BANYAK tangisan dan seruan di mana-mana saat melihat kenyataan bencana akhir-akhir ini. Hanya dalam hitungan jam, 15 Januari yang lalu, Manado lumpuh total. Banyak orang mulai bicara tentang dosa! Mulailah banyak orang di status FB, BBM, Twitter, dll., yang mengaitkan peristiwa alam ini dengan dosa. Barang kali di antara kita juga berpikir demikian! Untuk menjawab persoalan dosa, kita perlu memeriksa apa yang terjadi dalam kenyataan hidup. Namun, pertanyaan yang harus digumulkan berkaitan dengan dosa itu sendiri ialah adakah setiap bencana terjadi karena dosa? Apa sebenarnya bencana dan dosa itu? Kemudian, pertobatan seperti apa yang harus kita lakukan? Apa pentingnya pula perenungan ini bagi warga Manado?
   
Sebelum masuk dalam bahasan itu, gereja di seluruh dunia sedang memperingati pertobatan Paulus. Pertobatan seorang bernama Saulus menjadi Paulus itu berkaitan dengan minggu-minggu perayaan Kristen di seluruh dunia tentang PENAMPAKAN ALLAH atau Epifania. Di Yunani, Rusia, dan daerah-daerah yang mayoritas beragama Ortodoks Timur, Epifani adalah hari “Natal” atau kelahiran Kristus. Tentu, ini berbeda dengan gereja-gereja Barat (Katolik Roma dan Protestan) yang merayakan Natal pada 25 Desember. Gereja kita merayakan Epifani ini sebagai “penampakan Tuhan” di dalam banyak media atau sarana (termasuk ALAM: air, cahaya, dll.) untuk menyatakan kemahakuasaan-Nya; dan masih 3 minggu lagi suasana ini dirayakan dalam gereja. 

Pertobatan Paulus harus dilihat dalam rencana Allah menampakan diri-Nya. Karena itu, fenomena alam termasuk yang kita katakan sebagai bencana juga bisa kita maknai sebagai “PENAMPAKAN DIRI ALLAH”! Apakah Allah murka pada kita? Dosa kitakah yang menyebabkan bencana? Mengapa ada orang benar yang kena bencana, lalu yang lebe soe hidup tentram-tentram saja? 

Dalam perjalanan ke Damsyik (Damaskus), suara yang datang pada Saulus mengatakan, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?”, suara itu menyatakan, “Akulah Yesus yang kau aniaya itu.” Hidup Saulus dikenal dengan hidup yang penuh dedikasi. Ia membaktikan dirinya untuk urusan-urusan keagamaan (Yahudi). Jika pasal 26 dari Kisah Para Rasul ini dibaca, akan didapati betapa taatnya Saulus pada agama Yahudi. Segala peraturan, tradisi, ibadah, dan sebagainya dilakukan dengan segenap hati. Dalam hal ini, Saulus adalah contoh terbaik dari ketaatan seorang beragama. Hidupnya berubah saat mendengar suara itu! Yesus dianiaya olehnya. Pernahkan Saulus berjumpa dengan Yesus sebelumnya? Tidak! Pertemuan Saulus dengan Yesus adalah saat Epifani, saat Penampakan di jalan Damsyik itu. Akan tetapi Yesus mengatakan bahwa Saulus menganiaya Dia.

Dosa Saulus: menganiaya Yesus yang belum pernah dijumpainya! Yang ada ialah Saulus mengejar para pengikut Yesus yang lari ke Damsyik. Dengan begitu, mengejar pengikut Kristus juga adalah penganiayaan terhadap Kristus. Benarkah hanya itu? Sepertinya bukan hanya itu. Yesus yang dianiaya itu ialah kepenuhan janji Allah bagi orang Yahudi. Yesus yang dianiaya itu adalah ibadah-ibadah yang tidak mengasihi Allah. Kristus dianiaya dengan peraturan-peraturan yang berorientasi pada kepentingan orang-orang Yahudi dengan nama besar, prestise, kemapanan, dan kejayaan. Itulah mengapa orang Yahudi, dalam kesaksian Injil, digambarkan sangat eksklusif, angkuh, mementingkan keselamatannya sendiri, dan anti terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan anti terhadap orang-orang yang mengikut Kristus (ayat 10-11). Dosa seperti itu yang dihidupi Saulus. Dosa ekskusivisme! Dosa karena menganggap dirinya dan kelompoknya yang paling benar. Benarlah Saulus menjalankan panggilan agamanya, tetapi bukan itu inti dari imannya.    

