menjalankan tugas sebagai kepala negara.

Pada periode pertama menjabat sebagai Presiden Indonesia, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla cukup banyak membawa perubahan dan kemajuan di Tanah Air terutama dalam hal pembangunan infrastruktur.

Sebagai contoh, pembangunan Tol Trans Jawa, realisasi penyelesaian akhir Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, Bandara Kertajati serta infrastruktur lainnya. Pembangunan itu tercantum sebagai Program Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 56 tahun 2018.

Berbagai pembangunan tersebut tentu dirasakan bermanfaat oleh masyarakat di Tanah Air terutama daerah yang dijadikan sebagai lokasi PSM. Namun, di balik sejumlah prestasi tersebut, terdapat beberapa catatan yang mesti dievaluasi dan harus dikerjakan pada periode kedua.

Salah satu hal yang paling mendasar dan mesti dilakukan oleh Jokowi-Ma'ruf Amin ialah melakukan pembangunan kebhinnekaan agar rasa persatuan dan kesatuan terus terwujud dalam bingkai NKRI.

Selama lima tahun pertama kepemimpinan Jokowi, persoalan kebhinnekaan merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan publik cukup tajam. Padahal, negara ini dibangun oleh pendiri bangsa dengan asas demokrasi serta menjunjung tinggi pancasila sebagai dasar negara.

"Kita melihat itu terusik beberapa tahun terakhir ini, bahkan seolah-olah yang satu dengan lain berhadapan atas dasar kelompok sosial tertentu yang didasari bukan kebinekaan," kata Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing.

Menurutnya, persoalan kebhinnekaan merupakan poin penting yang harus diselesaikan oleh presiden terpilih. Jika tidak, maka dikhawatirkan gejolak-gejolak sosial akan terus terjadi seperti yang terjadi di sejumlah daerah.

Salah satu kunci keberhasilan pemimpin dalam mengatur negara ialah mampu memberikan rasa aman, nyaman dan damai kepada masyarakatnya. Kasus kerusuhan 23 September 2019 di Wamena, Provinsi Papua, merupakan contoh persoalan kebhinnekaan dan keamanan di Indonesia yang menggambarkan sedang dalam kondisi tidak baik.

Kerusuhan yang terjadi di Papua menyebabkan 32 jiwa meninggal dunia, 9.240 mengungsi, 77 mengalami luka-luka, 224 mobil terbakar, 150 motor terbakar. Selain itu, 165 rumah rusak karena terbakar, 20 unit perkantoran dan 456 tempat usaha milik warga rusak.

Lebih jauh dari itu, peristiwa tersebut juga menjadi catatan merah bagi Indonesia di mata internasional yang harus dibenahi oleh Jokowi selama lima tahun ke depan.

Menurut Emrus, tolok ukur keberhasilan seorang presiden tidak dapat diukur hanya dengan berpatokan kepada aspek infrastruktur saja. Namun, pembangunan sumber daya manusia yang berbasis kepada kebinekaan wajib dilakukan.

Baca juga: Deklarasi Kebhinnekaan para tokoh di Tarakan

Baca juga: Gubernur Bali harapkan ICMI jadi jembatan merawat kebhinnekaan



Membangun kebhinnekaan

Sebagai negara yang besar dan mengedepankan asas demokrasi, banyak saran dan masukan serta harapan ditumpangkan kepada kepala negara terpilih Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin. Pertama dalam menyusun kabinet kerja, mantan Wali Kota Solo itu diminta mengutamakan menteri yang memiliki visi misi tentang kebhinnekaan.

"Agar target pembangunan kebhinnekaan tercapai, para menteri harus diisi oleh orang-orang yang bhinneka atau pluralis," kata dia.

Menurutnya, keberadaan seorang menteri berpengaruh besar dalam membantu presiden dalam mencapai visi misinya terutama dalam hal pembangunan kebhinnekaan.

"Di samping kapabilitas, profesionalitas syarat pluralis juga penting untuk membangun Indonesia dalam bingkai NKRI," ujarnya.

Selama ini, Emrus berpandangan eksklusivitas tersebut masih terjadi di tengah masyarakat sehingga berdampak pada kebhinnekaan. Selain itu, revitalisasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIB) perlu dilakukan.

Tidak hanya sampai di situ, diskusi tentang keindonesiaan secara keberlanjutan di setiap penjuru negeri merupakan salah satu alternatif yang disodorkan kepada pemerintahan Jokowi-Amin lima tahun ke depan.

Diskusi tentang keindonesiaan ini diyakini mampu terus memupuk rasa solidaritas, kebersamaan, toleransi, dan cinta NKRI antar elemen masyarakat. Selama ini, hal itu sudah dilakukan oleh pemerintah namun belum maksimal sehingga kebhinnekaan tadi sedikit demi sedikit terusik oleh adanya gesekan kepentingan anak bangsa.

"Pelaksanaan diskusi keindonesiaan itu tentu harus ada materi yang berguna bagi masyarakat," ujar dia.

Sebagai contoh, diskusi dengan masyarakat Papua tentang kesehatan atau lebih spesifik terkait ancaman malaria, penanganan dan lain sebagainya. Pada kesempatan yang sama pemerintah harus memasukkan materi tentang keindonesiaan.

"Jadi selama diskusi tentang bahaya ancaman malaria, kita juga memberikan pengetahuan tentang keindonesiaan, ini akan menumbuhkan rasa cinta Tanah Air," katanya.

Hal itu, minimal dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah satu kali dalam seminggu atau sebulan sekali di setiap desa yang ada di berbagai daerah.

Secara pribadi ia berpandangan hal itu belum dilakukan oleh pemerintah secara maksimal.

Di sisi lembaga agama, Majelis Ulam Indoensia (MUI) juga mengimbau Presiden dan Wakil Presiden terpilih masa bakti 2019 hingga 2024 untuk sungguh-sungguh menunaikan janji dan programnya selama masa kampanye.

Harapan yang disampaikan MUI tentunya memiliki landasan kuat karena mengacu pada cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia dan tujuan bernegara yang termaktub dalam pembukaan UUD tahun 1945.

"Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial," kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi.

Sejumlah saran dan masukan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin.

Dengan demikian, selama Indonesia mampu merawat kebinekaan, maka cita-cita dan masa depan yang lebih baik dapat terwujud.*

Baca juga: Menkumham ajak mahasiswa rawat kebhinnekaan

Baca juga: Komunitas Bela Indonesia ajak masyarakat rawat kebinekaan

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019