Manado, (Antaranews Sulut) - Di atas Bukit Widduane, Desa Musi, Lirung, tampak dua bangunan bersisian, yang semuanya dicat warna putih, milik penghayat ADAT Musi, untuk melaksanakan semua ritualnya, satunya bangunan utama yang merupakan replika tempat Bawangin Panahal menerima wahyu dari Tuhan, yang dijadikan tempat berdoa dan terbuka untuk umum. 

 Satunya adalah sebuah bangunan yang sedikit terbuka menyerupai bangsal yang ditutup dengan kerai rotan, merupakan tempat berdoa dan kegiatan ritual bagi semua kaum penghayat ADAT Musi, yang sengaja warna putih, sebagai lambang ketulusan, kebersihan dan kesucian, yang menjadi tradisi mereka.  

 Untuk mencapai puncak Widduane, orang harus berjalan mendaki menaiki 218 anak tangga, yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, sekitar 10 menit. Tempat suci penghayat ADAT Musi. (jo) (1)

Musi sendiri, adalah nama sebuah desa, di Pulau Salibabu Kecamatan Lirung, Talaud, Sulawesi Utara. Di desa Musi inilah, hidup para yang merupakan penghayat ajaran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha, Allah dalam tubuh yang disingkat ADAT Musi. 

Ajaran itu disebut ADAT Musi, karena diajarkan oleh Bawangin Panahal, di Desa Musi, pada tahun 1880 dan tetap hidup dan dipertahankan oleh para pengikutnya sampai saat ini. Termasuk semua tradisi sosial yang diajarkan mulai dari cara hidup sampai pekerjaan dan interaksi antar sesama manusia.

Para penghayat ADAT Musi, yang berjumlah 282 jiwa, hidup berdampingan dengan masyarakat di Desa tersebut, meskipun ada juga yang tersebar di wilayah lainnya, karena pekerjaan dan pendidikan, seperti di Jakarta, Manado, Beo, Tahuna hingga Melonguane dengan mempertahankan tradisi yang diajarkan leluhur.

Pimpinan penghayat ajaran ADAT Musi, Arnold Panahal, menuturkan, dalam masyarakatnya, berbagai tradisi yang diajarkan sejak kelompok itu terbentuk, pada lebih dari seabad yang lalu, tetap ada dilaksanakan dan tak satupun yang diabaikan, meskipun zaman berganti dan teknologi mulai menyentuh masyarakat, tetapi tradisi-tradisi yang ada tetap terpelihara.

"Ada banyak tradisi dalam masyarakat penghayat ADAT Musi, yang tetap kami pelihara sampai saat ini, dan diteruskan oleh anak cucu, yang masih setia memegang ajaran," kata Arnold Panahal.  Tempat suci penghayat ADAT Musi. (jo) (1)

Dia menyebutkan tradisi yang masih terpelihara dan juga diterima oleh masyarakat umum, adalah pola bercocok tanam dan "paramisi", dan yang utama adalah penghapusan model keningratan atau kebangsawanan yang diajarkan oleh Bawangin. 

"Tradisi pola bercocok tanam, adalah melakukan ritual selama tiga hari, untuk memastikan apakah nantinya hasil panen baik atau tidak, sebab nantinya hasil panen tidak akan dijual, namun dibagikan kepada siapa saja yang berkekurangan, dalam pengertian memelihara hubungan sosial, dan paramisi yakni melakukan doa dalam semua kegiatan dalam bentuk apapun, bahkan saat hendak memetik daunpun harus ada paramisi," katanya.   

Arnold menuturkan tradisi penghapusan kebangsawanan dalam ADAT Musi, menjadi hal utama dalam kehidupan masyarakat tersebut, sehingga tidak ada yang dirajakan dalam struktur sosial masyarakat, atau tak strata sosial, selain orang yang dituakan atau tua-tua kampung. 

