Jakarta (ANTARA) - Akuisisi Twitter oleh Elon Musk ternyata tak semulus diperkirakan karena menghadapi sejumlah masalah administrasi dan juga isu yang bertalian dengan pandangan orang terkaya di dunia itu mengenai kebebasan berpendapat dan caranya memandang media sosial.

Meski begitu, apa pun yang terjadi tak akan mengusik postur finansial Musk.

Kontroversi demi kontroversi muncul, dari soal penertiban bot sampai tawaran harga lebih rendah. Kini proses akuisisi ini diselidiki oleh badan pengelola pasar modal Amerika Serikat atau SEC, karena dianggap tidak wajar.

April lalu Musk yang sejak lama mengakuisisi ingin mengubah Twitter menjadi aplikasi yang total untuk kebebasan berbicara, mengumumkan telah mengakuisisi 9 persen saham perusahaan media sosial senilai 2,64 miliar dolar AS.

Namun akuisisi ini diduga sebagian kalangan dilakukan dengan cara manipulatif sampai SEC mendalaminya, termasuk menyelidiki disclosure atau informasi keuangan tambahan untuk akuisisi oleh CEO Tesla tersebut.

SEC menanyai Musk mengapa tak mengajukan dokumen dalam waktu 10 hari setelah akuisisi dan mengapa Musk mengungkapkan akuisisi dalam formulir yang tidak pada tempatnya.

Musk menggunakan formulir "13G" untuk investor yang hanya pasif menjadi pemegang saham semata. Dia tak menggunakan formulir "13D" bagi investor yang berniat lebih dari sekadar menjadi pemegang saham namun juga ingin mempengaruhi manajemen dan kebijakan perusahaan seperti eksplisit sudah dinyatakan Musk.

Musk kemudian ditawari kursi direksi tak lama setelah disclosure akuisisi tersebut. Sejak itu dia berusaha membeli semua saham Twitter Inc seharga 44 miliar dolar AS.

Kontroversi semakin keruh manakala pemegang saham yang lain menggugat Musk dan Twitter karena proses akuisisi yang berlarut-larut telah membuat harga saham Twitter ambrol sampai 12 persen sehingga memunculkan dugaan rekayasa nilai untuk mendapatkan harga akuisisi yang rendah.

Persoalan lain yang membuat akuisisi Twitter oleh bos Tesla dan Space-X dengan kekayaan bersih Rp3.176 triliun itu (setara 60 persen dari PDB Vietnam) adalah serangkaian pendapatnya mengenai operasi Twitter yang membuat gerah banyak kalangan di Amerika Serikat, Eropa dan lainnya.

Kegerahan ini dipicu oleh pernyataan Musk bahwa tujuannya menguasai Twitter adalah agar media sosial ini menjadi platform yang sepenuhnya untuk "kebebasan berbicara."

Sekilas itu sejalan dengan semua spektrum politik di Amerika Serikat, baik konservatif maupun liberal.

Namun dalam konteks Twitter, pernyataan Musk itu menunjukkan dia ingin menjadikan Twitter sebagai platform yang permisif kepada misinformasi, hoaks, hujatan, perundungan dan ujaran kebencian.

Kaum liberal AS pun was-was. Anggota DPR Alexandria Ocasio-Cortez menyebut Musk bakal membuat Twiter menciptakan ledakan kejahatan ujaran kebencian, sementara Senator Elizabeth Warren menyebut akuisisi itu mengancam demokrasi AS.

Sebaliknya tokoh-tokoh konservatif AS seperti Senator Ted Cruz menyambut akuisisi itu sebagai kemajuan besar bagi kebebasan berbicara. Mereka berharap kehadiran Musk bisa membuat Donald Trump aktif kembali mencuit di Twitter setelah akunnya dibekukan.

Sementara tokoh-tokoh non politik seperti Bill Gates mengingatkan Twitter bisa menjadi lebih buruk karena bakal mendorong semakin meluasnya misinformasi.

Musk sendiri mengaku diri sebagai pemuja absolut kebebasan berbicara. Dia menyatakan kebebasan berbicara adalah landasan untuk berfungsinya demokrasi dan Twitter dianggapnya alun-alun digital di mana masalah penting umat manusia diperdebatkan.

Sebelum ini dia acap mengkritik Twitter karena terlalu banyak menghapus konten sebagai bagian dari kebijakan media sosial ini dalam memoderasi lalu lintas konten.

