Manado (ANTARA) - Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai hukuman mati bagi perempuan merupakan salah satu puncak, kekerasan, dan diskriminasi berbasis gender terhadap kaum hawa.
"Hidup adalah sebuah hak asasi yang hakiki, fundamental, dan tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Namun, nyatanya masih ada kontradiksi antara mandat konstitusi dengan sistem hukum di tingkat nasional," katanya pada diskusi bertajuk "Hukuman Mati dan Dimensi Kekerasan Berbasis Gender serta Penyiksaan terhadap Perempuan di Jakarta, Senin.
Merujuk data Kementerian Luar Negeri pada 2021 terdapat 201 warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati. Dari jumlah itu, sebanyak 40 di antaranya merupakan perempuan.
Mereka terjerat dengan berbagai kasus, yakni 64 persen sindikat narkotika internasional dan 33 persen karena kasus pembunuhan demi melindungi diri dari pemerkosaan.
Malaysia dan Arab Saudi merupakan dua negara dengan kasus pekerja migran berhadapan dengan hukuman mati tertinggi.
Hingga saat ini, katanya, hukuman mati masih diberlakukan untuk sejumlah tindak pidana maupun pemberatan atas pidana tertentu. Akan tetapi, tak jarang perempuan yang berurusan dengan pidana mati pada awalnya merupakan korban kekerasan.
"Jika kita lihat, sering kali perempuan yang menjadi terpidana hukuman mati merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga," kata Andy Yentriyani.
Ia menjadi terpidana hukuman mati dikarenakan melakukan pembelaan diri akibat kekerasan yang dialami baik fisik maupun psikis.
Selain itu, banyak kaum perempuan yang menjadi terpidana mati di mana awalnya mereka merupakan korban perdagangan orang dengan tujuan utama penjualan narkotika.
Tidak hanya itu, kata dia, kuatnya pengaruh patriarki di masyarakat membuat kaum perempuan sering ketergantungan kepada laki-laki. Baik secara ekonomi maupun psikis.
Akibatnya, mereka sering kali diberdayakan untuk hal-hal jahat dan kriminal, misalnya sebagai kurir narkoba dan pada akhirnya terjerat hukuman mati.
Lebih buruk lagi, berdasarkan temuan Komnas Perempuan, kaum perempuan yang terjerat atau dikenai hukuman mati seakan-akan dibuang dari keluarga mereka sendiri.
"Jadi seolah-olah mereka dihilangkan dari keluarganya akibat stigma yang melekat," ujarnya.
Oleh karena itu, berdasarkan kajian Komnas Perempuan, hukuman mati bagi kaum perempuan merupakan puncak kekerasan dan diskriminasi berbasis gender terhadap kaum hawa.
Berita Terkait
Studi: Gangguan dismorfik tubuh lebih rentan kena ke anak perempuan
Senin, 1 April 2024 8:06 Wib
Hillary Lasut masuk lima caleg dengan suara terbanyak se-Indonesia
Senin, 18 Maret 2024 5:46 Wib
Wagub: Butuh partisipasi publik berdayakan perempuan di Sulut
Kamis, 29 Februari 2024 21:53 Wib
Wagub Sulut ajak perempuan ikut berperan turunkan angka tengkes
Kamis, 29 Februari 2024 20:13 Wib
Ketua YKI Sulut: Perempuan berperan penting cegah kanker di era modern
Selasa, 6 Februari 2024 19:38 Wib
Kemenag Sulut lakukan pembinaan keagamaan lapas anak-perempuan
Kamis, 11 Januari 2024 17:54 Wib
Dirut LKBN ANTARA apresiasi gelar doktor diraih Dirkeu Nina Kurnia Dewi
Kamis, 21 Desember 2023 14:54 Wib
Pemkab Sitaro fokus perlindungan korban kasus kekerasan perempuan dan anak
Senin, 18 Desember 2023 12:13 Wib