Kristus yang menampakkan diri-Nya dalam TERANG yang membutakan mata Saulus itu mengubah hidup dan cara pandangnya tentang dunia di sekitarnya. Pertobatan Paulus memperlihatkan bahwa dirinya kemudian menjadi pewarta Kabar Baik bagi bangsa-bangsa yang sebelumnya diasingkan oleh Paulus dan komunitas Yahudinya. Mulai ayat ke-16 hingga 23 diceritakan orientasi atau arahan baru bagi Paulus menjalani pertobatannya. 

Sekilas tidak ada kaitan antara pertobatan Paulus dengan bencana yang terjadi. Namun, perhatikanlah bahwa keduanya berurusan dengan apa yang kita gumuli tentang DOSA. Pertama-tama, harus kita jauhkan dulu bahwa semua yang terjadi di dunia ini karena hubungan sebab-akibat. Mengapa? Karena tidak semua hal dapat dijelaskan sesederhana hubungan sebab-akibat, kecuali karena buang sampah sembarangan, maka banjir; atau karena banyak makan, maka sakit perut. Maksudnya ialah berkaitan dengan bacaan Alkitab pada hari ini, pertobatan Paulus hendak mengatakan bahwa dosa yang terjadi padanya adalah karena tidak dapat membedakan apa yang utama, dan apa yang bukan utama. Sebab itu, pertobatan Paulus memberi ARAH BARU bagi “kesesatan” arah hidupnya. 

Bencana (banjir dan tanah longsor) dapat dijelaskan secara ilmiah. Namun demikian, bencana (Inggris: disaster atau dis-aster: bintang-rusak) adalah gambaran tidak idealnya karya Allah yang mengagumkan. Alam tidak mengerti bahwa dirinya mengakibatkan bencana. Manusialah yang menamai hal itu bencana! Gambar karya Allah yang rusak, bumi yang rusak, karena mengakibatkan kekacauan (chaos; situasi yang sama dalam Kejadian 1:1 tentang penciptaan bumi dari keadaan chaos dan peristiwa Air Bah untuk menata kembali dunia yang chaos). Dengan begitu, kita sebagai manusia boleh memaknai bencana itu sebagai Epifani, sebagai penampakan diri Allah, untuk memberikan arah baru kehidupan manusia. Allah memakan korban? Tidak, karena baik hidup maupun mati, mereka milik-Nya dan ditebus oleh-Nya. 

Pertobatan ekologis (tentang ‘ekologi’ bisa cari referensi sendiri di wikipedia!) adalah arah baru yang diminta Tuhan dalam menapaki hidup pasca/setelah kekacauan (chaos; bencana) ini. Pertobatan yang seperti apa? Kembali kepada kisah Paulus, menjadi penganut agama atau warga gereja yang sejati tidak ditentukan dari kerajinan datang ibadah dan memberi persembahan. Itu sangat perlu tapi bukan inti dari iman kita. Hal yang sama dengan Saulus yang menjalankan kebiasaan Yahudinya dengan baik dan benar, tetaplah ia “menganiaya” Yesus. Ibadah yang rajin dalam gereja dan Pemuda ini tidak menjadi bukti dari pertobatan dengan sesama manusia, apalagi dengan alam. Pengakuan dosa yang terjadi dalam ibadah-ibadah kita masihlah pengakuan dosa yang egoistis, atau bahasa kerennya: ‘antroposentris’ (berpusat pada manusia), yaitu masih berkaitan dengan dosa-dosa pribadi yang memohon belas kasih Tuhan supaya besok-besok (semoga) tidak dilakukan lagi! Bukankah begitu?! Lalu bagaimana pertobatan ekologis itu?