Baca juga: Elon Musk akui ada diskusi proyek masa depan dengan Presiden Jokowi

Baca juga: Jokowi puji Elon Musk super jenius untuk urusan teknologi


Membuka kotak pandora

Musk juga mengkritik media arus utama yang dianggapnya sering memojokkan dia, persis seperti Donald Trump yang menyebut media arus utama sebagai fake news. Di sini, seperti hampir semua orang berkuasa, Musk mungkin sebenarnya juga tak tahan kritik.

Padahal moderasi konten dilakukan justru demi kepentingan perusahaan media sosial dan masyarakat sendiri karena jika tidak begini maka platform sosial bisa disesaki konten-konten pornografi, spam, ujaran kebencian, teori konspirasi dan misinformasi.

Inilah aspek yang membuat banyak pihak di Barat kegerahan. Tapi mereka tak mungkin menelan ludahnya dengan mengamputasi kebebasan berbicara.

Oleh karena itu, mereka melakukannya dengan menuntut platform media sosial seperti Twitter agar memoderasi konten guna menghindarkan konten toksik dari diskusi publik.

Uni Eropa sampai membentuk sistem pengawasan media sosial melalui Undang-Undang Layanan Digital yang di antaranya mengharuskan platform-platform digital agar transparan soal algoritma mereka.

Perusahaan-perusahaan media sosial sendiri menjadi dipaksa membuat penilaian risiko internal dan harus bertanggung jawab atas konten yang diunggah penggunanya.

Tetapi di negara-negara bukan demokrasi liberal, akuisisi Twitter oleh Musk malah membuat cemas para aktivis, jurnalis dan kalangan pro demokrasi yang merupakan segmen masyarakat yang paling besar menggunakan Twitter karena untuk kawasan-kawasan seperti ini Musk malah menegaskan moderasi konten harus selaras dengan hukum setempat.

Ini kabar baik bagi pemerintah di beberapa negara karena klausul ini membuat hoaks, misinformasi dan ujaran kebencian, bisa dikendalikan pada tingkat minimal.

Sebaliknya bisa menjadi pintu masuk bagi penafsiran tunggal rezim terhadap konten-konten berbeda pandangan dengan rezim yang bisa digeneralisasi sebagai ujaran kebencian, misinformasi dan hoaks. Jika ini terjadi, maka proses check and balance yang sangat dibutuhkan dalam demokrasi, akan terbunuh.

Jadi, AS dan Eropa yang tengah digerogoti rasisme, cemas Twitter era Elon Musk bakal permisif terhadap ujaran kebencian dan disinformasi yang merusak harmoni dan integrasi sosial.

Sementara di negara-negara demokrasi yang tak seliberal Barat, apalagi di negara-negara berpenguasa otoriter, kekhawatiran itu bisa kesampingkan karena Musk menyatakan mekanisme moderasi harus selaras dengan hukum setempat.

Semua kontroversi ini terus menyelimuti Twitter sejak Musk mengakuisisi media sosial ini.

Kontroversi lain yang mendapatkan perhatian luas adalah upaya Twitter memerangi bot dan akun-akun palsu yang disebut sendiri oleh Musk sebagai prioritasnya jika menjadi pemilik Twitter.

Menurut Kepala Eksekutif Twitter Parag Agrawal, platform media sosial ini sudah menonaktifkan lebih dari setengah juta akun palsu setiap hari, dan setiap pekan mengunci jutaan akun yang dikendalikan oleh software.

Ini mungkin salah satu sisi baik masuknya Musk ke Twitter bahwa akun-akun palsu yang digerakkan secara robotik oleh software bakal diberangus.

Masalahnya tak semua bot buruk karena untuk dunia bisnis misalnya, bot bisa meningkatkan citra brand dan engagement dengan publik atau pasar walau terlihat artifisial seperti operasi akun-akun yang dibiakkan banyak pelaku digital, termasuk mungkin media dan selebritis, dalam menaikkan kunjungan web dan citra performa web.

Yang tak kalah besarnya dampak akuisisi Twitter oleh Musk adalah kemungkinan platform-platform lain menirunya atau malah mengambil langkah berseberangan dengan Musk, entah dengan sama sekali meniadakan moderasi atau membuat media sosial menjadi lebih mudah dikendalikan pihak berkuasa karena uang yang dimilikinya atau akses politik yang dipegangnya.

Akuisisi Twitter oleh Elon Musk pun menjadi terlihat telah membuka kotak pandora yang bisa membuat ekosistem lalu lintas pesan digital menjadi ekstrem, baik-baik saja, atau malah mendorong media sosial menjadi semakin baik. Semuanya baru bisa terlihat kemudian.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024