Manado, (AntaraSulut) - Tulisan ini, tentu menjadi refleksi yang panjang dan seakan tak pernah habisnya, namun terus menerus merupakan pergumulan, seiring dengan berjalannya waktu. Pusparagam perkembangan kondisi sosiologi, politik, ekonomi, bahkan perkembangan ilmu antropologi tentang ‘Minahasa’, ‘Budaya Minahasa’ atau tentang ‘Orang Minahasa’, sungguh varian di tengah perkembangan dunia dan teknologi sekarang ini. 

Dalam konteks yang sejalan dengan itu, para pemerhati budaya Minahasa yang terhimpun dalam Yayasan Pengembangan Kebudayaan Minahasa (YPKM) pernah menyelenggarakan Seminar bertajuk Strategi Kebudayaan Minahasa: dari mana mau ke mana?, pada, tanggal 6 Desember2014 di Wisma Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta. Diskusi tersebut seakan menjadi perangsang munculnya yang dinamakan Filsafat Minahasa. 

Diskusi tentang mencari Filsafat Minahasa juga sudah pernah didengungkan dalam Simposium Internasional Filsafat Indonesia, 19-20 September 2014, di Jakarta, yang diselenggarakan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia (sekarang kemendikti) dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Tujuannya sama yakni upaya mencari dan menemukan filsafat Indonesia (tentu termasuk Filsafat Minahasa).  

Secara khusus dalam forum diskusi Yayasan Pengembangan Kebudayaan Minahasa, muncul beberapa pendapat, yang mencoba menemukan sisi filosofis dari kebudayaan Minahasa. Bahkan pertanyaan seperti: ‘Apakah orang Minahasa itu ?’, atau ‘Siapakah manusia Minahasa itu?’ serta merta muncul. Diskursus pencarian filosofi Minahasa tentu menjadi cara yang penting untuk menggali, mengetahui dan mempertahankan serta mengembangkannya dalam pola pikir, pola rasa dan pola tindakan orang Minahasa. 

Hemat penulis, sangat kurang tepat apabila kita tidak bisa ‘meminjam’ pemikiran filosofis Barat untuk mencari dan menemukan filsafat Minahasa. Sangat kontras ketika kebiasaan-kebiasaan dalam budaya Minahasa untuk bisa lepas dari corak berbudaya yang juga sebetulnya sudah tumbuh dan berkembang di dunia Barat. Pencarian filosofi kebudayaan Minahasa menjadi pencarian yang panjang dan terus menerus, dalam sejarah hidup manusia (termasuk manusia Minahasa). karena faktanya bisa kita lihat dan amati dalam sikap dan tindakan orang Minahasa saat ini. Bahwa ketika kita berhadapan dengan kondisi terbaru di Minahasa, sepertinya mengalami dekadensi (penurunan) dalam hal saling menghargai, saling menghormati dan saling percaya satu sama lain.

Dalam konteks ini menurut hemat penulis, perlu ada gerakan untuk kembali kepada nilai-nilai tradisi Minahasa, atau dengan kata lain harus ada gerakan kembali kepada keutamaan-keutamaan tradisional orang Minahasa yang sesungguhnya. Sejak jaman Yunani kuno, keutamaan dimengerti sebagai arête yang juga berarti kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk mencapai telos-nya, tujuan internalnya. Jadi, di sini keutamaan dimengerti sebagai satu kekuatan, kemampuan yang menunjuk pada kemampuan seseorang manusia untuk menjadi manusia utuh. Manusia yang utama adalah manusia yang luhur untuk menjalankan apa yang baik dan tepat untuk melakukan tanggung jawabnya. Jelaslah bahwa seorang manusia yang utama atau yang memiliki keutamaan harus mempunyai tanggung jawab terhadap diri, tanggung jawab terhadap orang lain dan tanggung jawab terhadap dunia.

Dalam konteks Minahasa, gerakan kembali kepada keutamaan tradisional, sangat jelas dimaksudkan untuk kembali kepada tradisi-tradisi yang mempunyai pandangan tentang apa dan siapa manusia Minahasa yang sesungguhnya. Dari pandangan ini kita kemudian bisa merumuskan keutamaan-keutamaan yang khas Minahasa artinya kecakapan dan kemampuan dasar yang perlu dikembangkan manusia Minahasa agar ia mampu mengusahakan realisasi hakikat kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Jadi, bukan sesuatu yang hanya berdasarkan pelbagai prinsip dan norma, melainkan sebuah filosofi yang mempunyai visi dan misi tentang manusia dan tentang tujuannya. Sehingga dengan demikian, dekadensi dalam hal saling menghargai, menghormati dan percaya satu sama lain, mampu diatasi dengan menumbuhkan kesadaran akan gerakan kembali kepada keutamaan tradisional ini. 

Usaha untuk mencari pemikiran yang khas Minahasa, diyakini barulah tahap awal mencari keutamaan di Tanah Toar Lumimuut. Para pemerhati kebudayaan Minahasa yang sudah mencoba menggagas strategi kebudayaan untuk tujuan mengembangkan kebudayaan Minahasa agar tetap bereksistensi, merupakan usaha yang harus ditopang dan didukung untuk suatu proses perjalanan hidup berbangsa dan bernegara. Statement ke-ESA-an dalam ke-BHINEKA-an bukan hanya niscaya dalam proses tersebut karena kondisi Indonesia yang multikultur. Maka saat ini yang paling penting adalah keutamaan-keutamaan yang khas dalam budaya yang plural di Indonesia (termasuk Budaya Minahasa), haruslah dipertahankan dan dikembangkan dalam cahaya Pancasila sebagai pemersatu bangsa kita. Gerakan kembali kepada keutamaan tradisional sangat mungkin dan memadai untuk bisa mengajak semua kalangan kembali memandang tentang ciri khas Indonesia. 

Manusia modern sering berpendapat bahwa gerakan budaya pencerahan Eropa abad ke 17 dan 18, cenderung menganggap tradisi itu ketinggalan zaman, menghambat kemajuan dan lebih lagi menghalangi kreativitas. Kecenderungan ini melahirkan penilaian yang ambivalen, di satu sisi, banyak orang yang setia pada tradisi budayanya sebagai titik tolak berpikir dan bertindak, di sisi lain, orang yang tidak mengikuti tradisi serta merta dianggap berpikiran maju dan bahkan dianggap bertindak selaras dengan zaman. 

Jadi merujuk pada tradisi adalah hal yang penting. Karena dengan merujuk pada tradisi, orang dapat mengembangkan hidup secara utuh, sebagai pribadi dan anggota kelompok. Tidak ada praksis dan teori yang muncul dari kekosongan. Tindakan dan pemikiran kita sudah senantiasa merujuk pada pengandaian-pengandaian tradisi khusus yang tertanam dalam struktur sosial kelompok tertentu. 

Dengan rujukan itu kita dapat mengolah hidup menuju kepenuhan sebagai kebaikan hakiki yang harus dikejar setiap orang. (Suseno 2006: 208) Memahami masa lalu, memikirkan masa kini dan merencanakan masa depan, sangat diyakini merupakan pintu masuk yang mumpuni dalam pencarian filsafat Minahasa (filosofi Minahasa) yang tak terbantahkan.(Ambrosius Loho (Mahasiswa Magister Filsafat Sekolah Tinggi Fisafat Driyarkara Jakarta)


Pewarta : Ambrosius Loho
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024