Paulus ditantang untuk meninggalkan dosa eksklusifnya yang hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya saja. ibadah-ibadahnya hanya bersoal dengan kepentingan mereka saja. Renungan ini mengajak kita juga untuk mengalihkan pengakuan dosa kita yang egois tadi menuju pengakuan yang ekologis atau bahkan pertobatan yang ekologis. Artinya, segala tingkah laku kita menjadi nyata bagi keseimbangan alam ini. Hal ini bukan semata-mata tidak membuang sampah sembarangan saja. Menjaga keseimbangan alam bukan hanya urusan pemerintah dengan konservasi hutan. Menjaga keseimbangan ciptaan adalah soal memberikan arah baru bagi segala tindakan kita. Misalnya, tahu bagaimana menggunakan air bersih dan berperilaku dalam makan. Ingat, dalam Matius 25, Yesus pernah berkata bahwa jika melihat orang yang hina, teraniaya, dsb., dan kita melihat Allah di dalam mereka. Lebih dari pada itu, kesejahteraan manusia idealnya mulai dari lingkungan yang terkecil: keluarga, buurman (birman: tetangga), satu kolom, jemaat, dsb., adalah bagian dari keseimbangan alam, keseimbangan ciptaan, keseimbangan tatanan masyarakat dan jemaat. Mungkin, mulai sekarang dapat dipikirkan dan menjadi bahan diskusi, hal-hal apa saja yang menjadi keprihatinan kita akan alam ini. 

Bagi Kota Manado, arah baru dalam menjalani persekutuan baiklah juga memperhatikan keadaan bencana ini. Di daerah yang resiko bencana kecil, apa tawaran panggilan pertobatan ekologis yang bisa dijalani? Pertobatan ekologis menuntut adanya tanggung jawab manusia dengan makhuk hidup di sekitarnya, bahkan keutuhan ciptaan. Apa yang dapat dilakukan dalam rangka berdamai dengan Allah di dalam keutuhan ciptaan yang begitu dikasihi-Nya, namun kapan saja bisa mengalami bencana? Kisah Paulus yang menjadi pelajaran bagi kita, yakni dengan menanggalkan cara pandang lama tentang ibadah yang hanya rutinitas belaka, dan itu sama halnya dengan mengkhianati Kristus, memberi arah baru untuk saling memperhatikan (misalnya, dalam hal ini korban bencana). Selama ini persekutuan kita mungkin hanya berbicara tentang kelangsungan organisasi kita, dan lupa bahwa kehadiran kita sebagai persekutuan yang kudus adalah semata-mata demi kemuliaan Allah. kemuliaan Allah dapat nyata melalui kelangsungan ciptaan-Nya. Kita diminta mempunyai BELA RASA dengan apa yang terjadi. 

Berbicara tentang ‘bela rasa’ dan ‘turut merasakan apa yang terjadi’, gereja atau dalam hal ini persekutuan pemuda seharusnya dibuat “gelisah” dengan keadaan. Oleh karena dengan perasaan gelisah itulah, kita sedang sadar bahwa ada “dosa bersama” yang kita lakukan sebagai sesama umat manusia. Gelisah akan kemapanan hidup, gelisah akan kenyamanan tinggal di daerah yang mungkin beresiko kecil akan bencana, itu semua seharusnya membuat kepekaan kita muncul. Itu juga bagian dari pertobatan ekologis! Namun, kegelisahan ini harus dijawab dengan bijaksana. Pertobatan ini harus disikapi sebagai persekutuan. Dengan begitu, kita sadar bahwa kita bekerja sebagai ‘gereja’ yang adalah rekan sekerja Allah, dan bahwa itu adalah ibadah yang sejati. Sebagai persekutuan yang terhimpun dalam kategori Pemuda, secara organisasi, misalnya, dapat dimulai dari program-program yang ada. Mungkin pula, alokasi dana juga sudah ditentukan untuk hal-hal yang demikian. Ingat, kata Tuhan, “Berjaga-jagalah!” Dan, masih banyak lagi yang dapat dipikirkan, direnungkan, dan dilakukan. Selamat bertobat, selamat merenungkan pertobatan Paulus sebagai pertobatan diri dan komunitas kita, demi keutuhan ciptaan-Nya! 


Pewarta : oleh: Yoel Rampengan, Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024