Catatan dari Kongres Diaspora Indonesia, Los Angeles 6-8 Juli 2012

Apa yang menghubungkan antara presiden pertama Singapura, PM Malaysia, perusahaan produsen smartchip terbesar di Silicon Valley, pahlawan nasional Afsel, dan kota Macassar di Cape Town? Ternyata jawabannya adalah hanya satu..Indonesia.  Presiden pertama Singapura adalah orang Indonesia yang merantau ke negeri singa dari Sumatera, pun pencipta lagu kebangsaan Singapura (Majulah Singapura) juga adalah imigran dari Indonesia. 

Sementara PM Malaysia Najib Razak mempunyai akar yang kuat dari Bugis, sementara perusahaan pembuat chip terbesar di Silicon Valley dimiliki oleh imigran Indonesia di AS bernama Sehat Sutardja, yang tanpa produk chip-nya, bisa jadi kita takkan pernah mengenal Blackberry, Android, maupun iPhone.  Di samping itu, Syehk Yusuf al-Makassari  adalah pahlawan nasional negara Afrika Selatan yang berasal yang merupakan seorang ulama Makassar, dan di Cape Town (Afsel) telah lama berdiri kota yang didirikan oleh imigran-imigran dari Indonesia, kota itu bernama Macassar.

Orang-orang Indonesia telah berkelana ke berbagai sudut dunia sejak ribuan tahun lalu, ke benua yang kini bernama Australia, atau ke New Zealand, Guam, Madagaskar, Afrika Selatan, Sri Lanka, Kamboja, Thailand, hingga ke negeri-negeri Eropa. Sementara saat ini, ada sekitar 10 juta orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, dari pekerja di kebun-kebun kelapa sawit di Johor Baru hingga manager senior di perusahaan Boeing di Seattle, AS. 

Dari pembantu rumah tangga di sudut-sudut kota Bandar Seri Begawan hingga para pemain sepakbola yang merumput di liga Serie A Italia. Sementara itu, hampir tak terhitung jumlah orang-orang Indonesia atau berdarah Indonesia yang telah menjadi warga negara lain, ataupun mempunyai akar di Indonesia, ataupun lagi mereka yang berjiwa Indonesia.  Tak terbayang jumlahnya.

Tapi mari kita fokus dulu pada jumlah 10 juta. Dibandingkan dengan populasi Indonesia yang 237 juta, tentu 10 juta bukan angka yang fantastis, namun bayangkan saja, jumlah tersebut lebih besar dibanding dengan seluruh penduduk Swedia, atau Austria, atau Paraguay. Secara ekonomi, mereka adalah aset yang luar biasa. 

Bayangkan saja, setiap tahun mereka mengirimkan uang ke keluarga mereka di tanah air sebesar $ 7 milyar, atau sekitar Rp. 65 trilyun per tahun. Jumlah itu lebih dari 50 X APBD Propinsi Sulut, 5 X lebih besar dibanding propinsi Jatim, atau sama dengan jumlah pengeluaran seluruh wisman ke Indonesia pada 2011. Mereka tentu juga berperan mengenalkan Indonesia dengan berbagai wajahnya ke negeri-negeri tempat mereka bekerja/belajar, dan menjadi garda terdepan ‘diplomasi’ bangsa.

Selama ini kita hanya mengenal bahwa orang-orang Indonesia di luar negeri adalah para TKI dan pelajar, padahal tak terhitung jumlahnya anak-anak bangsa yang menjadi para profesional, inventor, innovator, direktur perusahaan besar, para manager di dunia perbankan dan perhotelan, guru dan dosen-dosen di universitas-universitas ternama di dunia, dan masih banyak lagi. 

Kalau kita ke Kamboja, kita akan menemukan bahwa para pemilik hotel dan manager-manager di perbankan di sana adalah orang Indonesia yang mulai merantau sejak negeri itu terbebas dari perang saudara yang berkecamuk selama 2 dekade. Di Amerika Serikat, rata-rata penghasilan orang-orang Indonesia yang bekerja di sana adalah $ 59,000 per tahun, lebih tinggi dibanding rata-rata penghasilan orang AS sendiri yakni sekitar $ 48,000 per tahun. Di Afrika Selatan, para imigran dari Indonesia adalah para pejuang kemerdekaan dan para aktifis anti-apartheid. Nelson Mandela sang bapak bangsa Afsel bahkan mengakui secara gamblang bahwa perjuangan Syekh Yusuf al-Makassary yang kita bahas di atas, telah menjadi inspirasi utamanya dalam menentang politik apartheid.

Berabad sudah anak-anak terbaik negeri ini telah berkelana ke semua ujung dunia, menjadi pionir, menjadi pejuang, dan buah pikiran serta tangan dingin mereka telah ikut menentukan jalan sejarah dunia. Selama itu pula mereka terpencar dan terberai di berbagai negeri, menjadi bagian integral dari negeri tersebut, dan mereka belum mempunyai satupun wadah resmi yang dibentuk pemerintah, seperti China yang mempunyai China Overseas.

Kita yang berada di dalam negeri sedikit sekali mengenal orang-orang hebat tersebut, sekali lagi karena mereka kurang terorganisir dan selama ini tidak terhubung satu sama lain, tidak mengenal satu sama lain, tidak memahami kebutuhan satu sama lain, dan di sisi lain, mereka pun mungkin kurang memahami apa yang bisa mereka kontribusikan untuk tanah air. Kita, mereka, dan sumber daya ekonomi serta buah pikiran mereka bagaikan jutaan titik-titik yang belum terhubung, perlu ada usaha besar untuk membangun benang merah, menghubungkan titik-titik berharga tersebut.

Maka dari itu saya tertegun ketika mendapatkan undangan dari seorang diplomat muda Indonesia yang menjadi duta besar Indonesia di AS yakni Dino Patti Djalal yang merancang sebuah tonggak sejarah yang bisa jadi akan menjadi momentum terpenting bagaimana para diaspora Indonesia di luar negeri tersebut mempunyai wadah resmi untuk terhubung satu sama lain, terhubung dengan tanah air, dan kita yang di Indonesia pun terhubung dengan baik dengan mereka. 


Kongres Diaspora Indonesia 2012 dilaksanakan di Los Angeles AS pada 6-8 Juli yang dihadiri oleh banyak perwakilan orang-orang Indonesia mulai dari ujung Australia hingga Suriname, dari New York di ujung timur AS hingga Qatar, dari Malaysia hingga Jepang. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa acara pembukaannya saja dihadiri oleh lebih dari 4000 perwakilan. Sungguh sebuah kerja besar yang patut diapresiasi.

Kongres membahas, merancang, dan memformulasikan cara yang paling baik untuk menjadikan para diaspora Indonesia tersebut menjadi sebuah entitas yang kuat, dan bahu membahu memajukan kepentingan-kepentingan bangsa di luar negeri baik secara ekonomi maupun diplomasi, memajukan ekonomi bangsa, juga menjadi wadah terbaik bagi mereka untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. (bersambung)

* Pendiri dan Pengelola Good News From Indonesia (GNFI)
   Netizen Paling Berpengaruh di Indonesia 2011 (versi The Marketeers) 
   Peserta Kongres Diaspora Indonesia I 
 



Pewarta : Akhyari Hananto *
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024