Minahasa Tenggara, (AntaraSulut) - Kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) masih ditemui beberapa batu dari zaman megalitikum yang berbentuk menhir atau batu tunggal yang berdiri tegak.

"Batu-batu tersebut oleh masyarakat setempat disebut Watu Pasak Wanua," kata Tokoh Masyarakat Minahasa Tenggara Jemmy Kandouw di Ratahan, Sabtu.

Berdasarkan cerita rakyat turun temurun, katunya, batu ini adalah tempat penanda berdirinya sebuah desa di Minahasa Tenggara pada tempo dulu," katanya.

Dirinya menerangkan beberapa batu tersebut dijadikan tempat ritual adat dalam suat desa dalam mengambil suatu keputusan.

"Tapi sekarang Watu Pasak Wanua lebih difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara desa seperti ulang tahun desa yang dilaksanakan hampir setiap tahun oleh sejumlah desa," jelasnya.

Menurut dirinya berdasarkan cerita tempo dulu, pendirian batu tegak yang kemudian disebut menhir ini seringkali dilakukan oleh masyarakat prasejarah menjadi penanda batas desa.

"Berdasarkan hasil beberapa penelitian arkeologi dan antropologi, menhir berfungsi sebagai batas desa atau kampung, media pemujaan dalam sebuah ritual bahkan menjadi penanda sebuah kampung," tambahnya.

Selain itu menurutnya dari cerita-cerita di masyarakat, ketika penancapan batu Watu pasak yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, jika terdengar suara burung manguni atau sering disebut masyarakat burung manguni, maka lokasi tersebut baik untuk dijadikan sebuah desa.

Dalam perkembangannya kemudian kata Jemmy, mitos tentang masyarakat etnis Tonsawang yang menghuni sebagian wilayah Minahasa Tenggara, dianggap sebagai batas imajiner terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat merusak tatanan masyarakat.

"Jika kampung tersebut diserang dari luar, pihak penyerang akan tertahan dilintasan tanah yang menghubungkan Pasak Wanua tersebut," ungkapnya.

Dirinya menambahkan beberapa tempat yang memiliki batu ini antara lain di Ibukota Kabupaten Minahasa Tenggara, Ratahan, seperti di Kelurahan Lowu, Wawali, dan Kelurahan Nataan.***4***


Pewarta : Arthur Karinda
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024