Manado, (AntaraSulut) - "Sesungguhnya berbicara tentang cinta bukanlah berkotbah, namun karena alasan sederhana bahwa mencintai berarti berbicara tentang makhluk manusiawi.(Erich Fromm).

Mencintai adalah kata yang tidak pernah, tidak menarik bagi setiap orang. Mencintai pun sering menjadi trend yang asik untuk dibicarakan. Dalam kondisi real saat ini, tidak sedikit orang yang secara extreme begitu antusias menyimak dan mendiskusikan, bahkan terlibat aktif ketika mendengar kata 'cinta'. 

Tulisan ini bukan pertama-tama mengurai tentang cinta/mencintai, secara dangkal atau gampang, namun konteks tulisan ini mengarah pada kajian filosofis atau lebih kepada antropologi filosofis. Bagi setiap individu yang memiliki kesadaran, memahami apa itu mencintai, terasa sederhana dan gampang, namun hemat penulis, mencintai di satu sisi, dipandang seolah hanyalah sebuah ‘kewajiban’ manusia, namun di sisi lain mencintai itu adalah seni dalam hidup. Penulis berkeyakinan bahwa mencintai adalah seni. Menyelidiki hakikat cinta adalah menemukan bahwa jika manusia bisa mencintai ia harus ditempatkan pada tempat yang tertinggi. Karena berbicara mencintai, berarti berbicara eksistensi manusiawi si manusia tersebut, demikian kata Erich Fromm.

Semua orang termasuk pemikir, pasti setuju untuk mengatakan bahwa cinta mudah diterjemaahkan ke dalam berbagai bentuk seni, entah dalam bentuk puisi, lagu atau bahkan tarian, karena ranah cinta ini lebih mudah diekspresikan. Lalu apakah kita bisa mendiskusikan cinta? Sudah barang tentu cinta sangat bisa didiskusikan, walaupun banyak yang lebih memandang bahwa cinta itu tidak logis (irrasional). Mengapa cinta bisa didiskusikan dalam ranah logis? Karena di dalam diri manusia, terdapat hasrat manusia untuk memahami secara rasional apakah cinta itu. 

Meminjam salah satu statement seorang penulis, Saraswati Dewi, bahwa kecenderungan manusia untuk memberi label, mendefinisikan, lalu menguraikan peristiwa yang berkaitan dengan cinta, adalah dorongan utama untuk menaklukkan secara komprehensif apakah cinta itu. Cinta sarat anomali, tetapi bagi para filosof, teka-teki itulah yang mempesona tentang cinta. Cinta memang lahir dari banyak penafsiran, Gadamer mengatakan bahwa manusia adalah makhluk penafsir. Sementara dalam salah satu tulisannya, Saraswati Dewi mengatakan bahwa jumlah mitos-mitos dan simbol-simbol tentang cinta yang serentak melibatkan tragedi dan kesengsaraan, tidak terhitung jumlahnya. Dalam arti bahwa mencintai terkadang harus ditafsirkan misalnya dari sebuah mitos di tempat tertentu. Bahkan terkadang muncul sebuah film yang mengetengahkan pertengkaran, dlsb., tapi pada akhirnya cintalah yang menumpas keburukan dan orang yang saling bertikai pada akhirnya saling mencintai dan hidup sejahtera.

Ketika melanjutkan penelusuran asal muasal dari cinta, penulis meyakini bahwa cinta tidak bisa terlepas dari kebutuhan, khususnya kebutuhan psikologis. Berangkat dari kebutuhan ini, penulis mau menelusuri asal muasal cinta, yang adalah kebutuhan psikologis manusia. Dalam bukunya The Anatomy of Human Destruktiveness, khususnya artikel tentang Sane Society, Erich Fromm, seorang psikolog yang pernah berguru pada Bapak Psikoanalisa Sigmund Freud, mengetengahkan bahwa apa yang penting dalam mempengaruhi atau membentuk kepribadian adalah kebutuhan. Demikian kata Fromm, manusia memiliki keharusan untuk bersatu dengan makhluk hidup yang lain, dan berhubungan dengan mereka. Bahkan dengan tegas dia katakan bahwa hal ini merupakan kebutuhan mutlak untuk pemenuhan, yang juga menentukan kesehatan seorang manusia. (Fromm 2004: 237). Secara gamblang dapat dikatakan bahwa, berhubungan dengan orang lain (termasuk juga mencintai), merupakan kebutuhan mutlak. 

