Manado, 3/12(AntaraSulut) - Hari minggu, tanggal 3 Desember 2017, kita memasuki masa Adven. Untuk kesekian kalinya kita mengalami peralihan; kita melepas dan mensyukuri tahun liturgi yang sudah berlalu dan kita menyambut tahun liturgi yang baru dengan penuh sukacita dan harapan.
Gereja menyambut perjalanan kita memasuki masa Adven dengan pengakuan; "Engkaulah Bapa, Kami ini tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami semua adalah buatan tanganMu(Yes 16:8) itulah suatu pengakuan yang didasarkan pada pengalaman iman akan Bapa yang dikenal dengan nama "Penebus kami". Pengalaman iman ini bersentuhan juga dengan pergumulan manusia sendiri yang mengaku "berdosa", "pemberontak", "orang najis", "kotor", "layu". Pengakuan ini mengungkapkan makna dari Masa Adven, masa penantian, dan memberi inspirasi pada kita bagaimana kita mengisi masa Adven ini.

Masa Adven adalah suatu perziarahan untuk berjumpa dengan Yesus. Seperti para gembala yang cepat-cepat berangkat (Luk 2:16) dan para majus yang dituntun dengan cahaya bintang untuk mencari, "untuk menyembah Dia"(Mat 2:2). Begitulah juga kita mempersiapkan diri untuk perjumpaan itu. Tentu saja ada yang menerangi pikiran dan hati, serta hidup para gembala, para majus dan kita sekalian, untuk berjumpa dengan Yesus. Perjumpaan dengan Yesus menjadi saat pemulihan. Berjumpa dengan Yesus, para gembala "kembali sambil memuji dan memuliakan Allah(Luk 2:20). Berjumpa dengan Yesus, para majus, " mempersembahkan persembahan kepadaNya dan "pulang ke negerinya melalui jalan lain" (Mat 2:11-12) berjumpa dengan Yesus, kita menjadi "terang dunia" (Mat 5:14). Permuliaan itu terungkap dalam pergantian cahaya; bukan lagi suara para malaikat, bukan lagi cahaya bintang di langit, bukan lagi panggilan dan ajakan dari luar, melainkan suara dan cahaya Yesus. Yesus jadi bintang dalam hati dan hidup para gembala, para majus. Yesus jadi batu penjuru dalam hidup kita. Mari berziarah untuk mencari dan menjumpai Yesus. Mari berziarah untuk berubah.

Kearah permuliaan itulah, masa Adven ini kita mau jalani. Dalam perziarahan ini, baiklah kita menggali cahaya-cahaya yang sudah menerangi perjalanan hidup kita. Cahaya itu sudah menandai awal perjalanan hidup kita sebagai manusia dalam bentuk nafas hidup, sesuai dengan kesaksian iman yang sudah dituliskan dalam kitab Kejadian; "maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu sungguh amat baik"(Kej 1:31). Kalau pada awal mula keadaannya sudah amat baik kita bertanya: "bagaimana keadaan sekarang?" cahaya yang sama sudah menandai awal perjalanan hidup kita sebagai orang beriman dalam penerimaan sakramen baptis, dan sakramen lainnya, dan begitu selanjutnya terus menerus dibaharui melalui peristiwa-peristiwa hidup dan iman. Jejak cahaya itu sudah berawal dari Allah sendiri. Alasan yang paling dasar dari anugerah Allah ini adalah kasihNya, sebagaimana dikalimatkan oleh penginjil Yohanes: "karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anakNya yang tunggal" (Yoh3:16) kita sudah menerima cahaya itu, cahaya itu masih terjaga dan terus teruji dalam rupa-rupa peristiwa dan pengalaman hidup dan iman kita. Cahaya itu harus juga dibagikan atau dipancarkan keluar dari hidup kita untuk menerangi dunia sesuai dengan harapan Yesus: "menerangi semua orang dalam rumah" (Mat 5:15). Mari berziarah sambil menjaga cahaya ini, sebagaimana sudah dialamatkan dalam penerimaan sakramen baptis," jagalah cahaya lilin ini".

Menghadapi situasi bangsa yang akhir-akhir ini ditandai dengan radikalisme dan terorisme serta ujaran kebencian yang dapat merusak sendi-sendi hidup bersama, para bapa Uskup dalam sidang 6-16 November 2017 yang lalu mengajak umat Katolik untuk terus menerus membuka diri membangun tata dunia ini. Mari kita bergandeng tangan, para uskup bersama para imam dan diakon, anggota hidup bakti(suster, frater, bruder) mendukung kaum awam kita ikut meresapi dan menyempurnakan baik rumah kita maupun dunia dengan semangat injil.

Ada cahaya yang terpancar dari dalam diri manusia yang sedang berziarah: itulah kesadaran diri yang diungkapkan dalam bentuk pengakuan tersebut di atas. Karena cahaya itulah, maka pengalaman "jatuh" tidak membuat manusia berputus asa. Di tempat kejatuhan terdalam pun masih ditemukan cahaya yang menuntun hati manusia pada pengharapan akan keselamatan dan penebusan. Cahaya itu menyentuh hati penuh kasih Gereja yang kemudian membuka pintu dan menawarkan pengampunan, membangun rekonsiliasi.Itulah cahaya yang bersinar terang benderang diruang pengakuan: "dosamu sudah diampuni" (Mat 9:2), "pergilah dan jangan berbuat dosa lagi" (Mat 8:11). Mari singgah di ruang rekonsiliasi.

Manado, 24 November 2017
In Lumine Tuo, Videmus Lumen
Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu, MSC


Pewarta :
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024