Manado, (Antarasulut) - Benyamin Loho (54), menggelengkan kepalanya dan mengatakan tidak, saat ditanyakan apakah pernah ada cerita tentang ombak besar maupun gelombang tsunami menghantam wilayah Tongkaina, khususnya wilayah Bahowo, kampung tempat tinggalnya.

     Kepala lingkungan tiga, Kelurahan Tongkaina itu, mengatakan, selama puluhan tahun dia tinggal di Bahowo, tak pernah sekalipun mendengarkan cerita dari para tua-tua kampung tentang gelombang besar yang menghantam rumah penduduk, meskipun mereka berumah di pesisir pantai.  

     "Bahkan ombak naik dan merusak rumah penduduk pun tak pernah dengar, karena di tepi pantai hidup mangrove atau bakau yang membuat kami terlindungi dari hantaman ombak besar, saat angin barat bertiup dengan kecepatan tinggi di bulan-bulan tertentu," katanya.

     Menurut Pala Amang, sapaan akrabnya, mangrove yang tumbuh di pesisir Bahowo dan Tongkaina umumnya, telah memberikan banyak berkat bagi mereka. Mulai dari menjadi benteng alam dari bencana, bagi wilayah tersebut sampai meningkatkan perekonomian masyarakat.

     Dia mengatakan, meskipun cuaca sedang tidak bersahabat masyarakat pesisir Tongkaina tidak pernah kuatir dengan bencana. Seperti saat gempa besar yang terjadi di Manado pada Januari 2007 lalu, yang menggemparkan seluruh kota bahkan Indonesia, tidak ada warga yang mengungsi.

     "Begitu juga kala gempa menyebabkan tsunami di Jepang pada Maret 2011 lalu, dan ancamannya sampai ke Sulawesi Utara, kami di sini tidak ada yang menyingkir karena yakin gelombang besar itu akan dihadang oleh mangrove yang tumbuh di sepanjang pesisir pantai Tongkaina," katanya.

     Lurah Tongkaina, Glenstiasno Kowaas, mengatakan puluhan ribu tanaman mangrove tumbuh, di lahan seluas 66 hektar di kelurahan yang memiliki luas 868 hektar tersebut.

     "Enam hektar diantaranya, berada di Bahowo, yang terdiri atas beberapa jenis, diantaranya,  bruguiera gymnorhiza, rhizophora apiculata, ceriops tagal dan rhizophora mucronata, dimana semuanya masih terpelihara sampai sekarang," katanya.

     Seluruh mangrove tersebut, kata Glen telah berkali-kali menyelamatkan Tongkaina dari hantaman gelombang pasang, ombak besar, angin kencang, bahkan ancaman tzunami membuat wilayah tersebut tangguh terhadap ancaman bencana.

Tangguh Hadapi Bencana

Keberadaan mangrove yang masih terpelihara di Tongkaina, membuat semua mata melirik kelurahan kecil, di wilayah Kecamatan Bunaken tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai kementerian yang mengurusi masalah bencana di ASEAN, tertarik menjadikan Tongkaina sebagai percontohan.

     Lurah Tongkaina, Glenstiasno Kowaas, mengatakan hal itu adalah penegasan Direktur Pengurangan Risiko Bencana BNPB RI, Lilik Kurniawan, saat berada di Manado pada Oktober lalu, dalam rangka kegiatan pengurangan risiko bencana tingkat ASEAN, dimana salah satu lokasinya adalah Tongkaina.

     "Kita berkomitmen memelihara lingkungan dan membentuk pesisir pantai Bahowo sebagai bagian dari desa tangguh bencana berbasis mangrove," katanya, mengutip pernyataan Lilik Kurniawan.

     Menyikapi dan menindaklanjuti penegasan BNPB tersebut, maka pihaknya, didampingi LSM peduli lingkungan solidaritas manengkel, terus meningkatkan pemeliharaan mangrove di Tongkaina. Karena tanaman yang titik tumbuh diantara pasang paling tinggi dan pasang rata-rata, memiliki sifat baik, melindungi dan memberikan kehidupan bagi organisme lain yang ada di sekitarnya.

     Bahkan menurutnya, kelurahan mengeluarkan surat keputusan lurah membentuk kelompok pemelihara mangrove, juga ada penanama dan pembibitan mangrove, demi melestarikan tanaman pelindung tersebut.

      Anggota Solidaritas Manengkel, Rio Puasa, mengatakan, dalam setahun terakhir, mereka memberikan pendampingan sekaligus edukasi kepada mayarakat terkait pemeliharaan mangrove, cukup membuat masyarakat sadar akan pentingnya memelihara dan mempertahankan keberadaan mangrove sebagai benteng alam, bagi mereka.