Selanjutnya, penulis menguraikan sekurang-kurangnya tiga kebutuhan yang berkaitan erat dengan konteks mencintai: Pertama, kebutuhan menjalin hubungan (Need for Relatedness). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, melalui cinta yang produktif. Cinta yang produktif meliputi perhatian, responsibility (kepekaan), rasa hormat dan pengetahuan. Dengan mencintai, kita dapat hidup bersama, saling berbagi dan merasa bahagia dengan orang lain. Kita dapat menjadi peka dengan kebutuhan mereka dan menghargai serta mengetahui bagaimana sebenarnya mereka. Cinta yang produktif dapat diarahkan kepada orang yang berjenis kelamin yang sama (misalnya cinta diantara saudara, kakak-adik atau abang-adik), dapat juga kepada yang berlainan jenis (erotic love), atau bentuk cinta kepada seorang anak (parental love).

Kedua, kebutuhan untuk bergantung pada orang lain (Need for Rootedness). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk merasakan kedekatan dan rasa memiliki keluarga, kelompok, dan masyarakat. Kebutuhan ini muncul karena adanya perasaan terpisah dan merasa kesepian. Menurut Fromm, kebutuhan berakar ini dapat dicapai dengan cara yang sehat dan tidak sehat. Cara yang sehat adalah dengan membangun perasaan persaudaraan dengan sesama umat manusia, yaitu dalam masyarakat. Cara yang tidak sehat adalah memelihara ikatan masa kanak-kanak dengan ibunya. Orang yang demikian biasanya tidak sanggup meninggalkan rumah dan terus berpegang pada rasa aman yang diberikan ibunya.
Ketiga, kebutuhan akan identitas (Need for Identity). kebutuhan untuk menerima kemampuan dan karakteristik yang unik. Manusia sebagai individu yang unik membutuhkan perasaan identitas, sesuatu yang menempatkannya terpisah dari orang lain dalam hal perasaannya tentang siapa dirinya. Cara yang sehat untuk memuaskan kebutuhan identitas yaitu dengan individualitas, suatu proses dimana seseorang mencapai perasaan tertentu tentang identitas dirinya. Cara yang tidak sehat dalam membentuk perasaan identitas adalah menyesuaikan diri dengan sifat-sifat suatu bangsa, ras dan agama atau yang biasa disebut dengan konformitas. 

Gambaran beberapa kebutuhan manusia menurut Fromm tersebut, sudah barang tentu sangat applicable dengan situasi real manusia saat ini. Manusia merupakan individu yang tidak bisa dilepaskan dengan yang lain, terutama kebutuhan-kebutuhannya. Demikian juga, kebutuhan yang dimaksudkan melatarbelakangi semua fenomena yang membentuk keseluruhan relasi manusia, seluruh hasrat yang disebut cinta dalam arti luas. Gagasan dasar di atas tentu bukan sesuatu yang langka, karena setiap cinta dalam praksis selalu akan berhubungan dengan kebutuhan, demikian sebaliknya. Cinta menurut Fromm, adalah satu aspek dari orientasi produktif, maksudnya manusia menjalin hubungan aktif dan kreatif dengan sesamanya, dengan dirinya sendiri dan dengan alam. Dalam bidang perasaan, orientasi produktif diungkapkan dalam cinta yang merupakan pengalaman persatuan dengan pribadi lain, termasuk juga dengan dunia sekitar manusia, namun dengan syarat, tetap memelihara integritas (keutuhan) dan kebebasannya. Dalam kenyataan, kita temui bahwa terjadi hal yang paradoksal: dua manusia menjadi satu, tetapi pada saat yang sama mereka tetap dua. Cinta dalam arti ini tidak pernah terbatas pada satu pribadi.

