Manado (AntaraSulut) - Tulisan ini seyogyanya merupakan refleksi lanjutan dari tulisan penulis tentang "Kolintang di Pusaran Peradaban" (tribunnews Manado, September 2014) dan "Kolintang & Globalisasi"(http://manado.antaranews.com/berita/25231/kolintang-dan-globalisasi, 6 April 2015), di mana dalam tulisan tersebut penulis coba menguraikan bagaimana posisi musik kolintang (musik tradisional), berada dalam dengungan dan derap langkah yang seolah-olah begitu 'meraja' yaitu musik modern yang semakin hari semakin berkembang bahkan selalu berinovasi dalam pengembangannya. Dalam kondisi tersebut, katakanlah, musik (tradisional) kolintang berada di antara musik modern yang begitu dominan, namun tetap menampakkan ke-eksis-annya, yang tahan banting.

Penulis sepakat untuk mengatakan bahwa kolintang adalah alat musik tradisional. Namun, sesungguhnya, label tradisional inilah yang sering kali menjadi 'masalah' bagi pengembangan kolintang ini. Masyarakat pada umumnya, tak lepas juga generasi muda, terkadang memiliki pemahaman bahwa hal yang bernuansa tradisional adalah sesuatu yang ketinggalan jaman, sesuatu yang primitif dan kuno. Apalagi berhadapan dengan pesatnya teknologi dan informasi sekarang yang seringkali membuat generasi muda enggan menekuni bidang ini. Diyakini bahwa perkembangan musik modern seakan menutupi perkembangan musik kolintang. Padahal dari banyak segi, musik kolintang ini memiliki ciri khas yang, menurut hemat penulis, tidak bisa ditemukan pada musik tradisional apa saja yang ada di Indonesia. 

Tulisan ini merupakan usaha untuk menunjukkan bahwa kolintang di satu sisi adalah jenis musik tradisional (musik tradisi Nusantara), tapi di sisi lain, dari musik yang sedemikian tradisional itu, mengandung nilai estetika yang mendalam. Sampai saat ini, penulis meyakini musik kolintang tetap eksis dan akan terus ada dalam persaingan. Tumbuh dan berkembangnya musik kolintang ini, menunjukkan bahwa proses pemaknaan produk budaya, terkait erat dengan konteks yang melingkupinya. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan (makna) merupakan hasil dari proses dialektika (diskusi) antara individu dengan masyarakat. 

Menarik bahwa estetika dalam kurun waktu yang cukup lama, telah menjadi perdebatan panjang, walaupun harus dikatakan bahwa perdebatan tersebut membawa pengaruh dalam setiap penampilan satu karya seni. Secara gamblang, estetika sering dipahami sebagai sesuatu yang indah. Namun, walaupun secara singkat, penulis menguraikan secara singkat apa itu estetika. Secara etimologis, estetika berasal dari kata Yunani: aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dicerap oleh indera (pencerapan). Kemudian estetika pada kelanjutannya coba diarahkan pada pembahasan tentang refleksi kritis yang dirasakan oleh indera (subjek) dan memberi penilaian terhadap sesuatu (objek). Dengan memberi penilaian dimaksudkan, bahwa sesuatu itu indah atau tidak indah, beauty or ugly. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut taste dalam bahasa Inggris. (Sudiarja 2015: 1)

Estetika timbul tatkala pikiran penikmat seni (= tapi juga pemikir dan kritikus seni), mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Demikian juga dalam jaman modern, estetika dikaitkan dengan satu tolok ukur bahwa yang indah adalah yang memberi kepuasan, yang indah adalah yang berharga pada dirinya (Sutrisno 1993: 84). Karena estetika adalah soal rasa, Clive Bell, seorang Filsuf Estetika Abad 20, mengatakan bahwa estetika hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam satu karya seni tersebut. (1993: 82).

Dalam penciptaan karya seni, sebagaimana juga diungkapkan oleh Susanne Langer, yang terungkap dalam teori penciptaan seni, bahwa seni adalah penciptaan bentuk yang menyimbolkan perasaan manusia (Ali 2011: 206; Langer 1953: 46). Penciptaan bentuk merupakan sebuah kreasi manusia yang dilakukan dari hal-hal (sesuatu) yang belum ada, menjadi ada. Seni sungguh-sungguh menghasilkan sesuatu yang sama sekali lain dari realitas alamiah. Karya seni meskipun dalam arti tertentu mempunyai kemiripan dengan alam, namun ia sudah tercabut dari kenyataan alamiah. Plato, misalnya, memandang proses penciptaan (termasuk penciptaan karya seni), merupakan proses peniruan (mimesis) terhadap alam. Pendapat Plato ini sangat didasari oleh pengalaman mereka sebagai tokoh naturalisme. 

