Manado, (Antaranews Sulut) - Wakil Wali Kota Manado Mor Dominus Bastiaan bersama Wakil ketua TP PKK Manado, Imelda Bastiaan-Markus, mengangkat dan membawa budaya Sangihe pada pelaksanaan Manado Fiesta.   

"Pakaian adat dari Sangihe, yang kami pakai itu biasanya dikenakan dalam upacara tradisional bermakna religius, tulude, dipilih karena etnis tersebut merupakan penduduk yang cukup banyak di Manado, sebagai simbol kemajemukan warga kota," kata Mor Bastiaan, di Manado, Sabtu. 

Dia mengatakan, pakaian yang dipakai tersebut, memiliki banyak makna, dan digunakan oleh etnis Sangihe, Talaud maupun Sitaro, dalam berbagai kegiatan budaya Nusa Utara, sebutan bagi tiga kabupaten kepulauan tersebut. 

"Dengan mengenakan pakaian dari Nusa Utara, pesan moral yang hendak disampaikan, bahwa kemajemukan gaya hidup masyarakat Manado namun selalu ada dalam kerukunan dan persaudaraan, serta toleransi dan itulah Pancasila, NKRI dan bhineka tunggal ika yang sesungguhnya di Manado," katanya. 

Bastiaan menjelaskan, memang pakaian adat dari Nusa Utara yang dipakainya tersebut, perempuan dan laki-laki hampir tidak ada bedanya, karena sama-sama terdiri atas baju panjang, ikat pinggang dan ikat kepala, dengan warna-warna dominan merah, hitam dan biru.

Dia pun merinci, bahwa pakaian adat yang dipakainya, memiliki makna yang dalam, dimana dalam ritual tradisional Nusa Utara, terbuat dari serat kofo atau fami manila yaitu sejenis pohon pisang yang banyak tumbuh di kawasan berikim tropis seperti daerah Sangihe dan Talaud. 

"Serat tumbuhan itu ditenun menjadi lembaran kain menggunakan alat tenun yang disebut "kahuwang", itulah kemudian digunakan untuk membuat pakaian adat yang disebut "laku tepu", yang bermakna pakaian yang bagian lehernya agak sempit atau tidak terbuka," katanya.

Dia mengatakan, pakaian adat tersebut juga dilengklapi dengan popehe dan paporong yang juga punya arti masing-masing dimana Popehe merupakan sejenis kain dari bahan kofo yang diikatkan pada pinggang sebelah kiri dengan ujungnya terurai kebawah, yang fungsinya memperindah dan maknanya pembangkit semangat dalam melaksanakan tugas ataupun mengatasi berbagai rintangan.

Kemudian paporong katanya, kain yang diikat di kepala menutupi dahi, umumnya terbuat dari bahan kain kofo yang dibentuk segitiga sama sisi, dengan alasnya yang dilipat sebanyak tiga kali dengan lebar tiga sampai lima cm. 

"Paporong yang dikenakan oleh pria dari golongan masyarakat biasa umumnya disebut dengan nama lingkaheng, sementara untuk keturunan bangsawan disebut paporong kawawantuge," katanya.

Demikian juga untuk perempuan katanya, jenis pakaian yang dikenakan mirip, hanya saja bentuknya berupa baju terusan yang memanjang dari leher sampai di betis, dimana di bagian leher terdapat lipatan berbentuk segitiga atau huruf V, dengan sejumlah pelengkap, yakni pengunaan kahiwu bandang, serta botu pusige.***2*** 
     
 

Pewarta : Joyce Hestyawatie B
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024