"Tradisi itu, membuat Musi berbeda dengan wilayah manapun di Talaud. Karena dalam struktur sosial masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud, struktur kebangsawanan tetap ada, yang disebut Ratumbanua, dimana yang bersangkutan dirajakan, karena keturunan ningrat dan kedudukannya lebih tinggi dari yang lainnya, meskipun memang sekarang sudah berbeda tidak seperti dulu pemahamannya, namun sebutanya tetap ada," katanya.  Bersama dalam kehidupan sosial bergotong royong dalam melaksanakan sebuah hajatan  (jo) (1)
 
Namun katanya, hal itu tidak berlaku dalam masyarakat Musi, tidak ada yang namanya Ratumbanua, hanya ada pentua adat, yang dipilih dari warga setempat dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi seperti berperilaku baik, bisa dijadikan teladan, dan mampu menjembatani hubungan antara sesama manusia. 

Sekarang ini di Musi, yang menjabat sebagai pentua adat adalah Daniel Sariu, yang dibantu oleh sejumlah pengurus yang disebut timade wanua, inangu wanua, timade wuangana, timade asusuana yang membantu mengatur masyarakat. Tradisi tersebut berakar dari ajaran ADAT Musi, bahwa semua manusia itu sama di hadapan Tuhan, tidak berbeda dan tak ada yang lebih tinggi atau rendah dari orang lain. 

Diapun menuturkan, tradisi lainnya adalah menyelesaikan semua masalah dengan musyawarah mufakat, meskipun ada silang sengketa, tetap diselesaikan dengan masyarakat dan semuanya diterima oleh warga yang juga bukan penghayat ADAT Musi. Termasuk cara berpakaian pun katanya, penghayat ADAT Musi dilarang berpakaian merah, dan itu diterima sebagai keharusan yang dipahami juga oleh masyarakat umumnya.

Tetapi dia mengakui dalam kemajuan zaman dan teknologi, penghayat ADAT Musi juga tetap bisa menerima dan menyesuaikan diri, sehingga tidak tertinggal atau tergerus teknologi, dengan menggunakan telepon genggam bahkan android.    

 Dalam kehidupan sosial, kata Arnold Panahal, sudah bisa menerima perkawinan campur, antara pasangan yang menikah dengan perbedaan keyakinan dan memilih mempertahankan kepercayaan masing-masing karena ada yang menjalaninya. 
      
Mempertahankan Tradisi dalam perbedaan 

Bagi penghayat ADAT Musi, hidup bersama di satu lingkungan dengan masyarakat yang berbeda menjadi sebuah tantangan sekaligus kebanggaan, karena harus menyesuaikan diri sekaligus mempertahankan tradisi yang dianut. 

Hal itu diakui oleh Daniel Sariu, penghayat ADAT Musi, yang tetap setia melakukan semua tradisi yang diajarkan termasuk bagaimana memelihara hubungan sosial. 

"Kami tetap memelihara tradisi dan tidak meninggalkan satupun, sebab merupakan ajaran kebaikan yang harus dipertahankan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, sehingga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan selalu terpelihara tanpa ada gesekan, karena tradisi yang dipelihara itu baik," katanya.  Pentua ADAT Musi,  (jo) (1)

Pengakuan yang sama pun disampaikan masyarakat Desa Musi, bernama Naomi Gilingan. Naomi bukanlah penghayat ADAT dan merupakan pendatang dari luar daerah dan sudah menetap di desa tersebut selama lebih dari 10 tahun, mengakui kalau kehidupan sosial kemasyarakatan berjalan baik di daerah itu. 

"Tidak ada gesekan sama sekali, bahkan kami yang bukan golongan ADAT pun tidak merasa berbeda dengan mereka, karena semua tradisi yang diberlakukan baik dan bernilai positif," katanya. 

 Karena itu menurutnya, semenjak memilih tinggal tidak mengalami perubahan sosial sama sekali, bahkan pola hidup masyarakat di Musi itu baik dan rasa kekeluargaanya tinggi, tanpa ada perbedaan sama sekali, sebab tradisi yang dipelihara, diterima dengan baik. 

 "Kamipun menghargai dan menghormati semua tradisi yang dipertahankan dan dilaksanakan masyarakat ADAT Musi, karena dasarnya adalah kebaikan semata," katanya. 