Berbeda dari mereka, Susanne Langer menolak teori tersebut karena baginya seni merupakan kreasi atau penciptaan dan dengan itu ditekankan segi ‘kebaruan’ dari seni. Seni itu tidak mengulang alam/mimesis (Hauskeler 2015: 11-12). Di sisi lain, setiap seniman meyakini bahwa intuisi atau inspirasi memegang peranan penting dalam aktivitas mencipta. Dari pengalaman estetik semacam ini, manusia memperoleh kesan dalam kehidupannya, dan selanjutnya manusia cenderung ingin mengabadikan kesan yang dimilikinya. Kesan-kesan inilah yang kemudian dituangkan dan diabadikan dalam sebuah karya seni.

Kalau kita membaca arah pengembangan musik kolintang saat ini, penulis yakin bahwa kolintang juga tidak akan pernah lepas dari pemaknaan. Dalam pengalaman penulis, kurun waktu 10 tahun terakhir, musik kolintang justru mulai berkembang secara global, dalam arti konsep permainannya mulai berkembang ke arah yang lebih modern bahkan bisa juga mengarah pada kontemporer. Genre klasik, pop, rock, bahkan jazz, dapat dimainkan dalam alunan nada kayu (baca: musik kolintang). Dalam mengkaji estetika musik kolintang, pemahaman terhadap unsur-unsur yang ada dalam setiap kesenian itu sangat penting. Perlu penulis kemukakan bahwa, terdapat tiga unsur estetika yang tidak perrnah bisa diabaikan, yakni wujud/rupa, bobot/isi, dan penampilan/penyajian. Tiga unsur estetika dalam setiap kesenian tersebut, dimiliki juga oleh musik kolintang. 

Unsur pertama yang merupakan elemen utama yang mendasari yakni aspek wujud/rupa. Aspek musik terdiri dari instrumen dan lagu yang menjadi pengiring dalam kesenian ini. Musik kolintang terdiri dari beberapa unsur yakni kotak yang terbuat dari kayu, yang didesain sedemikian rupa sehingga kotak tersebut bisa menampung suara ketika bilah-bilah kayu yang sudah diatur sesuai dengan notasi musik konvensional (disetem), kemudian bilah-bilah kayu tersebut diletakkan diatas kotak-kotak tersebut.

Alat musik ini merupakan alat musik perkusi yang dapat menghasilkan warna bunyi yang berbeda-beda. Bahwa musik bukanlah seni yang universal, sebab medium yang digunakan adalah bunyi. Pola pembentukan bilah-bilah kayu dan kotak yang jadi wadah untuk bisa menghasilkan bunyi, mengikuti prinsip musik konvensional. Permainan instrumen musik juga tidak teramat sulit seperti yang dibayangkan. Demikian pula komposisi musik yang selalu membentuk suasana agar lebih menarik perhatian oleh masyarakat luas. Dalam iringan musik kolintang, sangat sering, unsur vokal menentukan karena secara tidak langsung merupakan satu kesatuan utuh. Keunikan dalam musik kolintang adalah bahwa semua jenis lagu bisa dimainkan dengan bermacam-macam nada dasar. Dalam praktek yang pernah penulis kembangkan adalah dari jenis lagu daerah, lagu nasional dan jenis lagu klasik atau lagu-lagu beraliran modern juga bisa dimainkan dalam musik kolintang.

Keberadaan vokal dalam musik kolintang juga sangat menentukan. Hal ini nampak dari tanggapan beberapa musisi modern tentang pemahaman estetis dan ekspresif dalam memainkan musik sambil menyanyikan lagu. Seorang musisi yang pernah berkolaborasi dengan kelompok musik kolintang Keytuji Jakarta misalnya, adalah Kitaro, seorang musisi berkebangsaan Jepang. Nampak dengan jelas bahwa yang dinyatakan dengan musik itu adalah sesuatu yang abadi yang tak terhingga dan bersifat cita-cita. Dan lebih lanjut dapat dikatakan bahwa, musik tidak cukup dinikmati dan dialami saja karena musik adalah bahasa ekspresi yang memang harus diterjemahkan. Dengan demikian penampilan musik kolintang yang berpadu dengan vokal sangatlah dituntut keterampilan dan profesionalitas antar pemain dan vokalis, yang mengungkapkan perasaannya lewat syair-syair lagu yang dinyanyikannya.

