Manado (ANTARA) - Tim Penuntut umum dari kejaksaan negeri (Kejari) Manado, menghadirkan dua saksi ahli dalam persidangan, untuk membuktikan dugaan pidana pemilu, yang dilakukan dua Caleg terpilih IWl alias Indra dan CL alias Christovel serta CL alias Cerly, dalam sidang yang digelar Selasa malam di PN Manado. 

Saksi Dr. Ida Budhiati, yang pernah menjabat sebagai komisioner KPU Jawa Tengah dan DKPP RI dalam penjelasannya sebagai ahli, mengatakan, tentang adanya tindak pidana pemilu. Dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang disangkakan kepada para terdakwa, mulai dari pasal tentang 280 huruf c UU nomor 7 tahun 2018 kemudian sampai ke pasal 523 ayat 1,2 dan 3. 

"Yang punya legal standing untuk melaporkan tentang tindak pidana pemilu, adalah WNI yang punya hak pilih, pemantau dan penyelenggara pemilu, juga tentang politik uang dalam pemilu," kata Dr. Ida Budhiati, di PN Manado, Selasa malam.. 

Ida menyebutkan hal itu ditegaskan dalam  pasal 280 huruf j UU nomor 7 tahun 2017, bahwa pelaksana peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu, pasal itu kemudian katanya dikaitkan dengan pasal 523 ayat 1, 2 dan 3, juga ada ancaman hukumannya di sana. 

Sementara pihak terdakwa yang diwakili kuasa hukumnya, Christian Tumbel, SH, mempertanyakan tentang kedaluwarsa sebuah perkara pidana pemilu, berdasarkan Perma nomor 1 tahun 2018, yang ditegaskan dalam ayat 3, bahwa pengadilan negeri memeriksa dan memutuskan pidana pemilu paling lambat tujuh hari setelah dilimpahkan oleh penuntut umum. Hal itu dijawab bahwa penentuan waktu itu mengikuti SOP di pengadilan. 

Sedangkan saksi ahli kedua, Dr. Titi Anggrainy, pakar hukum pidana dari UI, yang juga disumpah untuk memberikan keterangan, menjelaskan, sesuai dengan pasal 454 ayat 6 tentang waktu pelaporan tindak pidana pemilu yakni tujuh hari setelah diketahui. 

Titi Anggraini menjelaskan tahapan pemilu ada yang saling beririsan maupun tidak. Dan setiap pelanggaran dan pidana dilaporkan pada tiap tahapan, oleh semua warga Indonesia yang punya kedudukan hukum. Namun tidak semuanya bisa dilaporkan pada tahapan, misalnya ada politik uang saat pencoblosan dan untuk melengkapi bukti lewat waktu pemilihan, maka bisa dilaporkan sehari atau dua hari setelah tahapan pencoblosan.  

"Tetapi maksudnya juga kembali pada pasal 454 ayat 6 UU nomor 7/2017, yakni paling lambat tujuh hari setelah diketahui adanya pidana pemilu, jadi jika diketahui sudah bukan pada tahapan pencoblosan atau perhitungan suara, tetapi masih dalam tahapan pemilu secara umum, maka masih bisa dilakukan, selama masih dalam masa tujuh hari setelah diketahui," katanya.  

Dia pun menegaskan, bahwa yang penting tujuh hari setelah diketahui, dan harus harus dipahami tahapan pemilu didesain seperti itu. 

Dia juga menjelaskan, mengenai pidana pemilu terkait politik uang, diatur dalam pasal 280 huruf j UU nomor 7/2017, serta kaitannya dengan pasal 523 ayat 1,2 dan 3. Lalu mengenai pasal 523 ayat 1, 2 dan 3 termasuk dalam syarat formil, karena  menjanjikan saja sudah terpenuhi, unsur formil.   

Mengenai pasal 3 Perma 1 tahun 2018, Titi Anggraini, menjelaskan, batas waktu tujuh hari yang dimaksudkan untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana pemilu, adalah setelah sidang pertama dimulai. 

"Itu batas waktu tujuh hari, bukannya saat dilimpahkan ke PN, sebab ada aturan dan prosedur tetap di pengadilan yang mengatur waktu, seperti pemanggilan saksi dan lainnya, maka yang dimaksudkan, tujuh hari, adalah tujuh hari setelah sidang pertama dimulai atau persidangan," tegas Mantan ketua Perludem itu. 

Sidang tersebut dipimpin pimpin Iriyanto Tiranda, SH, MH, didampingi Mariany Korompot, SH dan Ronaldo Massang, SH, MH, dan JPU dipimpin Kasi Pidum Taufiq Fauzi, SH didampingi Bryan Saputra Tambuwun, SH dan dua jaksa lainnya.  
 

Pewarta : Joyce Hestyawatie B
Editor : Hence Paat
Copyright © ANTARA 2024