Manado (ANTARA) - PT Tambang Mas Sangihe (TMS) memiliki izin lingkungan dan akan melanjutkan program pengembangan sumber daya alam pertambangan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).
Senior In-House Legal Counsel PT. TSM, Rico Pandeirot mengatakan PT TMS juga menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dampak penting negatif yang akan ditimbulkan oleh kegiatan penambangan, teknologi PT TMS bisa menanganinya.
“Itu semua sudah tersurat dalam Kontrak Karya. Lalu secara rinci termaktub dalam poin-poin dokumen Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKL) maupun Izin Lingkungan (IL) yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara,” katanya, di Manado, Jumat.
Adapun dokumen SKKL yang dikantongi PT TMS bagi kegiatan penambangan emas di Sangihe, dikeluarkan Pemprov Sulut melalui Dinas PMPTSPD dengan Nomor 503/DPMPTSPD/SKKL/181/IX/2020 tertanggal 25 September 2020 dan ditandatangani Kepala Dinas PMPTSPD Fransiscus E Manumpil.
Juga pada Izin Lingkungan (IL) pada Surat Keputusan Nomor 503/PMPTSPD/IL/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020 yang juga ditandatangani Manumpil.
Di situ disebutkan dengan jelas bahwa PT TMS akan mengelola dan melakukan pemantauan lingkungan hidup terhadap dampak kegiatan penambangan sebagaimana tercantum dalam AMDAL.
Kewajiban pengelolaan dampak tersebut menggunakan pendekatan sosial ekonomi dan institusi. Misalnya di saat operasi produksi, akan dilakukan pengelolaan limbah batuan (waste dump).
Batuan sisa lindihan akan ditempatkan pada lokasi yang sudah disiapkan, yaitu pada bagian utara pit dan di area pelindihan. Secara teknis, luas area ini sudah disiapkan sekitar 12 Ha.
Proses berikutnya sebagaimana tersurat dalam SKKL dan IL, sebelum membuang batuan sisa pelindihan, dibangun drainase yang dibuat dari batuan blok dengan menggunakan geomembrane.
Pada dasarnya penanganan batuan waste dari pit memerlukan penanganan khusus dengan pertimbangan potensi air asam tambang dan kestabilan struktur dalam jangka waktu yang lama.
Soal pengelolaan lingkungan secara umum, PT TMS menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH).
Tudingan yang menyatakan PT. TSM tidak memiliki hak lagi untuk melakukan aktivitas di wilayah Sangihe salah besar.
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta pada 31 Agustus 2022 lalu, hanya membatalkan SK Menteri ESDM terkait Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi.
Menurutnya, itu hanya soal administrasi dan akan diperbaiki karena PT TMS masih memegang kontrak karya yang melegitimasi eksplorasi tambang di wilayah konsesi.
Keputusan PT TUN hanya berkaitan dengan izin operasional pertambangan yang dikeluarkan pada Januari 2021. Karenanya, keputusan ini tidak mempengaruhi kontrak karya.
"TMS terus memegang kontrak karya yang sah dengan pemerintah Indonesia yang tetap tidak terpengaruh oleh keputusan terhadap Kementerian ESDM. Kami kecewa dengan keputusan pengadilan, namun kontrak karya mengizinkan TMS untuk menjelajahi wilayah lisensi kami,” ungkap Pandeiroth.
Ditegaskannya, PT TMS yang memiliki Izin operasi produksi pertambangan mencapai 42 ribu hektare di Sangihe masih bisa melanjutkan kegiatan eksplorasi di wilayah konsesi berbekal kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia.
“Selain itu, izin lingkungan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Dinas Penanaman Modan dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tidak pernah dibatalkan dan hingga saat ini masih sah, begitupun dengan izin-izin lainnya,” jelasnya.
Presiden Direktur PT TMS Terry Filbert mengatakan upaya ‘pengusiran’ dilakukan oleh kelompok yang menamai Save Sangihe Island (SSI).
Menurutnya, SSI tidak jujur, memiliki kepentingan lain dengan memakai tameng pecinta lingkungan, pembela rakyat dan lain sebagainya, namun faktanya SSI secara nyata membiarkan perusakan lingkungan yang terjadi di Sangihe akibat ulah penambang liar.