Kedua, dari sisi bobot/isi, konsep suasana (mood) merupakan hal yang penting dalam musik kolintang, yang berangkat dari realitas masyarakat yang selalu hidup bergotong royong layaknya masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu kebersamaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat tersebut, tergambar dalam grup kolintang yang mementaskan suatu pertunjukkan. Selain hal tersebut, tampilan musik kolintang bukan tanpa makna. Jika di simak bagaimana sekelompok grup kolintang dengan semangat yang tinggi, melatih diri untuk menampilkan yang terbaik dan indah, menandakan bahwa hal tersebut merupakan wujud gotong royong dalam tradisi Tou Minahasa, Mapalus. Dan secara filosofi Tou Minahasa percaya bahwa hal itu dapat terus dipertahankan dan dikembangkan ke berbagai macam bidang kehidupan, termasuk kelompok yang memainakan musik kolintang.

Dalam tulisan yang terdahulu juga, nilai-nilai yang penulis angkat dari musik kolintang, sehingga mampu menunjukkan sisi estetisnya adalah bahwa kolintang tersebut sesungguhnya punya nilai-nilai tradisional yang sungguh melekat dalam diri masyarakat dan tetap berguna sepanjang zaman. Pada hemat penulis juga, terdapat tiga nilai intrinsik yang muncul ketika memainkan Kolintang. Pertama, harmoni dalam musik. Kolintang tidak bisa dimainkan oleh satu orang saja, melainkan oleh perpaduan sekelompok orang yang memainkan musik Kolintang itu secara bersama-sama. Kerja sama yang serempak dan harmonis akan melahirkan harmoni nada-nada yang indah dan merdu. Kedua, persaudaraan dalam kelompok, di mana satu pemain terhadap pemain lain saling memadukan semua alat musik Kolintang yang berjumlah 9 orang. Di sini nilai yang bermakna dan tak kalah pentingnya dalam persaudaraan adalah mapalus/gotong-royong. Ketiga, nilai kreativitas. Seseorang bisa menjadi creator dalam menciptakan harmoni arrangement dan seni estetika dalam pertunjukkan kelompok musik Kolintang di atas pentas. Harmoni, persaudaraan, dan kreativitas dalam musik Kolintang ini dapat bertransformasi menjadi kekuatan preventif dan solutif dalam menghadapi amukan negatif dari modernisasi. Demikianlah, nilai-nilai yang ada dalam musik Kolintang ini diyakini bisa menembus batas peradaban terutama yang berhubungan dengan modernisme. 
Dari sisi penampilan/penyajian, yang merupakan aspek ketiga dalam kajian estetika musik kolintang, dapat diuraikan sebagai berikut: Bahwa penampilan merupakan aspek estetika yang tidak kalah penting dengan kedua aspek sebelumnya. Lewat penampilan-lah, sebuah kelompok penyaji kesenian kemudian memperoleh penilaian dari penikmatnya. Dengan kata lain, penampilan merupakan tahapan akhir bagi sebuah kesenian, untuk selanjutnya memperoleh penilaian dari khalayak umum.  

Sebagai kesenian yang bersifat kerakyatan, kiranya wajar apabila kolintang ditampilkan dengan karakter merakyat pula. Nyaris tak ada batas antara penyaji dan penonton. Setiap penonton dapat ikut serta bergembira bersama dalam pertunjukkan musik kolintang. Akan tetapi, dalam perkembangannya, yakni ketika kolintang mulai dipentaskan dalam konteks-konteks formal (festival atau pergelaran yang bersifat kompetisi), sejumlah aturan mulai diterapkan dengan maksud-maksud tertentu. Secara visual, kolintang hadir dalam karakteristiknya yang sederhana. Kostum yang digunakan oleh para penyajinya secara umum tidak begitu mencolok, dan berangkat dari kebiasaan berbusana masyarakat setempat dengan gaya dan warna yang khas. Yang menjadi esensi adalah kebersamaan, keakraban, dan kegembiraan yang muncul dan dapat dirasakan saat kesenian itu dibawakan. 

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa estetika kolintang, dibangun oleh aspek-aspek yang ada dalam kesenian tersebut. Akan tetapi, karakteristiknya yang utama, yang membentuk watak dari kesenian tersebut adalah kesederhanaan, kebersamaan, dan kegembiraan yang dimunculkan. Kesan-kesan kesederhanaan, kebersamaan dan kegembiraan ini dimunculkan lewat penampilannya. Kendatipun demikian, watak yang terkesan sangat profan ini bukannya tidak mempunyai makna. Secara implisit, kolintang memuat pesan-pesan tertentu yang kiranya perlu untuk dimengerti dan dipahami, misalnya pesan moral dan kultural.
Kajian ini kiranya baru merupakan awal dari upaya menggali nilai-nilai estetika yang terdapat dalam berbagai bentuk seni di Nusantara. Hal ini perlu dilakukan sebab masing-masing budaya dan masyarakat yang ada di negeri ini memiliki nilai masing-masing, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya berbagai pandangan yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam memahami nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.(AMBROSIUS LOHO, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta)



Pewarta : Ambrosius Loho
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024