Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, kebijakan kenaikan usia pensiun menjadi 59 tahun pada 2025 memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi bakal didorong oleh dinamika demografi dan perbaikan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia.
“Mengingat jumlah tenaga kerja meningkat, langkah ini berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dengan catatan tersedia lapangan kerja bagi mereka, sayangnya situasi kita saat ini tidak begitu,” kata Wijayanto, di Jakarta, Jumat.
Pemerintah resmi menaikkan usia pensiun pekerja di Indonesia yang terdaftar program Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan menjadi 59 tahun pada 2025.
Hal itu sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, khususnya Pasal 15 ayat (3) yang mengatur usia pensiun pekerja Indonesia bertambah satu tahun setiap tiga tahun sekali.
Menurut Wijayanto, kebijakan ini rasional mengingat usia harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat dari 62,5 tahun pada 1990 menjadi 74,2 tahun pada 2024.
Dengan usia 59 tahun, banyak penduduk yang masih berada dalam kategori produktif.
Wijayanto menjelaskan bahwa kebijakan ini dapat memperpanjang usia produktif tenaga kerja, sehingga meningkatkan jumlah pekerja yang berkontribusi terhadap ekonomi.
Pasalnya, apabila lapangan kerja tersedia, tambahan tenaga kerja ini dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, ia menyampaikan bahwa saat ini tantangan utama adalah menciptakan lapangan kerja yang cukup.
Selain itu, Wijayanto juga menyoroti efek kebijakan ini terhadap dependency ratio atau rasio ketergantungan, yang mengukur jumlah penduduk tidak produktif yang ditanggung oleh penduduk produktif.
Dengan lebih banyak orang bekerja lebih lama, dependency ratio diperkirakan akan menurun, sehingga meringankan beban ekonomi keluarga.
“Pasar tenaga kerja akan makin kompetitif, ini bagus bagi perseroan tetapi makin menantang bagi para pencari kerja. Di sisi lain, bagi orang yang bekerja, ini positif juga dalam arti dependency ratio (jumlah orang yang harus ditanggung per-pekerja) turun,” katanya lagi.
Kebijakan itu juga memberikan peluang bagi perusahaan untuk memanfaatkan tenaga kerja senior yang memiliki pengalaman lebih lama, sehingga meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Namun, ini harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung regenerasi tenaga kerja muda.
Lebih lanjut, Wijayanto memandang kenaikan usia pensiun juga berpotensi membantu pemerintah dalam mengelola keuangan terkait jaminan hari tua.
“Ini akan membantu pemerintah dalam mengatur cashflow terkait jaminan hari tua; sangat mungkin ini merupakan salah satu latar belakang kebijakan ini. Apakah pemerintah punya dana yang memadai? Saya rasa iya, tetapi dalam kondisi seret, dana yang ada bisa di-recycle untuk membantu fiskal negara, misalnya dengan dibelikan SBN (Surat Berharga Negara),” katanya lagi.
Adapun kenaikan usia pensiun ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang yang telah diatur sejak 2015.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI JSK) Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri menegaskan bahwa aturan ini berlaku otomatis tanpa perlu penetapan tambahan dari pemerintah.
"Kenaikan usia pensiun berlaku secara otomatis sesuai ketentuan PP Nomor 45 Tahun 2015 tanpa ada penetapan dari pemerintah terlebih dahulu," ujar Indah.
Tahun ini menjadi kali ketiga kenaikan usia pensiun pekerja sejak hadirnya aturan tersebut, secara rinci kenaikan terjadi pada tahun 2019, 2022, dan 2025.
Aturan tersebut menetapkan bahwa batas usia pensiun akan naik satu tahun setiap tiga tahun, dimulai dari usia 56 tahun pada tahun 2015 hingga mencapai 65 tahun pada 2043.
Dengan skema ini, pekerja yang mencapai usia 59 tahun pada 2025 baru dapat menerima manfaat pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan. Sementara, pekerja yang berusia 58 tahun pada tahun yang sama harus menunggu hingga 2026 untuk manfaat pensiun.