Manado, (ANTARASulut) - Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang kembali menggagas penyelenggaraan World Coral Reef Confrence (WCRC) 2014, setelah sukses menggelar World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit Mei 2009 di Manado.

WCRC diharapkan bisa membuka cakrawala baru bagi masyarakat global tentang pentingnya terumbu karang sebagai sumber pangan dunia di masa mendatang.

Country Programme Manager Asia and the Pacific Divisi on Programme Management Department, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD) Ron Hartman di Jakarta (12/6), sebagaimana diberitakan Kompos.com, mengatakan upaya pemenuhan pangan merupakan tantangan amat berat.

Produksi pangan dunia harus digandakan untuk mengantisipasi semakin parahnya krisis kebutuhan pokok itu akibat laju pertumbuhan penduduk yang amat tinggi. Jumlah penduduk dunia diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050 dari saat ini.

Jumlah penduduk dunia saat ini lebih dari 7 miliar, dan diperkirakan bertambah menjadi 14 miliar dalam waktu kurang dari empat dasawarsa mendatang. Saat ini pun, persoalan yang menyebabkan rawan pangan sudah terjadi.

Ron mengatakan, masalah itu sangat genting karena kebutuhan akan pangan dalam jumlah besar harus dipenuhi tanpa merusak tatanan dunia. "Kondisi saat ini saja cukup mengkhawatirkan. Persoalan berat ke depan, yakni kita harus menggandakan produksi pangan dunia," ucapnya.

"Semua orang harus sadar betapa mencemaskannya krisis pangan bisa terjadi pada masa depan jika tak diatasi sejak dini," kata Ron.

Sinyo Harry Sarundajang baru-baru ini telah menjelaskan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo tentang rencana pelaksanaan WCRC tahun depan di Kota Manado, yang akan melibatkan para pakar terumbu karang dan pimpinan negara-negara terkait CTI.

Adapun negara-negara terkait dalam kerjasama CTI adalah Indonesia, Filipina, Papua Nugini, Singapura, Salomon Island dan Malaysia, termasuk Amerika Serikat dan Australia sebagai negara pendonor.

WCRC ini akan diawali dengan pelaksanaan workshop CTI pada 20 Agustus 2013 di Manado, ibu kota Provinsi Sulut, kata Sarundajang ketika mempresentasikan "event" berskalah internasional itu kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, didampingi Direktur FAO di Roma, Indroyono Soesilo, dan Sarwono Kusumaatmaja.

Pada saat pelincuran WCRC di Bali beberapa pekan lalu, Sarundajang menjelaskan saat ini ada sekitar 500 juta orang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan terumbu karang.

Terumbu karang menjadi sumber bahan dan keamanan pangan, dan didapati bahwa `coral triangle` (kawasan segitiga terumbu karang) memiliki peranan sangat penting dan strategis untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia.

Karena itu, kata dia, `coral triangle` sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman jenis sangat tinggi, di antaranya ikan, karang dan organisme laut lainnya, harus dikelola dan dimanfaatkan secara benar dan berkelanjutan.

Sebagaimana publikasi WWW.goblue.or.id, sebagian besar terumbu karang dunia (55 persen) terdapat di Indonesia, Pilipina, Australia Utara dan Kepulauan Pasifik, 30 persen di Lautan Hindia dan Laut Merah. 14 persen di Karibia dan satu persen di Atlantik Utara.

Terumbu karang Indonesia mencapai 60.000 km2, sebagian besar berada di Indonesia bagian tengah, Sulawesi, Bali dan Lombok, Papua, Pulau Jawa, Kepulauan Riau dan pantai barat serta ujung barat daya Pulau Sumatera.

Menurut www.coremap.or.id, ekosistem terumbu karang merupakan gudang persediaan makanan dan bahan obat-obatan bagi manusia di masa kini maupun di masa mendatang.

Selain itu, keindahannya juga menjadi daya tarik yang bisa menjadi sumber devisa bagi negara melalui kegiatan pariwisata. Wisata bahari Indonesia tengah berkembang pesat dan ekosistem terumbu karang merupakan salah aset utamanya.

Ekosistem terumbu karang adalah tempat tinggal bagi ribuan binatang dan tumbuhan yang banyak di antaranya memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbagai jenis binatang mencari makan dan berlindung di ekosistem ini.

Berjuta penduduk Indonesia bergantung sepenuhnya pada ekosistem terumbu karang sebagai sumber pencaharian. Jumlah produksi ikan, kerang dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 persen dari jumlah tangkapan perikanan dunia.

Sumber perikanan yang ditopang oleh ekosistem terumbu karang memiliki arti penting bagi masyarakat setempat pada umumnya masih memakai alat tangkap tradisional.

