Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta untuk jangan lengah dalam menyambut kemenangan Indonesia atas pihak India Metal Ferro Allos (IMFA) di dalam Pengadilan Arbitrase Permanen karena IMFA berpotensi menghindar dari kewajiban atas putusan yang telah dijatuhkan.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, di Jakarta, Jumat, menjelaskan bahwa belajar dari pengalaman kasus gugatan Churcill Mining terhadap Indonesia, ada upaya bahwa permohonan pembatalan terhadap putusan menjadi salah satu trik untuk menghindari kewajiban membayarkan biaya perkara yang ada dalam putusan.

"Memang betul kemenangan atas IMFA telah menghindarkan negara untuk mengalami kerugian sebesar 469 juta dolar AS. Tetapi ada fakta bahwa pengajuan permohonan pembatalan terhadap putusan atau annulment of the awards menjadi salah satu strategi investor yang kalah untuk menghindari kewajiban yang menyebabkan penegakan atas putusan tidak dapat dilaksanakan. Kasus Churchill harus jadi pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia," ujar Rachmi.

Menurut dia, meski Pemerintah Indonesia menang tetapi perusahaan multinasional diyakini akan terus berupaya dalam mencari berbagai celah hukum untuk menghindari kewajiban meski pengadilan arbitrase telah mengeluarkan putusan.

Sebagaimana diwartakan, Pemerintah RI memenangkan gugatan arbitrase yang diajukan oleh Indian Metal Ferro & Alloys Limited (IMFA) dalam persidangan yang digelar di Den Haag, Belanda, dan menyelamatkan keuangan negara sebesar 469 juta dolar AS atau sekitar Rp6,68 triliun.

Dalam putusan pada Jumat (29/3), majelis arbiter menolak gugatan yang diajukan oleh IMFA serta memerintahkan IMFA untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan selama proses arbitrase kepada Pemerintah RI.

"Ini keberhasilan yang dicapai dengan jalan yang panjang," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo di Kantor Kejagung, Jakarta, Senin (1/4).

Jaksa Agung mengatakan keberhasilan penanganan perkara yang disidangkan sejak Agustus 2018 itu didukung tim terpadu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2016 tentang Tim Penanganan Gugatan Arbitrase IMFA.

Untuk menangani kasus itu lebih lanjut, Jaksa Agung memberikan kuasa substitusi kepada Tim Jaksa Pengacara Negara dan Kantor Hukum Simmons&Simmons yang bekerja sama dengan Kantor FAMS Lawyer.

IMFA mengajukan gugatan terhadap Pemerintah RI pada 24 Juli 2015 dengan alasan adanya tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki oleh PT SRI dengan tujuh perusahaan lain akibat adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas.

Dengan adanya tumpang tindih IUP tersebut, IMFA mengklaim Pemerintah RI telah melanggar BIT India-Indonesia dan meminta ganti rugi sebesar 469 juta dolar AS atau Rp6,68 triliun.

PT SRI merupakan badan hukum Indonesia, tetapi pemegang saham dari PT SRI adalah Indmet Mining Pte Ltd (Indmet) Singapura yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Indmet (Mauritius) Ltd, sedangkan saham dari Indmet (Mauritius) Ltd dimiliki oleh IMFA.

Majelis arbiter dalam putusannya menerima bantahan Pemerintah RI soal permasalahan tumpang tindih dan batas wilayah merupakan permasalahan yang telah terjadi sebelum IMFA masuk sebagai investor di Indonesia.

Permasalahan tersebut semestinya telah diketahui oleh IMFA sehingga Pemerintah RI sebagai negara tuan rumah tidak dapat disalahkan atas kelalaian investor.
 

Pewarta : M Razi Rahman
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024