Manado, (Antara Sulut) - Harmonisasi muslim dan non muslim pada malam Takbiran, Idul Fitri 1 Syawwal 1433 Hijiriah di tiga kabupaten kepulauan yakni Sitaro, Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara, diibaratkan seperti sebait lagu berjudul Hitam dan Putih Jadi Satu, ciptaan Adi Luhung yang dilantunkan Betharia Sonata.

Hitam dan putih tak mungkin berpisah bagai piano, berpadu menjadikan satu irama, yaitu irama yang harmoni. Antara "hitam" dan "putih" menanggalkan sekat latar belakang keyakinan dan berbaur pada perayaan Idul Fitri. Warga non muslim mengunjungi saudaranya yang muslim.

Tradisi "pasiar" atau berkunjung, bukan hanya dilakukan pada saat warga muslim merayakan hari rayanya seperti Idul Fitri saat ini. Momentum seperti ini juga terjadi manakala warga non muslim, Protestan atau Katolik merayakan Natal, atau umat Budha merayakan Tahun Baru China. Warga muslim juga melakukan tradisi "pasiar" seperti ini.

"Pada malam Takbiran, ada banyak juga umat Kristen yang ikut meramaikan arak-arakan. Ini bukti sebuah kerukunan yang terus terbina dan langgeng sepanjang masa," kata Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sutardji Adipati SPdI, di Manado Selasa.

Dia mengatakan, semangat saling toleransi antarpemeluk agama, juga tidak bisa dipisahkan dari peran umat non muslim menciptakan keamanan, sehingga arak-arakan pada malam Takbiran berlangsung semarak.

Tak hanya warga, solidaritas juga ditunjukkan pemerintah daerah yang melepas arak-arakan di halaman rumah dinas Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe, Hironimus R Makagansa, bersama dengan pejabat daerah yang beragama non muslim. Arak-arakan mengelilingi Tahuna, yang menjadi ibu kota kabupaten.

Puncaknya, pada perayaan Idul Fitri, di mana pejabat-pejabat pemerintah daerah yang beragama non muslim mengunjungi pejabat-pejabat daerah yang beragama muslim untuk menguatkan tali silaturahmi.

"Kondisi seperti ini bisa tercipta karena terjalin harmonisasi antara umat muslim dan nonmuslim selama ini. Semua saling percaya, dan tidak khawatir akan golongan agama lain," kata Sutardji.

Suasana serupa juga terjadi di kabupaten paling utara Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Kepulauan Talaud. Sesama pemeluk agama menghargai keberagaman dan kebebasan beribadah.

Usai shalat ied di semua masjid, rumah-rumah warga muslim ramai dikunjungi warga non muslim. Saling memberi salam dan berucap maaf-memaafkan.

"Tradisi seperti ini sudah berjalan bertahun-tahun, dan masih terus terjaga sampai sekarang ini. Tidak ada masjid yang dijaga oleh warga non muslim, karena semua saling percaya," kata Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kepulauan Talaud, Hasanudin Takalondokang, SPdI, di Manado.

Di sisi lain semarak Idul Fitri menurut Sekretaris Daerah (sekda) Provinsi Sulawesi Utara, Siswa Rachmat Mokodongan adalah membangun kebersamaan melalui makna puasa selama satu bulan penuh.

Sesama warga muslim dan non muslim membangun sosial kemasyarakatan, warga yang mampu menolong yang kurang mampu sehingga dalam alam kesejahteraan sekarang ini, semua hidup bersama-sama.

"Pondasi kerukunan antarumat beragama yang sudah terbangun dan terpelihara ini menjadi pijakan menuju Provinsi Sulawesi Utara yang berbudaya, berdaya saing serta sejahtera," kata Mokodongan.

Kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara berlandaskan rasa tidak saling iri, dan memaknai Idul Fitri sebagai momentum membangun kasih sayang.

Sementara itu, dalam pandangan Kepala Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Utara, Sya`ban Mauluddin, Idul Fitri tidak hanya membangun relasi dengan sesama, tapi bagaimana mengembalikan fitrah insani kepada kesucian dasar yang manusiawi, kembali ke ajaran yang lurus, serta kembali pada asal kejadian.

"Kembali ke asal kesucian berarti kembali pada suasana bersih dan suci terlepas dari dosa dan noda. Hal ini dapat mengantarkan diri setiap insan kepada sikap taat, tunduk dan patuh pada ilahi," kata Mauluddin.

Manusia yang telah melaksanakan puasa dengan penuh keikhlasaan dalam tuntunan rasulullah, akan terlepas dari dosa, dan akan menjadi suci seperti bayi baru lahir dari rahim.

Kesucian ini hendaknya tetap pertahankan pada bulan ini dan seterusnya sepanjang 11 bulan yang akan datang, dengan senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan dan keimanan kepada Allah serta berusaha mendekatkan diri kepada Dia.

Menurut dia, manusia pada dasarnya adalah makhluk baik dan sempurna. Kesempurnaan jasmani dan rohaninya melebihi makhluk lain. Dan dengan potensi pikirannya dapat membimbing manusia membuat perbaikan untuk kesejahteraan alam semesta secara keseluruhan.

Selain memiliki potensi pikiran, manusia sebagai makhluk unik, diberikan hawa nafsu untuk melakukan kerusakan dan perbuatan tercela di alam ini.

Apabila hawa nafsu mempengaruhi akal pikiran, manusia akan tercampakkan ke lumpur kehinaan dan nista. Dan manusia seperti ini akan turun status dan derajat dari makhluk sempurna menjadi paling hina.

Dia mengatakan, ada empat golongan yang akan mendapatkan surga seluas langit dan bumi, yaitu golongan orang-orang baik yang pada waktu lapang, kecukupan dan kesempitan senantiasa memberikan yang terbaik dari sebagian harta kekayaaannya kepada orang lain.

Golongan lainnya adalah orang-orang yang mampu menahan amarah pada saat ada orang lain berbuat salah kepadanya, dan orang-orang seperti akan dijamu Allah untuk menikmati singgasana yang telah disediakan.

Golongan berikutnya adalah orang-orang yang memaafkan, di mana tipe manusia seperti ini tidak hanya mampu menahan amarah ketika ada orang yang berbuat salah kepadanya, tapi mampu dengan ikhlas memaafkannya.

Sedangkan golongan yang keempat adalah orang-orang yang bukan hanya sekadar mampu menahan amarahnya, memaafkan kesalahan orang lain, tapi mampu berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah kepadanya.

"Idul Fitri saling bersilahturahmi, saling memaafkan satu dengan yang lain. Sehingga pada saat kembali ke rumah berada dalam keadaan suci bersih tanpa noda dan dosa," katanya.
(guntur/@antarasulutcom)


Pewarta : Karel Polakitan
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024