Perempuan dan HIV-AIDS
 
Salah satu tujuan Pembangunan Millenium 2015 yang sulit dicapai di Indonesia adalah menurunkan secara signifikan prevalensi dan insidensi HIV dan AIDS, hal ini mengingat besarnya tantangan dan ancaman epidemi tersebut pada masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralistik serta dipersulit dengan adanya keterbatasan kapasitas pemerintah daerah yang belum sepenuhnya mendukung mendukung upaya penghentian laju percepatan epidemi HIV dan AIDS serta kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap bahaya HIV-AIDS yang masih rendah.

Alhasil fenomena ini berbias gender sehingga kaum perempuan dituding oleh sebagian kalangan sebagai sumber dan penyebab penularan HIV-AIDS. Padahal semestinya paradigma HIV-AIDS pada perempuan harus diperpspektifkan lebih luas dengan analisa faktual dan holistik.

Bahwa laki-laki juga merupakan pihak yang bertanggung jawab ketika HIV-AIDS ada di dalam rumah tangga. Signifikansi menggunakan gender sebagai basis analisa dalam permasalahan ini yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan paradigma kalau perempuan merupakan biang penyebaran HIV-AIDS.

Cara pandang ini perlu direstrukturisasi secara kontinyu agar tercipta pembaharuan pola pikir di masyarakat kalau semua kalangan berpotensi terinfeksi HIV-AIDS dan jika berperilaku beresiko, akan ikut menjadi penyebar HIV-AIDS baik secara sadar maupun tidak sadar.

Karena dampak yang ditimbulkan telah menyentuh semua sendi-sendi kehidupan manusia, maka bahaya HIV-AIDS diperingati setiap tahunnya yaitu tanggal 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia, dan pada tahun 2012 ini ditetapkan tema "Lindungi Perempuan dan Anak Dari HIV-AIDS".

Kalimat yang terkandung makna ajakan untuk menghentikan laju epidemi HIV dan AIDS di masa mendatang melalui paradigm bahwa kalangan laki-laki juga berperan menyebarkan HIV-AIDS dan harus bertanggungjawab terhadap ketidakberdayaan perempuan untuk melawan epidemi ini.

Dibanyak tempat di dunia, ditemukan bahwa infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada perempuan atau remaja putri tidak semata-mata disebabkan oleh ketidaktahuan atau ketidakpahaman akan cara-cara pencegahan HIV.

Seringkali infeksi HIV terjadi tidak hanya karena perempuan dan remaja putri tidak memiliki kekuatan sosial dan ekonomi, sehingga mereka tidak mempunyai posisi tawar untuk melindungi diri mereka tetapi juga disebabkan oleh lingkungan adat istiadat dan budaya yang menyebabkan mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan.

Kunci pencegahan penularan HIV-AIDS yang peduli perempuan adalah pencegahan penularan HIV dan AIDS yang mengikutsertakan segala upaya untuk turut menanggulangi ketidaksetaraan gender.

 Ketidaksetaraan gender jelas-jelas memiliki potensi besar untuk memicu meluasnya penyebaran infeksi HIV. Insidensi infeksi baru HIV di Indonesia cenderung meningkat dan bukan hanya menulari kalangan pekerja seks, pengguna narkoba suntik dan hubungan seks yang tidak aman lainnya, namun
telah menulari ibu rumah tangga, bayi dalam kandungan, yang tertular melalui transmisi secara hetero seksual, jarum suntik tidak steril dan transfusi darah yang tidak aman.


Di Indonesia, jumlah perempuan yang terdeteksi dengan virus HIV diprediksikan akan terus mengalami peningkatan. Modus utama terjadinya infeksi HIV di Indonesia saat ini adalah melalui hubungan heteroseksual dan kemudian penggunaan jarum suntik tidak steril saat menggunakan NAPZA suntik.

Kombinasi keduanya sangat fatal, karena dengan cepat memicu penyebaran meluas infeksi HIV, tidak saja diantara sesama mereka pengguna NAPZA suntik, namun juga kepada pasangan atau istri mereka. Perempuan dan remaja putri ternyata lebih rentan tertular HIV.

Hasil studi menunjukkan bahwa kemungkinan perempuan dan remaja putri tertular HIV 2,5 kali dibandingkan laki-laki dan remaja putra (UNAIDS 2004). UNAIDS melaporkan bahwa 67% kasus baru HIV dan AIDS di negara berkembang ada pada kalangan usia muda (15 – 24 tahun).

Dari jumlah tersebut, 64% adalah perempuan dan remaja putri berusia 15 – 24 tahun. Status epidemi HIV dan AIDS di Indonesia sudah dinyatakan pada tingkat concentrated epidemic level oleh karena angka prevalensi kasus HIV dan AIDS di kalangan sub populasi tertentu di atas 5%.

Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2009 menunjukan angka estimasi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di kalangan wanita penjaja seks (WPS) langsung 6%, WPS tidak langsung 2%, waria 6%, pelanggan WPS 22%, pasangan pelanggan 7%, lelaki seks lelaki (LSL) 10%, warga binaan 5%, pengguna napza suntik 37%, dan pasangan seks penasun 5%.

Bahkan di Provinsi Papua dan Papua Barat status epidemi sudah memasuki tingkatan generalized epidemic level oleh karena prevalensi HIV pada masyarakat umum khususnya populasi 15-49 tahun sudah mencapai 2,4%.

Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia meningkat tajam dari 7.195 di tahun 2006 menjadi 76.879 di tahun 2011 (Kemkes, Laporan Situasi HIV dan AIDS di Indonesia, tahun 2006 dan 2011).

Menurut estimasi nasional infeksi HIV tahun 2009, diperkirakan terdapat 186.257 orang terinfeksi HIV dan 6,4 juta orang berisiko tinggi terinfeksi HIV di Indonesia (Kemkes, Estimasi Penduduk Dewasa yang Berisiko Terinfeksi HIV, 2009). Di Sulawesi Utara, total kasus HIV-AIDS yang dikeluarkan Dinas Kesehatan Sulut sampai Agustus 2012 sudah mencapai angka 1116 (413 HIV dan 703 AIDS).

Profesi Ibu Rumah Tangga menempati urutan kedua kasus terbanyak yaitu 210 orang setelah pekerja swasta 311 kasus. Sementara Pekerja Seks Komersil terdeteksi sejumlah 86 orang. Sedangkan kasus pada anak sebanyak 70 orang dengan pengelompokan umur kurang dari 1 tahun 20 orang, 1-4 tahun 36 orang dan 5-14 tahun 14 orang. Angka kasus pada perempuan di Sulut ini tentu lebih banyak jika data pada profesi pekerja swasta dan jenis pekerjaan lainnya diverifikasi lagi menurut jenis kelamin sehingga mencapai angka 466 kasus.

Makin meningkatnya jumlah kasus HIV dan AIDS pada perempuan, yang tidak berperilaku seksual berisiko tinggi namun tertular HIV dari pasangan tetapnya yang berperilaku seksual beresiko tinggi amat memprihatinkan. Situasi ini menempatkan anak pada posisi rentan terhadap HIV dan AIDS dari orang tuanya yang mengidap HIV dan AIDS dalam proses persalinan, menyusui, dan melalui media lain seperti transfusi darah.

Kerentanan perempuan terhadap HIV lebih banyak disebabkan ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual atau menyuntik narkoba dari suami atau pasangan tetapnya dan kurangnya akses untuk mendapatkan pelayanan pengobatan HIV-AIDS.

Yang lebih memprihatinkan adalah penularan virus HIV ini lebih rentan terhadap perempuan khususnya remaja putri. Kerentanan perempuan dan remaja putri untuk tertular umumnya karena kurangnya pengetahuan dan informasi mereka tentang HIV-AIDS ataupun kurangnya akses untuk mendapatkan layanan pencegahan HIV.

Oleh karena itu, saat ini program-program ditujukan khususnya untuk menyasar pada penguatan hak-hak reproduksi dan penguatan posisi tawar perempuan. Perempuan berhak mendapatkan informasi dan pelayanan yang akurat mengenai hak-hak yang berkaitan dengan kesehatan dan organ reproduksinya, dan perempuan diharapkan sadar serta mengerti benar akan hak-hak reproduksinya.

Dalam upaya pemberdayaan perempuan untuk pencegahan penyebaran HIV dan AIDS, perlu lebih mendorong perempuan untuk secara aktif turut serta dalam kegiatan-kegiatan pencegahan penyebaran bahaya HIV dan AIDS di semua tingkatan wilayah melalui berbagai kegiatan, baik secara individual maupun melalui organisasi perempuan. Kegiatan-kegiatan nyata untuk kemandirian perempuan meliputi bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Peningkatan keadilan dan kesetaraan gender baik dalam keluarga dan masyarakat dengan upaya melindungi hak-hak reproduksi perempuan, merevisi dan meninjau kembali segala peraturan perundang-undangan yang bias gender, menghentikan berbagai praktek sosial-budaya yang berkontribusi terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan, melindungi hak perempuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, mengakses informasi dan layanan kesehatan dan mendapatkan pendidikan seluas-luasnya.

Organisasi-organisasi dan lembaga yang berkompeten dan peduli perempuan baik yang melekat pada pemerintahan maupun organisasi kemasayaratan juga mestinya lebih peka dan sensitif terhadap akar permasalahan yang mendominasi kehidupan perempuan.

Penjangkauan dan pemberdayaan selama ini terkesan hanya pada kalangan perempuan berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sementara kalangan perempuan yang berprofesi rentan terhadap eksploitasi dan intimidasi seperti pekerja pub, karaoke dan tempat hiburan malam lainnya luput dari rangkulan dan sepertinya diabaikan untuk diberdayakan.

Disamping itu perempuan yang rentan terinfeksi HIV karena pekerjaan dan posisinya perlu diberikan layanan klinik VCT untuk menyelamatkan lebih banyak perempuan dari virus maut ini.  Di Sulut layanan klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) atau tempat pemeriksaan / tes HIV dengan konseling dan sukarela ini dapat diakses di RS Prof. Kandou Malalayang, RS Prof Ratumbuysang Sario,  RS Wolter Monginsidi Teling, RS Bethesda Tomohon dan RSUD Manembo-nembo Bitung. @antarasulutcom

* Penulis adalah Pengelola Program KPAP Sulut / Ketua LSM Yayasan Harapan Sentosa.





Pewarta : Jones Oroh *
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024