Jakarta (ANTARA) - Pengunjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggunakan hati nurani dalam mendukung keputusan salah satu lembaga tinggi negara itu.
"Harapan kita ini sebetulnya sederhana bahwa ingin DPR itu mendengarkan dan menggunakan nurani dalam mendukung putusan MK," kata Juru Bicara Maklumat Juanda Alif Iman Nurlambang di Jakarta, Kamis.
Massa itu terdiri dari koalisi guru besar, akademisi, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat,
Menurut Alif, sudah seharusnya pihak pemangku kepentingan terkait (stakeholders) bisa memahami tugas dan pokok fungsinya masing-masing dengan mengedepankan keadilan dan demokrasi.
"Nah kesadaran itu yang harus mereka punya. Secara sederhana adalah, kita semua tahu ini salah. Orang-orang DPR itu juga tahu ini salah. Itu yang mereka harus kembali ke nurani masing-masing," ujar Alif.
Selain itu, Alif menilai MK menjadi satu-satunya lembaga tersisa yang bisa dipercaya oleh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, dia menegaskan elemen masyarakat hari ini meminta pemerintah dan DPR harus taat kepada keputusan MK.
"Gedung MK ini adalah satu-satunya gedung yang kita percayai untuk mengemban amanat rakyat," ujar Alif.
Mereka mengakhiri unjuk rasa di depan gedung MK dan bergerak menuju Gedung DPR RI sekitar pukul 14.00 WIB untuk bergabung massa di sana.
Hingga mereka membubarkan diri, situasi di depan gedung MK aman dan kondusif.
Pada Selasa (20/8), MK memutuskan dua putusan krusial terkait tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Putusan itu menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Namun, pada Rabu (21/8), Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada itu. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan MK yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukan hanya bagi partai non parlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Massa minta DPR gunakan hati nurani untuk dukung putusan MK
Massa itu terdiri dari koalisi guru besar, akademisi, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat,
Menurut Alif, sudah seharusnya pihak pemangku kepentingan terkait (stakeholders) bisa memahami tugas dan pokok fungsinya masing-masing dengan mengedepankan keadilan dan demokrasi.
"Nah kesadaran itu yang harus mereka punya. Secara sederhana adalah, kita semua tahu ini salah. Orang-orang DPR itu juga tahu ini salah. Itu yang mereka harus kembali ke nurani masing-masing," ujar Alif.
Selain itu, Alif menilai MK menjadi satu-satunya lembaga tersisa yang bisa dipercaya oleh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, dia menegaskan elemen masyarakat hari ini meminta pemerintah dan DPR harus taat kepada keputusan MK.
"Gedung MK ini adalah satu-satunya gedung yang kita percayai untuk mengemban amanat rakyat," ujar Alif.
Mereka mengakhiri unjuk rasa di depan gedung MK dan bergerak menuju Gedung DPR RI sekitar pukul 14.00 WIB untuk bergabung massa di sana.
Hingga mereka membubarkan diri, situasi di depan gedung MK aman dan kondusif.
Pada Selasa (20/8), MK memutuskan dua putusan krusial terkait tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.
Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Putusan itu menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Namun, pada Rabu (21/8), Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada itu. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan MK yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukan hanya bagi partai non parlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Massa minta DPR gunakan hati nurani untuk dukung putusan MK