Manado (ANTARA) - Krisis energi yang melanda Inggris, China, hingga India menjadi pelajaran banyak negara terutama Indonesia untuk menjaga ketahanan energi dengan mempercepat pembangunan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan volatilitas harga energi primer merupakan benang merah dari meluasnya krisis energi fosil.
"Krisis energi memberikan pelajaran bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi menuju energi terbarukan," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa.
Fabby menyampaikan cadangan energi terbarukan di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan bagi Indonesia untuk berpindah dari energi fosil.
Menurutnya untuk mencegah bertumpu pada satu sumber energi saja, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasokan energi dan meningkatkan energi efisiensi.
Dalam upaya meningkatkan bauran energi terbarukan, maka pemerintah perlu memikirkan penyimpanan energi dalam durasi yang lama.
Interkoneksi antar pulau dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan permintaan energi antar pulau.
"Selanjutnya dalam perencanaan peta jalan transisi energi, perlu pula menyiapkan instrumen safeguard untuk melindungi akses energi bagi keluarga miskin,” ujar Fabby.
Lebih lanjut dia berpendapat agar setiap pihak dapat mengkomunikasikan dengan benar tentang krisis energi yang terjadi di negeri Britania Raya dan Eropa, sehingga tidak ada kesalahan informasi yang menimbulkan kepanikan di masyarakat.
“Indonesia tidak perlu khawatir terhadap krisis energi yang terjadi di Eropa, China, Inggris, India, karena Indonesia mempunyai keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi lebih awal dengan lebih baik,” pungkas Fabby.
Direktur Economic Consulting Associates (ECA) William Derbyshire menjelaskan bahwa ketergantungan Inggris terhadap energi fosil tercermin pada bauran pembangkit listrik yang menempatkan porsi gas sebanyak 42 persen.
Sementara untuk energi terbarukan hanya didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan porsi sebesar 16 persen.
“Jika krisis energi yang terjadi disebabkan oleh karena melonjaknya harga energi fosil, maka solusinya adalah melepas ketergantungan dari energi fosil dan beralih ke energi bersih,” ungkap William.
Sejauh ini, PLTB menjadi andalan Inggris untuk menghasilkan listrik dari pembangkit energi terbarukan. Namun, PLTB mempunyai variabilitas yang tinggi meskipun dapat diprediksi dari catatan historis pola dan kecepatan angin di suatu titik tertentu.
Menurut Managing Director Aquatera Gareth Davies, variabilitas ini dapat dikurangi jika dapat mengidentifikasi wilayah baru dengan kecepatan angin tinggi dan membangun pembangkit baru di situ.
“Dengan mendistribusikan produksi (tenaga angin) di wilayah geografis yang luas, akan dapat membantu meningkatkan ketahanan energi dan menyeimbangkan pasokan energi Inggris,” jelas Gareth.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan volatilitas harga energi primer merupakan benang merah dari meluasnya krisis energi fosil.
"Krisis energi memberikan pelajaran bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi menuju energi terbarukan," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa.
Fabby menyampaikan cadangan energi terbarukan di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan bagi Indonesia untuk berpindah dari energi fosil.
Menurutnya untuk mencegah bertumpu pada satu sumber energi saja, Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasokan energi dan meningkatkan energi efisiensi.
Dalam upaya meningkatkan bauran energi terbarukan, maka pemerintah perlu memikirkan penyimpanan energi dalam durasi yang lama.
Interkoneksi antar pulau dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan permintaan energi antar pulau.
"Selanjutnya dalam perencanaan peta jalan transisi energi, perlu pula menyiapkan instrumen safeguard untuk melindungi akses energi bagi keluarga miskin,” ujar Fabby.
Lebih lanjut dia berpendapat agar setiap pihak dapat mengkomunikasikan dengan benar tentang krisis energi yang terjadi di negeri Britania Raya dan Eropa, sehingga tidak ada kesalahan informasi yang menimbulkan kepanikan di masyarakat.
“Indonesia tidak perlu khawatir terhadap krisis energi yang terjadi di Eropa, China, Inggris, India, karena Indonesia mempunyai keunggulan untuk merancang transisi energi menuju dekarbonisasi lebih awal dengan lebih baik,” pungkas Fabby.
Direktur Economic Consulting Associates (ECA) William Derbyshire menjelaskan bahwa ketergantungan Inggris terhadap energi fosil tercermin pada bauran pembangkit listrik yang menempatkan porsi gas sebanyak 42 persen.
Sementara untuk energi terbarukan hanya didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dengan porsi sebesar 16 persen.
“Jika krisis energi yang terjadi disebabkan oleh karena melonjaknya harga energi fosil, maka solusinya adalah melepas ketergantungan dari energi fosil dan beralih ke energi bersih,” ungkap William.
Sejauh ini, PLTB menjadi andalan Inggris untuk menghasilkan listrik dari pembangkit energi terbarukan. Namun, PLTB mempunyai variabilitas yang tinggi meskipun dapat diprediksi dari catatan historis pola dan kecepatan angin di suatu titik tertentu.
Menurut Managing Director Aquatera Gareth Davies, variabilitas ini dapat dikurangi jika dapat mengidentifikasi wilayah baru dengan kecepatan angin tinggi dan membangun pembangkit baru di situ.
“Dengan mendistribusikan produksi (tenaga angin) di wilayah geografis yang luas, akan dapat membantu meningkatkan ketahanan energi dan menyeimbangkan pasokan energi Inggris,” jelas Gareth.