Oleh I Made Rio Dwijayanto
Mahasiswa S2 STIK Sint Carolus
Email : rio_dj@yahoo.co.id

    
     JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat Indonesia untuk dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.  

      Kesehatan adalah hak dasar bagi setiap orang dan semua warga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebagai acuan UUD 1945 mengamanatkan bahwa jaminan kesehatan bagi masyrakat Indonesia khususnya yang miskin dan tidak mampu adalah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah. Pemerintah menjalankan amanat dari UUD 1945 dengan mengeluarkan UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk memberikan jaminan sosial menyeluruh bagi setiap orang dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

     Pro dan Kontra penerapan jaminan kesehatan nasional masih dikeluhkan oleh berbagai pihak, terutama sistem rujukannya yang dirasa tidak fleksibel menjadi suatu permasalahan yang dianggap menyusahkan masyarakat. Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan sistem yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik, baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial diseluruh fasilitas kesehatan (faskes).

     Pada pelaksanaannya sistem rujukan yang diterapkan dalam sistem JKN adalah sistem rujukan berjenjang sesuai dengan Permenkes No. 1 Tahun 2012 yang dimulai dari pelayanan tingkat pertama (puskesmas, klinik dan dokter umum) hingga pelayanan spesialis jika diperlukan dan tidak dapat ditangani, maka rujukan dilanjutkan kepelayanan tingkat ke dua yang  dilakukan oleh dokter spesialis. 
  
     Pelayanan medis yang dilakukan pada faskes pertama adalah kasus medis yang dapat diselesaikan secara tuntas di faskes pertama, kasus yang membutuhkan penenganan awal sebelum dilakukan rujukan, kasus medis rujukan balik dan persalinan bukan resiko tinggi, sedangkan untuk pelayanan medis pada faskes ke dua dilakukan pelayanan sesuai rujukan dari faskes pertama dan untuk faskes ketiga merupakan penanganan kasus khusus dan membutuhkan penanganan dari dokter sub spesialis. 

     Pelayaanan kesehatan tingkat kedua difasilitas kesehatan sekunder (dokter spesialis) hanya dapat diberikan atas rujukan tingkat fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik dan dokter umum) kemudian pelayanan kesehatan tingkat ketiga (rumah sakit umum atau rumah sakit khusus) hanya dapat diberikan atas rujukan dari faskes tingkat kedua. Alur rujukan yang berjenjang kadang membuat masyarakat kurang sabar dan direpotkan. Selain sistem rujukan bejenjang, banyak masyarakat  yang mengeluhkan sistem rujukan yang dibuat atau ditujukan sesuai alamat KTP. 

     Sistem rujukan yang berjenjang ini dibuat dalam rangka meningkatkan aksebilitas, pemerataan dan peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan. Rujukan dilakukan ke fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki kemampuan pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Meningkatkan aksebilitas dimaksudkan agar masyarakat mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hal ini menjadi tujuan dari pemetaan faskes yang disesuaikan dengan KTP. Selain itu sistem rujukan juga dibuat bertujuan untuk pemerataan pelayanan kesehatan tujuannya agar masyarakat tidak hanya berfokus pada satu faskes saja, dan masyarakat mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Beda halnya untuk kasus-kasus emergensi atau keadaan gawat darurat dapat dilayani di Fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat kedua baik yang bekerjasama dengan BPJS maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan, hal ini telah diatur dalam UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Penjaminan Sosial.

      Pelayanan kesehatan harus segera diberikan tanpa perlu rujukan. Yang dikategorikan sebagai kasus Emergensi seperti kasus penyakit jantung, perdarahan, penyakit syaraf (stroke) dan gangguan pernapasan. Penentuan pelayanan kesehatan primer sebenarnya bisa ditentukan sendiri oleh peserta JKN, pada saat peserta melakukan regristasi atau pendaftaran JKN. Sistem JKN secara otomatis akan menentukan lokasi fasilitas kesehatan primer masuk ke wilayah kerja sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP. Untuk peserta yang ternyata berpindah atau berdomisili di tempat lain dan rujukan pelayanan kesehatan tidak didapatkan sesuai tempat domisili tentunya sangat menyusahkan peserta ketika akan mendapatkan pelayanan kesehatan. Peserta diperbolehkan berpindah ke fasilitas kesehatan primer lainnya. Peserta hanya perlu mengajukan perpindahan wilayah fasilitas kesehatan yang diinginkan di kantor BPJS. Setelah disetujui maka peserta JKN sudah bisa diterima dan mendapat pelayanan di Faskes yang baru. Yang menjadi permasalahan disini adalah kurangnya sosialisasi dan informed consent yang lebih mendalam kepada calon peserta JKN. Banyak calon peserta JKN kurang memahani sistem administrasi dan rujukan yang digunakan oleh JKN oleh karena itu calon peserta perlu diberikan edukasi secara menyeluruh. 

     Diharapkan petugas JKN memberikan informasi yang rinci terkait sistem rujukan yang digunakan, bahkan jika perlu masyarakat harus diberikan buku panduan tentang alur dan sistem yang digunakan JKN. Pemahaman yang kurang dari masyarakat justru akan berdampak dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya edukasi dan pemahaman yang menyeluruh kepada masyarakat tentang sistem rujukan, diharapkan masyarakat dapat mengerti dan memahami alur rujukan yang digunakan dalam JKN agar tidak ada lagi masyarakat yang merasa dirugikan sehingga diharapkan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal agar terwujud cita-cita pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesehatan masyarakat Indonesia. 


Pewarta : I Made Rio Dwijayanto
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024