“Kami yang secara legal memiliki izin dan kontribusi jelas terhadap negara komitmen terhadap lingkungan dan kesejahteraan warga Sangihe sengaja mereka halang-halangi, sementara penambang liar yang justru merusak lingkungan dan kontribusi pajak ke negara tidak jelas mereka biarkan,” ungkap Filbert.
Secara blak-blakan Filbert mengatakan bahwa SSI setali dua uang dengan penambang ilegal. “Mereka (SSI dan penambang Ilegal) bekerja sama untuk mengusir PT TMS yang justru memiliki hak secara hukum di wilayah konsesi,” katanya.
SSI dan penambang liar bahkan secara nyata melakukan berbagai tindakan pidana penyerangan, perusakan dan pencurian kepada PT TSM.
“Kami menghormati kebebasan berpendapat setiap orang, tapi tidak dengan melakukan tindakan penyerangan, perusakan dan pencurian. Itu merupakan tindakan pidana,” kata Filbert sembari menunjukkan video berisi rentetan tindakan kriminal yang dilakukan terhadap pegawai, peralatan dan kendaraan PT TSM.
Ia menyayangkan juga, sejumlah tindakan kriminal yang dilakukan terhadap PT TSM seolah dibiarkan aparat terkait. Oleh karena itu, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan MoU dengan pihak Polda Sulut untuk mengamankan hak PT TSM yang dilindungi Undang-Undang di wilayah Sangihe.
Filbert kemudian menyatakan komitmen PT TSM untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang. Selain mempekerjakan masyarakat lokal, dilakukan juga pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan.
“Menyejahterakan masyarakat Pulau Sangihe, itulah tujuan kita. Apa saja CSR yang akan dilakukan sudah disusun. Nantinya akan dilakukan pembangunan yang akan membuat Pulau Sangihe menjadi lebih baik lagi,” tegas Filbert.
PT TMS juga bakal bertanggung jawab mengelola kondisi dan fungsi lingkungan pada lokasi penambangan di Kabupaten Sangihe. Tanggung jawab pengelolaan itu akan berlangsung di saat dan pasca produksi. Diantaranya reklamasi dan kegiatan penormalan serta penghijauan lingkungan.
“Kewajiban dan tanggung jawab terhadap pengelolaan kondisi lingkungan mutlak dilakukan perusahaan,’’ tegas pria yang akrab disapa Mr Terry itu.
Senior In-House Legal Counsel PT. TSM, Rico Pandeirot mengatakan PT TMS juga menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dampak penting negatif yang akan ditimbulkan oleh kegiatan penambangan, teknologi PT TMS bisa menanganinya.
“Itu semua sudah tersurat dalam Kontrak Karya. Lalu secara rinci termaktub dalam poin-poin dokumen Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKL) maupun Izin Lingkungan (IL) yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara,” katanya, di Manado, Jumat.
Adapun dokumen SKKL yang dikantongi PT TMS bagi kegiatan penambangan emas di Sangihe, dikeluarkan Pemprov Sulut melalui Dinas PMPTSPD dengan Nomor 503/DPMPTSPD/SKKL/181/IX/2020 tertanggal 25 September 2020 dan ditandatangani Kepala Dinas PMPTSPD Fransiscus E Manumpil.
Juga pada Izin Lingkungan (IL) pada Surat Keputusan Nomor 503/PMPTSPD/IL/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020 yang juga ditandatangani Manumpil.
Di situ disebutkan dengan jelas bahwa PT TMS akan mengelola dan melakukan pemantauan lingkungan hidup terhadap dampak kegiatan penambangan sebagaimana tercantum dalam AMDAL.
Kewajiban pengelolaan dampak tersebut menggunakan pendekatan sosial ekonomi dan institusi. Misalnya di saat operasi produksi, akan dilakukan pengelolaan limbah batuan (waste dump).
Batuan sisa lindihan akan ditempatkan pada lokasi yang sudah disiapkan, yaitu pada bagian utara pit dan di area pelindihan. Secara teknis, luas area ini sudah disiapkan sekitar 12 Ha.
Proses berikutnya sebagaimana tersurat dalam SKKL dan IL, sebelum membuang batuan sisa pelindihan, dibangun drainase yang dibuat dari batuan blok dengan menggunakan geomembrane.
Pada dasarnya penanganan batuan waste dari pit memerlukan penanganan khusus dengan pertimbangan potensi air asam tambang dan kestabilan struktur dalam jangka waktu yang lama.
Soal pengelolaan lingkungan secara umum, PT TMS menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH).
