Jakarta, 11/10 (Antara) - Hampir 50 tahun jazirah Blok Mahakam di Kalimantan Timur dikuras tanpa henti untuk menghasilkan minyak dan gas oleh perusahaan Perancis Total E&P Indonesia hingga berakhir 31 Maret 2017.



Namun, apakah kontrak bagi hasil akan diperpanjang pemerintah Indonesia atau bakal ada opsi-opsi lain? Nantinya, hal itulah yang akan menjadi "batu ujian" untuk diputuskan pemerintahan baru Jokowi-JK.



Terlepas siapa nantinya bertindak sebagai operator untuk melanjutkan eksploitasi Blok Mahakam itu, belakangan ini memunculkan berbagai spekulasi dari berbagai penentu kebijakan yang satu sama lain tidak memberikan kepastian bagi investor.



Berbagai spekulasi itu juga memburamkan impian rakyat Kalimantan Timur yang sejak berdirinya perusahaan tersebut hanyalah sekedar "penonton" dari limpah ruah keuntungan pengurasan sumber daya alam itu.



 Pihak pemerintah pusat maupun Total E&P Indonesia selaku operator tunggal, selama setengah abad (50 tahun) tidak pernah memberikan gambaran tentang keuntungan eksploitasi kepada masyarakat Kalimantan Timur  yang selama ini hanya sebagai penerima dampak pengurasan sumber daya alam tersebut.



Namun, banyak ahli mengkalkulasi bahwa keuntungan dari usaha pertambangan dimaksud tidak kurang dari Rp75 milyar setiap jam.



         Itulah sebabnya banyak pihak berkepentingan terhadap eksploitasi Blok Mahakam tersebut seperti sikap Menteri BUMN Dahlan Iskan yang menyatakan bahwa operator baru akan diserahkan kepada perusahaan nasional Pertamina.



         Namun, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo menampik pernyataan Dahlan Iskan tersebut.



         Sementara, pihak Total sendiri  merasa memperoleh sinyal positif bakal melanjutkan kegiatan tersebut menyusul kehadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 19 September 2014 yang bersedia  meresmikan proyek Migas Sisi Nubi2B.



         Bantah-membantah tentang kepastian pengelola Blok Mahakam seakan tidak pernah sepi, bahkan Gubernur Kaltim, Awang Faraoek Ishak menepis isu perpanjangan kontrak yang berakhir pada tahun 2017 tersebut bakal diberikan kepada Total kembali.



         "Peresmian proyek Sisi Nubi2B memang sudah lama direncanakan bakal dilakukan presiden, tidak berarti sebagai sinyal bahwa Blok Mahakam akan jatuh ke tangan Total," tegas Awang yang selama bertahun-tahun menuntut bagi hasil untuk kepentingan pembangunan provinsi itu.



         Akhir pekan ini, spekulasi dimaksud nampaknya mulai luruh menyusul pernyataan Direktur Hulu Migas Kementerian ESDM Naryanto Wagimin di Jakarta bahwa pihaknya tidak akan memutuskan status pengelolaan Blok Mahakam dalam waktu dekat tetapi akan diserahkan ke pemerintahan baru Jokowi-JK.



    

         Kaltim Menggugat

    Tanggung jawab pemerintahan baru Jokowi-JK untuk memutuskan siapa nantinya bertindak sebagai operator Blok Mahakam, bukan persoalan pelit karena Pertamina maupun pihak Total sudah memiliki kajian matang dalam pengembangan bisnis raksasa dimaksud.



         Sebaliknya, gugatan pemerintah dan warga Kalimantan Timur merupakan sesuatu yang sulit untuk diprediksi karena secara substantif mereka tidak diperlakukan secara adil dalam bagi hasil.



         Jika mengacu kepada sikap pemerintah dan rakyat Kalimantan Timur dalam beberapa tahun terakhir terhadap tuntutan "keadilan¿" hasil epsloitasi migas didaerah itu, khusus untuk eksploitasi Blok Mahakam nampaknya tidak pernah bergeser dari angka 40-50 persen dari yang mereka terima selama ini saat ini hanya 15 persen untuk menambah dana pembangunan kesejahteraan rakyat setempat.



         "Barangkali ini ujian terberat bagi pemerintahan baru, karena esensinya menyangkut rasa keadilan bagi rakyat Indonesia yang tinggal di Kalimantan Timur," tutur pimpinan LSM Panas, Rona Fhs yang belakangan ini bersama sejumlah aliansi LSM bergabung dengan pemerintah provinsi Kalimantan Timur serta kabupaten Kutai Kartanegara yang secara terpadu  memperjuangkan hak itu.



         Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, berpandangan bahwa tuntutan bagi hasil secara adil itu bukan sesuatu yang mengada-ngada jika mengacu perlakuan pemerintah pusat kepada Papua dan Aceh Darussalam yang sudah memberikan 70 persen dari dana bagi hasil serupa, setelah kedua daerah tersebut terpaksa harus menempuh cara "pemberontakan" (sparatisme).j



         Pemerintah dan rakyat Kalimantan Timur tidak terlalu mempersoalkan perilaku perusahaan Total yang tidak perduli dengan aroma kemiskinan dan ketertinggalan daerah tersebut dalam 50 tahun terakhir.



         Tetapi, kali ini, mereka nampaknya lebih serius menuntut dana bagi hasil dimaksud setelah mengalami masa traumatik ketika hutan Kaltim dikuras habis-habisan tanpa memberikan konstribusi bagi perbaikan infrastruktur dan kesejahteraan rakyat setempat.



         Kegundahan gubernur yang juga adalah cermin dari kegundahan rakyat Kalimantan Timur itu, secara kasat mata makin dirasakan belakangan ini, terutama makin sulitnya memperoleh BBM dan tingginya harga gas elpiji karena keterbatasan fasilitas, padahal kedua komoditas tersebut adalah hasil tambang dari daerah itu.



         VP Communication Total E&P Indonesie, Arividya Noviyanto, mengakui belum mendengar kabar apa pun dari Pemerintah terkait info sinyal kelanjutan Blok Mahakam, tetapi jika pemerintah Indonesia menyerahkan kepercayaan kepadanya, maka Total siap mengelola kembali kawasan delta yang berada di mulut sungai Mahakam itu.



          Menunggu sisa kontrak hingga 2017, pihak Total terus dengan giat memacu produksi, seperti tergambar untuk proyeksi tahun 2014 mereka menargetkan 1,7 BCFD untuk gas dan 67.000 BOD untuk minyak dan kondensat.



         "Kami menyiapkan dana investasi baru sebesar 7,3 milyar US dolar atau sekitar Rp75 triliun, jika nantinya kontrak diberikan kepada kami," ungkap petinggi perusahan Total itu. ***2***

Pewarta : Miskudin Taufik
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024