Pengakuan Pemerintah 

Sebagai sebuah keyakinan yang sudah lama berakar dan dianut oleh sebagian besar masyarakat desa, ADAT Musi mendapatkan perhatian pemerintah, dan diakui masuk dibawah Dirjen Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa dan Tradisi, termasuk pemerintah Kabupaten Talaud, termasuk semua tradisi sosial kemasyarakatannya.

Seperti disampaikan oleh Wakil Bupati, Petrus Tuange, yang mengakui selama ini tidak pernah ada gesekan antara masyarakat ADAT Musi dengan warga umumnya bahkan hidup rukun dan damai, dan mengakui keberadaan mereka.

Dia pun mengatakan, tidak ada tradisi masyarakat ADAT Musi yang salah atau bertentangan dengan aturan, sehingga tetap diterima dengan terbuka oleh masyarakat umumnya.  

"Selama lima tahun menjadi wakil kepala daerah, tidak pernah ada konflik atau gesekan dalam bentuk apapun di Musi, terkait kehidupan sosial masyarakat di situ," katanya. 

Apalagi kata Tuange, masyarakat tersebut tetap eksis sampai sekarang, itu menunjukkan bahwa umat penghayat ADAT Musi, tetap hidup rukun dan saling menghormati dan menghargai dengan sesama penduduk lainnya. 

"Pemerintah daerah mengakui keberadaan masyarakat ADAT Musi dan Bupati Sri Manalip pernah diundang dan memenuhi undangan tersebut," katanya. 
 
Anggota DPRD Talaud, Van Ambuliling, pun mengatakan hal serupa, selama ini kelompok penghayat ADAT Musi, hidup rukun dan damai, dan seluruh tradisi yang dipelihara kelompok itu diterima masyarakat umumnya. 

"Pemerintah bersama DPRD juga mengakui dan tidak menolak keberadaan kelompok ini, karena tidak ada tradisi kelompok ini yang salah, sehingga tak pernah menimbulkan gesekan dengan masyarakat umum, di Musi, Lirung bahkan Talaud pada umumnya," katanya. 

Karena itu secara hukum dan fakta keberadaanya diakui, apalagi memang konstitusi negara mengakui adanya aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga keberadaan mereka tetap diterima. 

Diapun mengatakan, tradisi kelompok ini dihormati termasuk dalam urusan makan, setiap kali ada pesta atau hajatan, kelompok ini akan mendapatkan meja khusus, sehingga bebas menikmati sajian, tanpa melanggar tradisinya, yang menujukkan penghormatan masyarakat lain pada tradisi kelompok ini. Salah satu kegiatan yang diselenggarakan negara bagi penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Arnold Panahal menyerahkan Kitab Sudi kepada pengrurus presidium . (jo) (1)

Selain itu, katanya, pemerintah dan DPRD kabupaten Talaud memberikan perlindungan kepada kelompok ini karena merupakan warga negara yang kedudukannya sama di mata hukum.  

Sementara Kepala Desa Musi, Burnet Buluran, yang kesehariannya bersama dengan masyarakat, mengatakan semua tradisi yang dipertahankan dan dilakukan oleh penghayat ADAT Musi diterima warga desa. 

"Semua tradisi yang dilaksanakan ADAT Musi, bersumber dari pengajaran yang baik, sehingga diterima tanpa dengan baik dan tidak ada yang dianggap salah oleh pemerintah," katanya. 

Salah satu tandanyanya, kata Burnet adalah diakuinya penghayat ADAT Musi sebagai salah satu aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh negara dan pimpinannya pernah menjadi ketua presidium penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab sudah memiliki kita suci sendiri, umat yang kelihatan dan tempat ibadah yang permanen. 

"Bahkan Bupati Sri Maria Manalip membantu pembangunan replika tempat suci umat dan ikut meresmikannya, di Bukit Widduane, yangh terbuka untuk umum," katanya.  

 Sebagai kepala desa dia mengatakan, penghayat diterima dengan baik, apalagi merupakan penduduk terbanyak di Desa Musi yang berpenduduk sekitar 600 jiwa, sehingga kondisi sosial tetap baik, dan terlibat dalam semua kegiatan sosial kemasyarakatan.***


 

Pewarta : Joyce Hestyawatie B

Copyright © ANTARA 2024