Manado, (Antara Sulut) - Ketua umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) DR.DR (Hc) Sinyo Harry mengatakan, peta politik di negara ini tidak bisa dipisahkan dari wajah sejarah sejak zaman kerajaan.
"Karena itu pada Kamis ini AIPI akan menggelar seminar nasional yang pada intinya mengangkat tema proyeksi politik Indonesia tahun ini," kata Sarundajang didampingi Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Drs Jackson F. Ruaw MSi, di Manado, Kamis.
Gubernur mengatakan, pelaksanaan seminar juga akan diisi dengan peluncuran buku "Evaluasi Reformasi Birokrasi di Indonesia" serta pemilihan pengurus AIPI Cabang Manado.
Menurut Sarundajang yang saat ini menjabat Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, dalam seminar nasional ini menghadirkan sejumlah pakar politik Indonesia seperti Ryaas Rasyid, Maswadi Rauf, Syamsuddin Haris, Mochtar Pabottinggi, dan Adriana Elisabeth.
Dia menambahkan, seminar ini sengaja mengangkat tema Proyeksi Politik Indonesia karena pada prinsipnya sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia, sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang.
"Para 'founding father' bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu," katanya..
AIPI dalam pengamatannya melihat bahwa sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Contoh konkrit, kata Sarundajang, adalah mulai bermunculannya lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks.
"Berdasarkan hal tersebut, AIPI merasa perlu melakukan pengenalan dan pembedahan lebih jauh tentang proyeksi politik di Indonesia, apa dan bagaimana politik nantinya di Indonesia," katanya.
Dia mengatakan dalam seminar akan dikaji secara mendalam mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun yang paling utama, kata dia, apa dan bagaimana AIPI harus berbuat agar politik di Indonesia berada pada porsi dan koridor yang seharusnya.
Sarundajang menjelaskan, harusnya pembangunan ekonomi sejalan dengan pembangunan politik, sebab sekarang ini nampak jelas bahwa adanya ketiadaan pembangunan politik di Asia Tenggara, mirip dengan Indonesia pada masa pra-reformasi.
"ASEAN gemar berbicara mengenai kerjasama pembangunan ekonomi, tapi selama 35 tahun tidak pernah menempatkan pembangunan politik dalam kerjasama antara negara-negara anggotanya," katanya.
Menurut dia, orientasi politik 10 negara anggota ASEAN juga sangat beragam, terdiri dari negara-negara demokratis, setengah demokratis bahkan yang lebih ekstrim, junta militer.
Kelangkaan proses demokratisasi dan penghormatan HAM di Myanmar telah menjadi isu yang memecah ASEAN, kecuali kerjasama pembangunan politik diperhatikan sehingga memungkinkan ASEAN menjadi organisasi yang kohesif.
Karena itulah sejak 2003 Indonesia telah memajukan konsep "political and security community" di samping konsep "economic and socio-cultural community".
Konsep-konsep ini, kata dia, telah menjadikan ASEAN demokratis, menghormati HAM dan memajukan "good governance".
"Peta yang sama mengenai pembangunan politik juga terdapat di kawasan Asia, yang tertinggal jauh dengan kawasan lain, tidak hanya dengan kawasan Eropa tetapi juga dengan Afrika dan Amerika Latin," katanya.
Sebagai kawasan yang sangat beragam dan tingkat pembangunan yang sangat berbeda-beda, kata dia, kemajuan demokrasi dan penghormatan HAM juga tidak pernah menjadi agenda pembicaraan antarpemerintah.
"Seperti juga di lingkungan ASEAN, kawasan Asia bangga dengan pertumbuhan ekonominya yang relatif tinggi namun alergi untuk berbicara guna memajukan kerjasama politik. Padahal pertumbuhan ekonomi di kawasan telah mencapai pada suatu titik di mana perkembangan politik juga tidak bisa dikesampingkan," katanya.
"Karena itu pada Kamis ini AIPI akan menggelar seminar nasional yang pada intinya mengangkat tema proyeksi politik Indonesia tahun ini," kata Sarundajang didampingi Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Drs Jackson F. Ruaw MSi, di Manado, Kamis.
Gubernur mengatakan, pelaksanaan seminar juga akan diisi dengan peluncuran buku "Evaluasi Reformasi Birokrasi di Indonesia" serta pemilihan pengurus AIPI Cabang Manado.
Menurut Sarundajang yang saat ini menjabat Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, dalam seminar nasional ini menghadirkan sejumlah pakar politik Indonesia seperti Ryaas Rasyid, Maswadi Rauf, Syamsuddin Haris, Mochtar Pabottinggi, dan Adriana Elisabeth.
Dia menambahkan, seminar ini sengaja mengangkat tema Proyeksi Politik Indonesia karena pada prinsipnya sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia, sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang.
"Para 'founding father' bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu," katanya..
AIPI dalam pengamatannya melihat bahwa sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Contoh konkrit, kata Sarundajang, adalah mulai bermunculannya lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks.
"Berdasarkan hal tersebut, AIPI merasa perlu melakukan pengenalan dan pembedahan lebih jauh tentang proyeksi politik di Indonesia, apa dan bagaimana politik nantinya di Indonesia," katanya.
Dia mengatakan dalam seminar akan dikaji secara mendalam mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun yang paling utama, kata dia, apa dan bagaimana AIPI harus berbuat agar politik di Indonesia berada pada porsi dan koridor yang seharusnya.
Sarundajang menjelaskan, harusnya pembangunan ekonomi sejalan dengan pembangunan politik, sebab sekarang ini nampak jelas bahwa adanya ketiadaan pembangunan politik di Asia Tenggara, mirip dengan Indonesia pada masa pra-reformasi.
"ASEAN gemar berbicara mengenai kerjasama pembangunan ekonomi, tapi selama 35 tahun tidak pernah menempatkan pembangunan politik dalam kerjasama antara negara-negara anggotanya," katanya.
Menurut dia, orientasi politik 10 negara anggota ASEAN juga sangat beragam, terdiri dari negara-negara demokratis, setengah demokratis bahkan yang lebih ekstrim, junta militer.
Kelangkaan proses demokratisasi dan penghormatan HAM di Myanmar telah menjadi isu yang memecah ASEAN, kecuali kerjasama pembangunan politik diperhatikan sehingga memungkinkan ASEAN menjadi organisasi yang kohesif.
Karena itulah sejak 2003 Indonesia telah memajukan konsep "political and security community" di samping konsep "economic and socio-cultural community".
Konsep-konsep ini, kata dia, telah menjadikan ASEAN demokratis, menghormati HAM dan memajukan "good governance".
"Peta yang sama mengenai pembangunan politik juga terdapat di kawasan Asia, yang tertinggal jauh dengan kawasan lain, tidak hanya dengan kawasan Eropa tetapi juga dengan Afrika dan Amerika Latin," katanya.
Sebagai kawasan yang sangat beragam dan tingkat pembangunan yang sangat berbeda-beda, kata dia, kemajuan demokrasi dan penghormatan HAM juga tidak pernah menjadi agenda pembicaraan antarpemerintah.
"Seperti juga di lingkungan ASEAN, kawasan Asia bangga dengan pertumbuhan ekonominya yang relatif tinggi namun alergi untuk berbicara guna memajukan kerjasama politik. Padahal pertumbuhan ekonomi di kawasan telah mencapai pada suatu titik di mana perkembangan politik juga tidak bisa dikesampingkan," katanya.