Padang (ANTARA) - Ketua Program Studi Sumber Daya Perairan, Pesisir dan Kelautan Pascasarjana Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Dr Harfiandri Damanhuri mengungkapkan fenomena ubur-ubur terdampar di Pantai Pariaman dan Pesisir Selatan karena pembuangan limbah domestik dari daratan masuk ke laut terbawa oleh arus permukaan sehingga mengubah pola migrasi ubur-ubur.

"Perubahan iklim seperti perubahan arus dan pergerakan massa air laut menjadi rendah, sehingga tingkat kesuburan perairan dan kadar oksigen yang tinggi dapat meningkatkan ketersediaan sumber pakan bagi ubur-ubur," katanya saat dihubungi dari Padang, Jumat.

Hal itu juga disebabkan karena suburnya perairan pada waktu tertentu.

Baca juga: Tersengat ubur-ubur, dua nelayan Pariaman dirawat intensif

Selain itu juga disebabkan karena perubahan suhu bumi dan iklim seperti suhu panas yang relatif panjang dalam masa perubahan siklus, sehingga fitoplankton atau sumber makanan ubur-ubur tersebut menumpuk di satu tempat dan menyebabkan ubur-ubur juga menumpuk di daerah itu.

"Sehingga pada saat pergerakan arus, ubur-ubur tersebut ikut terbawa arus dan terdampar ke pinggir pantai," sambung dia.

Selain itu, peningkatan jumlah ubur-ubur juga disebabkan karena populasi penyu yang mulai langka di Sumatera Barat.

"Ubur-ubur merupakan makanan utama dari seluruh jenis penyu yang ada di dunia dan di perairan Sumatera Barat terdapat empat jenis penyu, namun saat ini populasinya mulai berkurang," kata dia.

Menurut dia peningkatan jumlah ubur-ubur tersebut tergantung cuaca, jika masih terjadi kabut, laut tropis menjadi lebih statis dan perairan akan menjadi subur, sehingga jumlah ubur-ubur semakin banyak naik ke permukaan.

"Selain itu, banyaknya debu menyebabkan cahaya ke permukaan laut berkurang, pergerakan air laut menjadi lambat, terjadi produktifitas perairan yang tinggi di permukaan, juga menyebabkan ubur-ubur naik ke permukaan," sambung dia.

Ubur-ubur merupakan hewan plankton, transparan, bergerak atau berpindah karena ada arus laut yang dinamis.

"Apabila ubur-ubur tersentuh atau merasa terganggu maka reaksinya akan mengeluarkan racun sebagai media untuk melindungi diri dari lawannya, tingkat toksinnya tergantung jenis ubur-ubur," sambung dia.

Sama halnya seperti cumi-cumi yang mengeluarkan tinta hitam saat merasa terancam atau sebagai alat perlindungan dari musuh, namun yang membedakan dengan ubur-ubur ialah tinta hitam yang dikeluarkan cumi-cumi tidak mengandung racun.

Biasanya ubur-ubur yang beracun berwarna merah atau biru yang jarang muncul ke permukaan, namun perpindahannya disebabkan karena siklus air laut atau water movement secara teratur.

Bagian tubuh yang terkena sengatan ubur-ubur api atau ubur-ubur merah bisa menyebabkan gatal-gatal.

Akan tetapi, jika toksinnya lebih tinggi dan masuk ke saluran darah, akan mengganggu siklus peredaran darah, gerakan irama jantung, siklus pernafasan dan tingkat stres yang tinggi bisa mengakibatkan otot jadi kejang.

"Jangka panjang bisa mengakibatkan kematian," sambung dia.

Baca juga: Ratusan ubur-ubur terdampar di Pantai Tiku Agam, 10 orang tersengat

Pewarta: Laila Syafarud
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019