Jakarta (ANTARA) - Apresiasi dan dukungan yang setinggi-tingginya patut diberikan kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian Keuangan atas kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau.

Pemerintah baru saja "mengetuk palu" kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) hingga 35 persen pada awal tahun 2020.

Langkah ini merupakan bukti bahwa Pemerintah serius menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul melalui upaya pengendalian konsumsi rokok terutama pada kalangan remaja dan masyarakat miskin.

Saat ini harga rokok di Indonesia memang masih tergolong murah, dengan rata-rata harga jual Rp17.000. Bahkan praktik penjualan rokok dalam bentuk eceran masih dilakukan di berbagai tempat.

Baca juga: Dirjen Bea Cukai: Kami dengarkan keluhan industri rokok

Baca juga: Pemerintah diminta tinjau ulang kebijakan tarif cukai rokok


Dengan harga tersebut remaja masih mampu menjangkau rokok dengan mudah, apalagi jika mereka membeli secara patungan. Perilaku merokok di kalangan remaja di Indonesia masih sangat memprihatinkan, di mana berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi merokok remaja usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018.

Harga rokok yang murah, serta masih maraknya praktik penjualan rokok secara eceran memicu tingginya konsumsi rokok pada kalangan remaja di Indonesia.

Selain mengancam para remaja, harga rokok yang terjangkau juga mengancam kesejahteraan keluarga miskin. Studi yang dilakukan oleh Dartanto dkk. pada tahun 2018 dengan mengeksplorasi data Indonesia Family Life Survey (IFLS), menunjukkan bahwa konsumsi rokok berhubungan secara signifikan dengan kemiskinan, stunting pada balita, dan tingkat kecerdasan anak yang rendah.
Selanjutnya Pusat Kajian Jaminan Sosial-Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Dartanto dkk. melakukan studi kasus pada bulan Juli tahun 2019 terhadap keluarga dengan balita stunting di Kabupaten Demak dimana terbukti adanya kebutuhan makanan bernutrisi yang tidak terpenuhi akibat konsumsi rokok orang tua.

Studi kasus yang dilakukan di Demak membuktikan adanya shifting kebutuhan penting untuk belanja rokok, sehingga anak mengalami stunting. Hal ini membuktikan bahwa perilaku merokok dapat menghambat pembangunan SDM dari berbagai aspek seperti kesehatan, pendidikan, dan sosio-ekonomi pada generasi selanjutnya.

Di sisi lain, pemerintah juga telah melakukan upaya pengentasan kemiskinan dan bantuan pendidikan serta kesehatan melalui program bantuan sosial (bansos). Ironisnya, perilaku merokok masih banyak ditemukan pada keluarga penerima dana bansos.

Menurut studi PKJS-UI tahun 2019 terhadap perilaku merokok pada keluarga miskin penerima dana bansos, konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) pada keluarga tersebut lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos. Keluarga penerima Program Keluarga Harapan atau PKH membelanjakan Rp3.660 per kapita per minggu dan 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi dibandingkan keluarga yang bukan penerima PKH.

Pada dasarnya bantuan sosial merupakan program dengan tujuan yang bagus, namun kurang efektif akibat perilaku merokok keluarga penerima program.

Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan oleh PKJS-UI kepada keluarga penerima bansos di Kota Malang dan Kabupaten Kediri, dalam kondisi ekonomi yang sangat pas-pasan, mereka tetap menghabiskan sebagian pendapatannya untuk belanja rokok hingga dua bungkus per hari.

Bahkan keluarga penerima dana bantuan sosial masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dan tempat tinggal yang layak karena anggaran untuk belanja rokok menghabiskan hampir setengah dari kebutuhan sehari-hari.

Hal ini sekali lagi membuktikan harga rokok masih terjangkau bagi kelompok masyarakat miskin. Sehingga rokok memang harus mahal jika ingin kesejahteraan masyarakat meningkat.

Dukungan kebijakan kenaikan cukai rokok juga diberikan oleh masyarakat Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh PKJS-UI pada tahun 2018 terhadap 1.000 orang responden menunjukkan 88 persen masyarakat mendukung harga rokok naik, bahkan 80,45 persen perokok sendiri setuju jika harga rokok naik.

Semakin tinggi harga rokok, jumlah konsumsi rokok akan semakin turun. Studi tersebut juga mengungkap bahwa 74 persen perokok mengaku akan berhenti merokok apabila harga mencapai Rp70.000 per bungkus.

Artinya, kenaikan cukai rokok harus signifikan membuat harga rokok menjadi lebih mahal. Apabila konsumsi rokok ingin dapat dikendalikan secara optimal, maka harga rokok juga harus naik hingga optimal pula agar anak-anak di bawah umur dan masyarakat miskin tidak mudah menjangkau.

Di sisi lain, masyarakat miskin dan anak di bawah umur masih memiliki pilihan merek rokok dengan harga lebih murah apabila harga merek rokok yang biasa mereka konsumsi naik.

Hal ini terjadi akibat variasi harga rokok di Indonesia yang masih sangat memungkinkan peluang untuk tetap merokok. Oleh karena itu simplifikasi cukai rokok juga perlu diberlakukan agar variasi harga rokok berkurang sehingga konsumsi rokok dapat ditekan.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Vid Adrison, Ketua Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, simplifikasi cukai rokok di Indonesia akan berdampak pada harga rokok yang lebih tinggi dan insentif untuk menciptakan merek baru berkurang. Peneliti juga menambahkan jika penyeragaman tarif cukai rokok dilakukan, maka upaya pengendalian konsumsi rokok akan lebih efektif.

Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau pada tahun 2020 mendatang memang patut diapresiasi. Untuk mengendalikan konsumsi rokok secara signifikan, cukai rokok semestinya naik secara optimal.

Selain itu simplifikasi cukai rokok juga perlu diberlakukan agar opsi harga rokok yang lebih murah dapat ditiadakan, sehingga anak di bawah umur dan masyarakat miskin tidak akan mudah menjangkau rokok. Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu menciptakan generasi muda yang hebat serta mempercepat pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas. Jangan sampai karena murah SDM unggul kalah.

*) Dr Renny Nurhasana adalah Manager Program pengendalian Tembakau Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia dan Dosen Kajian Pembangunan Perkotaan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.
*) Suci Puspita Ratih MPH adalah Dosen Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang dan Peneliti di Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia.


Baca juga: Kenaikan tarif cukai SKT harus di bawah SKM

Copyright © ANTARA 2019