     "Warga jadi sadar akan pentingnya memelihara bahkan berusaha menanam kembali area-area yang rusak akibat ulah manusia, yang sengaja merusak mangrove dengan alasan ekonomi, tanpa memperhatikan dampaknya pada lingkungan," katanya.

     Rio mengatakan, dengan perintah lurah, masyarakat dibentuk kedalam beberapa kelompok, yakni yang melakukan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan, sehingga dalam waktu kurang dari setahun, bisa menghijaukan kembali lahan kritis yang dijadikan tambak dengan menanam bibit yang berusia empat bulan di situ.

     Tentu saja katanya, selain menanami area yang kritis, pihaknya juga terus mengajak warga Tongkaina, khususnya Bahowo untuk menjaga mangrove dewasa yang sudah hidup, jangan sampai ditebang, karena akibatnya akan merugikan manusia sendiri.

     Diapun mengakui, kendati sedang cuaca ekstrim, gelombang pasang maupun ombak besar tak bisa menyentuh perumahan penduduk, karena adanya tanaman tersebut, sehingga pesisir Bahowo benar-benar tangguh terhadap ancaman bencana dan sudah dibuktikan dengan disiapkannya wilayah tersebut menjadi desa tangguh bencana oleh BNPB RI.

     Sementara Pemerintah Kota Manado, dalam hal ini badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) mengatakan, penegasan BNPB mempersiapkan Tongkaina terutama pesisir Bahowo sebagai desa tangguh bencana berbasis mangrove, sangat didukung karena bertujuan memberikan perlindungan bagi masyarakat, seperti diutarakan Sekretaris badan, Supriyatna.

     Menurut Supriyatna, memang karena baru dipersiapkan tahun ini untuk menjadi desa tangguh bencana, tentu saja pemerintah daerah siap sedia dengan pendampingan bagi masyarakat, termasuk juga dana jika memang diperlukan, terutama dalam hal teknis pelaksanaan khusus bagi masyarakat.

     "Tentu jika jika berhubungan dengan masyarakatnya, maka kami siap memberikan pelatihan simulasi, termasuk menyediakan peta evakuasi, karena memang yang terpenting, termasuk tentu saja menyiapkan early warning system, khusus untuk bencana tertentu," katanya.

     Terutama, kata Supriyatna, memberikan persiapan mental dan pendampingan kepada wanita dan anak-anak, sehingga nanti, dan anggaran tentu saja akan diupayakan dalam APBD, jika memang dibutuhkan, jika memang dibutuhkan, yang penting adalah sinergitas.

     "Yang paling penting, kami pemerintah daerah menyiapkan apa yang dibutuhkan, dan memberikan pendampingan bagi masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kami," katanya.      

Sibenteng Bencana yang Unik

     Pakar ilmu kelautan Universitas Sam Ratulangi, Doktor Rignolda Djamaludin, mengatakan, keberadaan ekosistem mangrove, menjadi benteng pertahanan pertama terhadap ancaman bencana dan kerusakan pantai.

     Karena menurutnya, mangrove menahan serangan ombak, yang menarik pasir ke laut sehingga menyelamatkannya dari abrasi, juga dari bencana ombak besar, gelombang pasang dan lainnya, yang membahayakan nyawa manusia.

     "Juga menjadi penghadang badai terutama tzunami saat datang, karena langsung pecah di hutan mangrove, sehingga secara umum, sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia bukan hanya yang bermukim di tepi pantai tetapi di seluruh daratan secara keseluruhan," katanya.  

      Mengenai karakternya, Rignolda mengatakan, ekosistem mangrove yang tumbuh di Sulawesi Utara, termasuk Bahowo itu unik sekaligus luar biasa, karena berbeda dengan tanaman sejenis yang hidup di wilayah lain, seperti pantai utara Jawa, pantai barat dan timur Sumatera serta Kalimantan.

     "Ekosistem mangrove di Sulut ini unik, karena struktur geografisnya merupakan patahan-patahan, maka pantainya landai dan sempit dan susah bagi ekosistem mangrove bisa berada di situ, maksudnya pantainya tidak jauh, sudah langsung karang dan jurang, itulah sebabnya, di hutan mangrove Sulut, bagian depannya pohon kecil-kecil, tengah tinggi dan besar dan belakangnya pendek lagi, karena struktur pantainya.