Tudingan yang menyatakan PT. TSM tidak memiliki hak lagi untuk melakukan aktivitas di wilayah Sangihe salah besar.
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta pada 31 Agustus 2022 lalu, hanya membatalkan SK Menteri ESDM terkait Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi.
Menurutnya, itu hanya soal administrasi dan akan diperbaiki karena PT TMS masih memegang kontrak karya yang melegitimasi eksplorasi tambang di wilayah konsesi.
Keputusan PT TUN hanya berkaitan dengan izin operasional pertambangan yang dikeluarkan pada Januari 2021. Karenanya, keputusan ini tidak mempengaruhi kontrak karya.
"TMS terus memegang kontrak karya yang sah dengan pemerintah Indonesia yang tetap tidak terpengaruh oleh keputusan terhadap Kementerian ESDM. Kami kecewa dengan keputusan pengadilan, namun kontrak karya mengizinkan TMS untuk menjelajahi wilayah lisensi kami,” ungkap Pandeiroth.
Ditegaskannya, PT TMS yang memiliki Izin operasi produksi pertambangan mencapai 42 ribu hektare di Sangihe masih bisa melanjutkan kegiatan eksplorasi di wilayah konsesi berbekal kontrak karya dengan Pemerintah Indonesia.
“Selain itu, izin lingkungan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara melalui Dinas Penanaman Modan dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tidak pernah dibatalkan dan hingga saat ini masih sah, begitupun dengan izin-izin lainnya,” jelasnya.
Presiden Direktur PT TMS Terry Filbert mengatakan upaya ‘pengusiran’ dilakukan oleh kelompok yang menamai Save Sangihe Island (SSI).
Menurutnya, SSI tidak jujur, memiliki kepentingan lain dengan memakai tameng pecinta lingkungan, pembela rakyat dan lain sebagainya, namun faktanya SSI secara nyata membiarkan perusakan lingkungan yang terjadi di Sangihe akibat ulah penambang liar.
“Kami yang secara legal memiliki izin dan kontribusi jelas terhadap negara komitmen terhadap lingkungan dan kesejahteraan warga Sangihe sengaja mereka halang-halangi, sementara penambang liar yang justru merusak lingkungan dan kontribusi pajak ke negara tidak jelas mereka biarkan,” ungkap Filbert.
Secara blak-blakan Filbert mengatakan bahwa SSI setali dua uang dengan penambang ilegal. “Mereka (SSI dan penambang Ilegal) bekerja sama untuk mengusir PT TMS yang justru memiliki hak secara hukum di wilayah konsesi,” katanya.
SSI dan penambang liar bahkan secara nyata melakukan berbagai tindakan pidana penyerangan, perusakan dan pencurian kepada PT TSM.
“Kami menghormati kebebasan berpendapat setiap orang, tapi tidak dengan melakukan tindakan penyerangan, perusakan dan pencurian. Itu merupakan tindakan pidana,” kata Filbert sembari menunjukkan video berisi rentetan tindakan kriminal yang dilakukan terhadap pegawai, peralatan dan kendaraan PT TSM.
Ia menyayangkan juga, sejumlah tindakan kriminal yang dilakukan terhadap PT TSM seolah dibiarkan aparat terkait. Oleh karena itu, dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan MoU dengan pihak Polda Sulut untuk mengamankan hak PT TSM yang dilindungi Undang-Undang di wilayah Sangihe.
Filbert kemudian menyatakan komitmen PT TSM untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang. Selain mempekerjakan masyarakat lokal, dilakukan juga pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan.
“Menyejahterakan masyarakat Pulau Sangihe, itulah tujuan kita. Apa saja CSR yang akan dilakukan sudah disusun. Nantinya akan dilakukan pembangunan yang akan membuat Pulau Sangihe menjadi lebih baik lagi,” tegas Filbert.
PT TMS juga bakal bertanggung jawab mengelola kondisi dan fungsi lingkungan pada lokasi penambangan di Kabupaten Sangihe. Tanggung jawab pengelolaan itu akan berlangsung di saat dan pasca produksi. Diantaranya reklamasi dan kegiatan penormalan serta penghijauan lingkungan.
“Kewajiban dan tanggung jawab terhadap pengelolaan kondisi lingkungan mutlak dilakukan perusahaan,’’ tegas pria yang akrab disapa Mr Terry itu.