Palu (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, Sulteng, menolak dengan tegas atas upaya penetapan wartawan sebagai saksi, dalam kasus pidana yang mendasarkan bukti pada produk jurnalistik termasuk berita.
“Polisi tidak bisa menjadikan wartawan sebagai saksi dalam produk-produk jurnalistik. Karena apa yang tertera dalam produk jurnalistik semestinya itu sudah jadi bukti bagi kepolisian, tanpa harus memanggil wartawan atau perusahaan medianya,” kata Ketua AJI Palu Agung Sumandjaya di Palu, Sabtu.
Sikap AJI itu merespon undangan permintaan keterangan kepada wartawan atau perusahaan media terkait perkara pencemaran nama baik yang dilakukan oleh terlapor Yuni Sara (Komisaris PT Duta Maritim Morut), atas pernyataannya di Media Alkhairaat Online, yang menuduh Septiawan (Direktur PT Duta Maritim Morut) melakukan penggelapan dana perusahaan mereka.
“Ini bukan hanya kali pertama penyidik Polda Sulteng memanggil jurnalis sebagai saksi dalam kasus yang berkaitan dengan kasus dugaan pencemaran nama baik. Padahal sudah ada tertuang dalam MoU antara Dewan Pers dan Kapolri,” katanya menegaskan.
AJI Palu juga menilai, hal ini melemahkan fungsi kontrol sosial yang diemban media dalam negara demokratis. Selain itu, wartawan memiliki kewajiban untuk melindungi narasumber dan menjaga netralitas dalam menyampaikan informasi kepada publik, bukan menjadi alat bukti yang dapat menyeret mereka ke ranah hukum.
“Ini mengancam independensi pers dan membahayakan prinsip, bahwa produk berita bukanlah alat bukti yang dimaksudkan untuk menghukum orang,” ujarnya.
AJI Palu melihat langkah tersebut sebagai bentuk intervensi yang dapat mengintimidasi jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Kata dia, menjadikan produk berita sebagai dasar penyidikan kriminal merupakan upaya membungkam dan menghalangi wartawan, dalam melaksanakan tugasnya secara bebas dan tanpa tekanan.
AJI Palu mendesak aparat penegak hukum untuk lebih bijak dalam menggunakan produk jurnalistik sebagai rujukan dalam penanganan kasus hukum, dan menegaskan bahwa berita tidak bisa dijadikan bukti untuk mempidanakan pihak tertentu.
Menurutnya jika wartawan atau orang yang terkait dengan pemberitaan tersebut tercermari nama baiknya, maka bisa dengan melakukan pendekatan melalui jalur jurnalistik, yaitu penggunaan hak jawab, hak koreksi atau melaporkan di Dewan Pers untuk dimediasi.
Selain menyampaikan penolakan, Agung juga mengimbau seluruh media untuk terus menjaga integritas dalam menjalankan tugas jurnalistiknya dengan mengacu pada kode etik jurnalistik.
AJI Palu mendorong para jurnalis untuk tetap profesional dan objektif dalam menyampaikan informasi, serta menjunjung tinggi prinsip akurasi, verifikasi, dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan.
“Kode etik jurnalistik harus menjadi pegangan utama bagi jurnalis, terutama dalam situasi-situasi yang rawan terhadap kriminalisasi. Ini penting agar karya jurnalistik tetap dihormati sebagai informasi publik yang bebas dari intervensi atau kepentingan tertentu,” pesannya.
“Polisi tidak bisa menjadikan wartawan sebagai saksi dalam produk-produk jurnalistik. Karena apa yang tertera dalam produk jurnalistik semestinya itu sudah jadi bukti bagi kepolisian, tanpa harus memanggil wartawan atau perusahaan medianya,” kata Ketua AJI Palu Agung Sumandjaya di Palu, Sabtu.
Sikap AJI itu merespon undangan permintaan keterangan kepada wartawan atau perusahaan media terkait perkara pencemaran nama baik yang dilakukan oleh terlapor Yuni Sara (Komisaris PT Duta Maritim Morut), atas pernyataannya di Media Alkhairaat Online, yang menuduh Septiawan (Direktur PT Duta Maritim Morut) melakukan penggelapan dana perusahaan mereka.
“Ini bukan hanya kali pertama penyidik Polda Sulteng memanggil jurnalis sebagai saksi dalam kasus yang berkaitan dengan kasus dugaan pencemaran nama baik. Padahal sudah ada tertuang dalam MoU antara Dewan Pers dan Kapolri,” katanya menegaskan.
AJI Palu juga menilai, hal ini melemahkan fungsi kontrol sosial yang diemban media dalam negara demokratis. Selain itu, wartawan memiliki kewajiban untuk melindungi narasumber dan menjaga netralitas dalam menyampaikan informasi kepada publik, bukan menjadi alat bukti yang dapat menyeret mereka ke ranah hukum.
“Ini mengancam independensi pers dan membahayakan prinsip, bahwa produk berita bukanlah alat bukti yang dimaksudkan untuk menghukum orang,” ujarnya.
AJI Palu melihat langkah tersebut sebagai bentuk intervensi yang dapat mengintimidasi jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Kata dia, menjadikan produk berita sebagai dasar penyidikan kriminal merupakan upaya membungkam dan menghalangi wartawan, dalam melaksanakan tugasnya secara bebas dan tanpa tekanan.
AJI Palu mendesak aparat penegak hukum untuk lebih bijak dalam menggunakan produk jurnalistik sebagai rujukan dalam penanganan kasus hukum, dan menegaskan bahwa berita tidak bisa dijadikan bukti untuk mempidanakan pihak tertentu.
Menurutnya jika wartawan atau orang yang terkait dengan pemberitaan tersebut tercermari nama baiknya, maka bisa dengan melakukan pendekatan melalui jalur jurnalistik, yaitu penggunaan hak jawab, hak koreksi atau melaporkan di Dewan Pers untuk dimediasi.
Selain menyampaikan penolakan, Agung juga mengimbau seluruh media untuk terus menjaga integritas dalam menjalankan tugas jurnalistiknya dengan mengacu pada kode etik jurnalistik.
AJI Palu mendorong para jurnalis untuk tetap profesional dan objektif dalam menyampaikan informasi, serta menjunjung tinggi prinsip akurasi, verifikasi, dan keberimbangan dalam setiap pemberitaan.
“Kode etik jurnalistik harus menjadi pegangan utama bagi jurnalis, terutama dalam situasi-situasi yang rawan terhadap kriminalisasi. Ini penting agar karya jurnalistik tetap dihormati sebagai informasi publik yang bebas dari intervensi atau kepentingan tertentu,” pesannya.