Manado (AntaraSulut) - Realitas dunia jaman sekarang, sedikit banyak mementaskan situasi yang pluralis dalam hal tindakan dan sikap masyarakat. Fakta bahwa terjadi gesekan satu sama lain, membuat pergerakan peradaban di satu sisi mengalami kemajuan, tapi di sisi lain hal itu dipandang sebagai kemunduran (negatif). 

Gesekan-gesekan horizontal menyebabkan disharmoni dan sentimen emosional di kalangan masyarakat. Biarpun pada prinsipnya gesekan-gesekan tersebut pasti juga membawa nilai positif dalam arti terjadi perubahan dalam peradaban. 

Gesekan horizontal di kalangan masyarakat termasuk pelajar, memproklamasikan satu fakta bahwa pendidikan di lingkungan kita belum cukup mampu menyelesaikan persoalan dengan akal sehat dan juga dengan ‘pisau’ diskursus. 

Artinya bahwa para pelajar cenderung mengutamakan sentimen emosional daripada penggunaan rasio/akal budi. Ini menjadi salah satu indikator adanya misinterpretasi dan selanjutnya misimplementasi penggunaan kebebasan. 

Kebebasan diartikan secara sempit yakni bebas semau-maunya, bebas berbuat apa saja, bebas menurut pandangan pribadi, dan bebas untuk mengekspresikan apapun yang menjadi pandangan saya. Ketika kebebasan dipantau dari pandangan yang sempit, maka konflik horizontal ataupun vertikal tak terhindarkan.
Tesis di atas bukan berarti bahwa konflik tidak penting dalam kehidupan kita. Meminjam pemikiran Karl Marx (Filsuf Jerman), konflik itu penting dan dapat memantik kemajuan. Namun konflik yang dimaksud bukan konflik yang mengarah pada kekerasan fisik, melainkan konflik yang mengarah pada satu komitmen dan solidaritas kolektif untuk memperjuangkan keadaban publik. Hanya dengan demikian konflik dapat mempersembahkan “piala” kebebasan yang membebaskan setiap orang dari penindasan, kekerasan, pelecehan dan aneka tindakan kriminal lainnya.

Mengapa harus pendidikan yang membebaskan? Penulis melihat bahwa ada sumber masalah dalam pembangunan kita yang terletak bukan hanya pada belum tersedianya tenaga kerja yang trampil, tetapi juga yang berintegritas. Pribadi yang cerdas dan sehat sebagai key person dalam membangun bangsa Indonesia, dan itu hanya bisa dicapai lewat dunia pendidikan, yang memahami apa arti kebebasan tersebut. Pendidikan menjadi pokok penting dalam hidup seseorang. 
Ironisnya, pendidikan kita sering dinilai buram karena pelbagai macam fakta miris seperti kekerasan di antara para pelajar bahkan di antara masyarakat. Di sini pendidikan tidak menunjang kebebasan. 
Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membebaskan dan membuka jalan kepada kebebasan. Konsep pendidikan ini sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Pada jaman itu pendidikan dipahami sebagai usaha terpadu untuk memanusiakan manusia muda, membentuk karakter sehingga peserta didik menjadi pribadi yang berkeutamaan, terpandang karena memiliki budaya intelektual dan memiliki arête/keutamaan. Filsafat Yunani memakai istilah arête untuk excellency yang dalam bahasa Indonesia menunjuk pada keutamaan; bagaimana menjadikan diri kita ‘manusia utama’. 
Dengan kata lain, pendidikan adalah proses mengolah potensi-potensi yang dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi. 

Melalui pendidikan tersebut, peserta didik dibentuk dan dibekali pengetahuan dan ketrampilan sehingga mampu menjadi agen perubahan bagi dirinya sendiri dan orang lain. 

Menjadi orang yang dididik harus bisa membawa perubahan pada hal yang baik. Orang terdidik, mampu mempraktekkan apa yang dia terima dalam dunia pendidikan kemudian diolah potensi-potensi tersebut untuk menjadi lebih manusiawi. Potensi-potensi yang digali dari dalam pendidikan itu dapat menunjang kebebasan dalam diri para pelajar. Pendidikan yang membebaskan butuh tuntunan kaidah-kaidah moral. 

Franz Magnis-Suseno, seorang Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, pernah mengungkapkan bahwa kata moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. (Lih. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 19). 

Ini mau menegaskan bahwa dalam konteks perbuatan, seseorang menjadi bebas dan terbuka terhadap apa saja yang dia lakukan. Orang mengalami kebebasan untuk melakukan segala macam hal. Tetapi juga kemudian orang terlena dengan kapasitasnya sebagai orang yang mempunyai kebebasan yang tak terbendung. Berhadapan hal tersebut justru pribadi lupa bahwa kebebasannya mengandung nilai moral yang menjadi tolok ukur dalam tindakannya.

Pada hemat penulis, ada beberapa prinsip moral yang perlu menjadi patokan dalam kebebasan. Pertama,  prinsip sikap baik. Prinsip ini menjadi prinsip moral dasar pertama karena mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia karena mempunyai prinsip dasar dalam strutur psikis seseorang. Dan karena prinsip itupula mengandaikan bahwa orang lain tidak akan langsung mengancam kita dan atau merugikan kita. Jadi yang biasa pada manusia bukan sikap memusuhi dan mau membunuh melainkan sikap bersedia menerima baik dan membantu. Praktisnya terkadang tanpa kita sadari orang yang tidak kita kenal secara spontan membantu kita dalam segala situasi.
Kedua, prinsip keadilan. Adil pada hakikatnya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Hak karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia maka tuntutan paling hakiki keadilan adalah perlakukan yang sama terhadap semua orang. Jadi prinsip dasarnya kita berbuat adil berarti memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati semua pihak yang bersangkutan. Bahkan filsuf Plato mengatakan bahwa sejauh keadilan adalah kebaikan maka ia selalu menguntungkan, oleh karena itu hidup yang adil akan membahagiakan.

Ketiga, prinsip hormat terhadap diri sendiri sebagai subjek tindakan. Dalam prinsip ini manusia perlu menjadikan dirinya sebagai subjek moral. Artinya ia tidak menjadikan dirinya dan orang lain sebagai tujuan, tetapi ia bertindak sesuai dengan prinsip: bertindaklah sedemikian rupa agar norma dan tindakanmu tidak menjadikan orang lain sebagai alat atau sarana dan juga melecehkan diri sendiri. Satu tindakan akan bermartabat apabila menjunjung tinggi kebebasan orang lain tetapi pada saat serentak menjunjung tinggi kebebasan diri.

Akhirnya, gesekan horizontal di Bumi Nyiur Melambai meniscayakan adanya ideal pembebasan pendidikan melalui bentuk pendidikan yang membebaskan. Setiap orang mesti membebaskan pendidikan dari aneka tindakan kriminal, sikap otoriter, dan lain lain. Ini dapat dicapai melalui bentuk pendidikan yang membebaskan para pelajar untuk bertutur, berpikir, bersikap sesuai dengan cara yang masuk akal, wajar dan bersifat konstruktif. 

Untuk itulah kebebasan mesti memperoleh lindungan dari kaidah-kaidah moral. Di sinilah kebebasan dapat menangkup aura kebebasan yang sejati.

(Penulis:Mahasiswa Magister Filsafat Sekolah Tinggi Fisafat Driyarkara Jakarta
Anggota Tim Filsafat Unika De La Salle Manado)
 


Pewarta : Ambrosius Loho
Editor :
Copyright © ANTARA 2024