Tondano (Antara Sulut) - Pertama-tama, saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi saudara saudaraku umat muslim. Situasi NKRI hingga hari ini sungguh mengkhawatirkan. Negara bangsa yang terbangun lewat konsensus founding fathers dari berbagai macam latar belakang SARA,  terancam oleh dinamika yang memanfaatkan SARA. 

Munculnya kelompok radikal dan intoleran seperti FPI, HTI dan ISIS menjadi ujian kekinian bangsa yang bernaung dalam kepakan sayap Sang Garuda. Bangsa Ketuhanan Yang Maha Esa ini tak mampu esa dalam menggapai sejahtera dan damai. Agama,  benteng moral bangsa tak kuasa menjadi korban.

Atas nama agama kekerasan bisa terjadi. Atas nama agama bom bisa meledak. Atas nama agama ujaran kebencian gampang meluncur. Atas nama agama perang antar umat bisa terpicu. 
Oh... Mungkinkah Indonesia yang beragama tersebut sedang dihancurkan oleh kekuatan sekularisme dan anti agama? 

Entahlah, yang jelas fakta menunjukkan agama benteng moral itu, sedang diperkosa, dieksploitasi untuk kepentingan tertentu, bisa kepentingan perut oleh kaum homo economicus sentris atau kepentingan kuasa, baik lokal, nasional maupun inter dan multinasional.

Yang jelas tempat di sorga hanya milik mereka yang menempuh jalan sesuai kehendak Sang Empunya Sorga dan kekekalan. Serangan terhadap bangsa ini pada hari ini sebenarnya adalah kekalahan agama-agama!
Kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama, bisa saja tanpa disadari atau secara sadar rela dimanfaatkan untuk kepentingan yang take and give. Sekalipun harus melawan nilai luhur yang diajarkan agamanya. 

Disaat FPI, HTI, ISIS eksis dengan berbagai varian gerakannya,  sebagaian anak bangsa berkeyakian beda merasa terancam dan sedikit lagi khilaf dan kalap.  

Isu sekecil apapun akan mampu membangkitkan gairah "perang agama" dan mengulang peristiwa Poso dan Ambon. Kekacauan bangsa inilah suatu tujuan. Dan kekacauan itu dipicu oleh isu sensitif dari sistem yang sejatinya membenci kekerasan dan permusuhan yaitu: AGAMA!!!

Akhirnya benteng moral bangsa itu lagi-lagi gagal!!!

Peluang itu kini berpotensi di laboratorium kerukunan Indonesia, Bumi Nyiur Melambai. Mengapa?  Hal ini bukan hanya karena Marawi Filipina dekat dengan Sulut. Tapi karena 'sel-sel tidur' prasangka dan fundamentalisme agama masih hidup disanubari anak bangsa.  Fragmentasi berselubung hipokritisme masih menggejala.  Sementara dialog umat hanya milik elit agama. 

Lalu apa yang harus dilakukan oleh agama-agama atau oleh umat beragama dan institusi berlabel agama?
Pertama, agama non muslim perlu mewaspadai dan mengintrospeksi mungkinkah terjebak pada generalisasi bahwa agama Islam adalah intoleran dan radikal dan adalah pihak yang harus dimusuhi. Hal ini harus dihindari. Stigmatisasi dan generalisasi berbahaya bagi keutuhan bangsa. 

Kedua, agama-agama mengkaji lagi teologinya dalam konteks ke Indonesiaan. Bagaimanapun agama-agama yang eksis di Indonesia adalah produk impor dari gerakan globalisasi agama jauh sebelum zaman IT. 

Ketiga,  agama-agama harus mentradisikan dialog atau tradisi "bacerita" ditataran grass root.

Keempat, agama-agama harus bersatu menentang eksploitasi agama untuk kepentingan politik.  Dan secara bersama-sama menolak organisasi radikal dan intoleran mengatasnamakan agama. 

Kelima, agama-agama harus membangun komitmen berpancasila. Karena justru ideologi agama-agamalah yang paling rentan mengancam pancasila ketimbang ideologi lokalitas kesukuan. 
Salam Indonesia...!!! (Meidy Y Tinangon,Ketua Dewan Penggerak Gerakan Minahasa Muda (GMM) dan Ketua DPD GAMKI Sulawesi Utara)

Pewarta : Oleh Meidy Y. Tinangon
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024