Selain nilai ekonominya, ekosistem terumbu karang juga merupakan laboratorium alam sangat unik untuk berbagai kegiatan penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan berguna bagi kehidupan manusia.

Beberapa jenis spongs, misalnya, merupakan binatang yang antara lain terdapat di ekosistem terumbu karang yang berpotensi mengandung bahan bioaktif yang dapat dijadikan bahan obat-obatan antara lain untuk penyembuhan penyakit kanker.

Selain itu binatang karang tertentu yang mengandung kalsium karbonat telah dipergunakan untuk pengobatan tulang rapuh. Fungsi lain dari ekosistem terumbu karang yang hidup di dekat pantai ialah memberikan perlindungan bagi berbagai properti yang ada di kawasan pesisir dari ancaman pengikisan oleh ombak dan arus.

Ekosistem terumbu karang memiliki arti amat penting bagi kehidupan manusia, baik dari segi ekonomi maupun sebagai penunjang kegiatan rekreasi karena keindahannya.

Terumbu karang tersebar di seluruh dunia dan mencakup lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia, dengan luas diperkirakan mencapai 600.000 km2.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir 81.000 km yang dilindungi oleh ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove.

Indonesia merupakan salah satu negara terpenting di dunia sebagai penyimpan keanekaeagaman hayati laut tertinggi. Di Indonesia terdapat 2,500 spesies of molluska, 2,000 spesies krustasea, 6 spesies penyu laut, 30 mamalia laut, dan lebih dari 2,500 spesies ikan laut.

Luas ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 75.000 km2 yaitu sekitar 12 sampai 15 persen dari luas terumbu karang dunia.

Di samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang Indonesia dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari kegiatan penangkapan ikan dengan mempergunakan racun dan bahan peledak. Selain itu penangkapan berlebihan, sedimentasi, dan pencemaran, juga merupakan ancaman tak kalah beratnya.

Belakangan ini diperkirakan hampir 25 persen dari kehidupan di ekosistem terumbu karang telah mati, antara lain akibat peningkatan suhu udara hingga mencapai 40 derajat Celcius.

Pada 1994, LIPI mengadakan survei di 371 buah station transek nasional dengan menggunakan prosedur standar pemantauan internasional. Hasilnya menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang Indonesia telah mengalami kerusakan sangat serius.

Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem mengandung sumber daya alam yang dapat memberi manfaat besar bagi manusia. Dari itu diperlukan kearifan manusia untuk mengelolanya, yang bisa menjadikan sumber daya alam ini menjamin kesejahteraan manusia sepanjang zaman.

Tanpa menghiraukan masa depan dan terus-menerus merusak, ekosistem terumbu karang akan menjadi semacam padang gurun tandus di dalam laut yang hanya dipenuhi oleh patahan-patahan karang dan benda mati lainnya.

Karena itu pengelolaan sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas manusia serta mengurangi dan memantau cara-cara pemanfaatan yang merusak. Pengelolaan terumbu karang harus berbasis pada keterlibatan masyarakat, sebagai pengguna langsung sumber daya laut ini.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang sangat penting mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan sampai pada tahap evaluasi.

Indonesia berpenduduk sekitar 200 juta jiwa, terletak di sepanjang khatulistiwa mempunyai terumbu karang terluas di dunia tersebar mulai dari Aceh sampai Papua. Sekitar 60 persen penduduk itu tinggal di daerah pesisir, sehingga terumbu karang merupakan tumpuan sumber penghidupan utama mereka.

Mulai dekade 1990-an, para ahli mulai mengangkat isu tentang semakin memburuknya kondisi terumbu karang dunia, antara lain Indonesia.

Saat ini diperkirakan 10 persen dari terumbu karang dunia dalam kondisi sangat rusak dan bahkan kemungkinan tidak dapat dipulihkan kembali.

Dalam kurun waktu 20 tahun mendatang, apabila tidak ada upaya pelestarian secara intensif, maka diperkirakan 30 persen dari terumbu karang akan mengalami nasib serupa. Kegiatan manusia merupakan penyebab terbesar menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang dunia.

Semakin cepat pertumbuhan penduduk dunia, semakin padat pula permukiman di daerah pesisir, maka semakin terancam pula keberadaan ekosistem terumbu karang beserta sumber daya laut lainnya.

Melalui WCRC, diharapkan para pakar mancanegara bersinergi membuahkan solusi terbaik dalam pemanfaatan terumbu karang sebagai sumber pangan dunia, tanpa mengorbankan kelestarian ekosistem terumbu karang itu sendiri. ***4***

Kaswir

(T.K005/B/H-KWR/H-KWR) 17-07-2013 13:18:38

Pewarta : oleh Jootje Kumajas
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024