Inilah sekelumit cinta menurut Erich Fromm, yang berkolaborasi dengan kebutuhan akan relasi dengan sesamanya. Cinta memang akan jelas dan terang benderang, ketika ‘dikomunikasikan’ dengan sesama diluar dirinya. Oleh karena itu, dalam mencintai, butuh latihan untuk bisa membuka kemungkinan bahwa cinta itu akan menjadi fakta dan direalisasikan dalam kehidupan nyata setiap manusia. Adapun beberapa hal yang bisa menjadi sara untuk melatih cinta itu, menurut Fromm, yaitu: Displin, kesabaran, konsentrasi dan perhatian yang tertinggi. Keempat hal ini diyakini mampu mewujudkan seninya cinta. Sejalan dengan Zen Budhisme, yang mengatakan bahwa seseorang yang menjadi ulung dalam seni, harus berlatih secara disiplin, memupuk kesabaran, berkonsentrasi dan memberi perhatian yang serius dalam setiap hal yang dilakukan dalam kehidupan. (Fromm 1962: 117).

Satu catatan penting adalah bahwa syarat mutlak untuk mencapai cinta adalah mengatasi narsisme individu. Maksudnya bahwa orientasi narsistis adalah orientasi di mana orang mengalami sesuatu yang nyata hanya apa yang ada dalam dirinya, sementara fenomena-fenomena diluar dirinya (dunia luar), tidak mempunyai kenyataan di dalam dirinya. Sejauh yang diluar itu berguna bagi diri, tentu hal itu akan digunakan atau dimanfaatkan. Berbanding terbalik dengan narsisme, adalah subjektivisme. Maksudnya orientasi subjektivisme adlaah orientasi dimana orang melihat dunia diluar dirinya, sebagaimana mereka adanya. (Fromm 1962: 125). Hal ini dimaksudkan sebagai suatu kesadaran bahwa fenomena di luar diri individu, harus menjadi pertimbangan seorang individu. Singkat kata, hal mencintai bukanlah yang bersifat narsistis, melainkan subjektif karena di luar diri individu terdapat hal yang berguna dan bermanfaat. 

Akhirnya, cinta menuntut kerendahan hati. Maksudnya, dalam cinta, seluruh hidup manusia harus mengembangkan sikap kerendahan hati. Walaupun cinta dipandang sebagai seni dan dipandang pula sebagai kebutuhan, namun kerendahan hati, harus menjadi suatu tuntutan penting. Kerendahan hati tidak bisa dipisahkan dengan cinta. Fromm mengatakan bahwa, jika saya mau mengembangkan seni mencintai, saya harus berjuang dalam setiap situasi. Mencintai berarti menyerahkan diri tanpa jaminan, memberikan diri seluruhnya, dengan harapan bahwa cinta itu akan menghasilkan cinta di dalam diri pribadi yang dicintai. Cinta adalah suatu tindakan kepercayaan.

Akhirulkalam, dalam tindakan mencintai dan dalam tindakan menyerahkan diri, saya menjadi sadar akan diriku sendiri, saya menemukan diri saya, saya menemukan kami berdua dan saya menemukan manusia. Hal itu akan sangat berhasil ketika sikap tanggung jawab terutama terhadap cinta itu, menjadi perhatian utama seorang individu. Dalam arti ini, yang sebenarnya adalah bahwa tanggung jawab merupakan tindakan yang serba suka rela: Tanggung jawab itu adalah tanggapan saya terhadap kebutuhan orang lain, entah kebutuhan itu diungkapkan dengan jelas ataupun tidak. Bertanggung jawab berarti menjadi sungguh siap untuk menjawab.(Ambrosius Loho adalah Mahasiswa Magister Filsafat Sekolah Tinggi Fisafat Driyarkara JakartaAnggota Tim Filsafat Unika De La Salle Manado).


Daftar Bacaan:
Fromm, Erich, Masyarakat Bebas Agresivitas, (terj.: Agus Cremers) Maumere: Penerbit Ledalero, 2004.
Fromm, Erich, The Art of Living, New York: Perennial Classic, 1962.


Pewarta : Ambrosius Loho
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024