     Karena itu, kata Rignolda, jika sampai tumbuh maka mangrove
tersebut menjadi sangat kuat, karena tanaman itupun tumbuh dengan perjuangan yang sangat berat dan bertahan lama, sehingga kemampuan hidupnya sangat baik, yang sekarang masih tetap ada di sejumlah kawasan di Sulut terutama di kawasan taman nasional Bunaken, termasuk Bahowo dan Tiwoho. Sebab itu katanya jangan merusak ekosistem mangrove, karena kalau sekali dirusak, akan hilang dan tidak akan kembali.

     Dia mengatakan, sedimentasi tinggi merusak mangrove, penimbunan dan penebangan apalagi menghancurkan keberadaan ekosistem yang sangat sensitif itu. Meskipun begitu dia mengakui biji-biji tanaman mangrove di Sulut, yang sudah matang dan jatuh lalu tertanam di dalam pasir, akan bertahan lama puluhan bahkan ratusan tahun, akan muncul ke permukaan sebagai tanaman baru, ketika lingkungan tempat hidupnya sudah kembali normal menjadi tempat hidup, artinya itu waktu yang panjang.

     Mangrove di Sulut ini, katanya kaya spesis, karena berasal dari pasifik bagian barat dan Indo Malay yang hadir di Sulut, sehingga eksistem lebih stabil, maka itulah menjadi sumber daya pesisir yang harus dipelihara kedepan, dan dijaga dari ancaman kerusakannya seperti adanya zonasi, dan pelemahan status hukum yang memudahkan perampasan wilayah mangrove dan reklamasi yang tidak memperhitungkan keseimbangan lingkungan.   

     "Berdasarkan hasil penelitian kami, tercatat ada sekitar 32 spesis mangrove di Sulut ini, meskipun di pesisir Manado seperti Bahowo dan lainnya tidak sebanyak itu," katanya.

     Secara umum, dia mengatakan, luasan hutan mangrove di Manado sekitar 2000 hektar, bagian utara dan selatan, dan termasuk Bahowo dengan luasan sekitar enam hektar.

     Rignolda pun mengatakan, ekosistem mangrove di Sulut menjadi penyumbang dan penopang perekonomian masyarakat setempat, karena menjadi tempat hidup dan berkembangannya biota laut, sebagai bagian dari rantai makanan.

    Dia menyebutkan, ikan kecil seperti roa dan ikan putih tetap ada karena terpeliharanya mangrove, karena itulah maka perekonomian tetap hidup dan berkembang bagi masyarakat pesisir sebagai manfaat dari tanaman tersebut.   
     

Rezeki Nomplok dari Benteng Bencana

Ketua kelompok mangrove tunas baru, Novanti Loho, mangrove mengatakan, bukan hanya memberikan perlindungan terhadap bencana bagi mereka, tetapi juga membuat kegiatan mereka beralih menjadi positif.

     Menurutnya sejak didampingi LSM lingkungan Solidaritas manengkel, kegiatan masyarakat terutama ibu-ibu di kampungnya menjadi terarah.

     "Para perempuan di Bahowo ini, yang tergabung dalam kelompok tunas baru, ibaratnya dapat rezeki nomplok, dari memelihara mangrove yang merupakan benteng bencana itu, dengan melakukan pembibitan dan menanamnya di sejumlah kawasan yang kritis akibat perusakan sebelumnya," katanya.

     Nova, sapaan akrabnya, menuturkan, mereka memelihara dan dan memanfaatkan tanaman tersebut dalam keseharian mereka, sehingga menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi. Caranya dengan melakukan pembibitan selama empat bulan, kemudian dijual dengan harga Rp1.500 perbatang.

     Hasilnya kata Nova, dalam delapan bulan ini, mereka sudah menjual sebanyak 2.600 batang bibit mangrove, kepada pemerintah, LSM pecinta lingkungan, swasta hingga mahasiswa yang melakukan penanaman di berbagai wilayah di Manado.

     "Dari situ, kami sudah menyimpan uang sekitar Rp3,2 juta di bank yang nantinya akan dimanfaatkan untuk ksejahteraan anggota kelompok dan sebagiannya operasional kelompok," katanya.

     Dia mengatakan, jika memang tanaman tersebut belum terjual, maka secara swadaya bersama pemerintah dan LSM menengkel, mereka mengajak seluruh warga melakukan penanaman bibit tersebut sehingga bisa hidup dan terus diawasi sampai sudah tumbuh besar, supaya tidak mati.  

     Dan menurutnya dengan adanya tambahan penghasilan seperti itu, mereka menjadi lebih bersemangat lagi memelihara dan membibitkan mangrove, karena sudah melindungi masyarakat dari bencana sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat.***   
    




Pewarta : Joyce Bukarakombang
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024