Manado (ANTARA) - Ada anggapan bahwa belajar dari pemikiran para pesohor zaman dahulu kala, tidaklah cukup relevan, karena seperti dipaksakan. Namun anggapan itu, bisa ditampik dengan adanya fakta bahwa apa pun pandangan kita, pemikiran para pesohor zaman dahulu kala, selalu dan akan terus relevan dengan keberadaan kita di saat ini. Hal itu tampak dengan sebuah kenyataan bahwa ketika kita kehilangan orientasi hidup, kita butuh ‘asupan energi baru’ (baca: Belajar dari pemikiran para pendahulu), untuk bisa berjalan lagi ke arah yang lebih baik. Memang hal itu terlalu ideal bagi sebagian orang, tapi justru mencerahkan bagi sebagian orang yang lain lagi. Apapun itu, pemikiran para pesohor terdahulu dapatlah dikatakan sebagai fondasi untuk berpijak.

Filosof Plato misalnya berbicara tentang keugaharian. Keugaharian adalah keutamaan diri manusia, keugaharian adalah kemampuan mengendalikan diri, mengontrol diri dan mengetahui batas. Setiap invividu yang ugahari, adalah individu yang dalam setiap tindakan, mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Hal itu menunjuk pada hikmat praktis yang membimbing invididu itu dalam setiap pilihan bertindak. Individu yang ugahari adalah pribadi yang santun, tidak ugal-ugalan tetapi bukan pengecut, tahu malu (punya rasa malu) dan berpenampilan sederhana. (Setyo Wibowo 2015: 14). 

Sejalan dengan itu, bahkan Sokrates pernah merangkum pemahamannya tentang keugaharian. Demikian kata Sokrates: Orang yang ugahari dengan demikian adalah satu-satunya orang yang akan mengetahui dirinya sendiri dan mampu memeriksa apa yang ia ketahui dan apa yang tidak ia ketahui. Ia juga akan memiliki kemampuan untuk menilai orang lain dalam hal yang sama yaitu tentang apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui. Dengan keugaharian dan kemampuan mengenal diri sendiri, orang mesti tahu tentang yang ia ketahui dan yang tidak ia ketahui. (Ibid., hlm. 58.).

Dari uraian ini, dapatlah dimengerti bahwa keugaharian menyangkut pengenalan diri seorang individu. Mengenal diri artinya mengetahui apa yang memang ia ketahui, sekaligus mengetahui apa yang tidak ia ketahui. Dan untuk sampai ke situ, harus memiliki kemampuan mengakui bahwa ada hal-hal yang memang tidak diketahui oleh individu tertentu itu. Maka, keutamaan keugaharian pada akhirnya merupakan pengenalan diri, bahwa “seseorang tahu pada batas mana ia tahu dan pada batas apa ia tidak tahu.”

Dalam perspektif ini, tentu perlu sebuah kesadaran kritis bagi tiap individu, karena kesadaran kritis ini menjadi bagian dari pendewasaan cara berpikir dan cara bertindak seseorang. Setiap orang perlulah memiliki kesadaran in karena dalam praksis kini, banyak  orang yang suka ‘menjadi sok tahu’, tapi justru tidak menyadari secara kritis bahwa dia sebetulnya tidak tahu.

Dalam praksis berkomunitas atau berkelompok, tak bisa dielakkan bahwa di dalam kelompok tertentu, terdapat individu yang ‘tampak’ mengetahui segala-galanya atau bahkan menjurus kepada sikap ‘sok tahu’, namun ada hal yang tidak dia ketahui. Anehnya, yang bersangkutan tidak menyadari bahwa dia sebetulnya serentak: Tahu dan tidak tahu. Berbanding lurus dengan fakta itu, kita mengetahui bahwa sebuah kelompok pasti dihuni oleh individu-individu yang multikultur. Dan karena multikultur, keberlangsungannya tidak serta merta lancar dan berjalan mulus. Ada individu yang setuju dengan kepemimpinan kelompok mereka, tapi ada juga yang tidak sepakat dengan pemimpinnya, bahkan terkesan suka memprovokasi anggota kelompok lain. Terhadap fakta ini, tanpa adanya kesadaran, maka kelompok tersebut tidak akan bertahan lama dalam keselarasan, kecuali dipaksakan (?).

Fakta di atas, tentu miris. Maka, hemat penulis, jika terdapat individu yang sedemikian berambisi, patutlah kita berefleksi dan introspeksi diri dengan bertanya: Apa tujuan kita memiliki ambisi besar misalnya untuk sebuah jabatan atau kedudukan? Sejauh mana pemberian diri saya dalam sebuah kelompok di masa sebelumnya, sehingga saya berambisi untuk mendapatkan kedudukan yang dimaksud? Belum lagi, ada sebuah fakta bahwa dengan ketidaksiapan menerima kepemimpinan seseorang, tak bisa dipungkiri terdapat individu yang justru mempengaruhi dengan cara memprovokasi orang-orang tertentu, agar tidak menerima kepemimpinan seseorang. Ini tentu lebih miris.

Maka dari fakta-fakta ini, dan belajar dari pandangan para filosof pendahulu, apa yang paling penting untuk saat ini? Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa dalam komunitas atau kelompok apapun, memang secara nyata memiliki berbagai tipikal individu. Setiap individu ini, tak bisa dipungkiri memiliki logika berpikir, dan cara berpikir masing-masing. Dengan keluasan logika berpikir seseorang, seharusnya, cara berpikir kita, harus menjadi sebuah kekuatan untuk bisa mengenal dan seterusnya mengendalikan diri kita. Jabatan atau kedudukan hanyalah salah satu sisi di antara sekian banyak sisi yang ada dalam realitas.

Sebuah kedudukan ibarat pembelajaran filsafat, ketika anda mengaku diri sebagai pembelajar filsafat, anda memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan orang, memberi penjelasan kepada orang tentang filsafat itu sebagaimana mestinya. Menjadi pembelajar filsafat adalah individu yang harus siap sedia untuk mengajarkan mereka tentang kejernihan berpikir. Maka dari itu, jika filsafat mencerahkan, kita tersandera. Tersandera karena kita (sang pembelajar filsafat) mempunyai tanggung jawab untuk mencerahkan orang lain. Ini merupakan tugas yang berat, seperti sebuah jabatan atau kedudukan.

Akhirnya belajar dari bagaimana filsafat menuju kepada kejernihan, (ex philosphia claritas), di era sekarang, penentuan sebuah kedudukan dalam sebuah jabatan seharusnya memang tidak hanya sebuah pemberian dari atasan, karena yang terpenting adalah merefleksikan terlebih dahulu kapasitas dan kredibiliats diri, karena hal itu seyogyanya menjadi pertimbangan utama untuk mendudukan seseorang pada jabatan tertentu. Jika pun anda memiliki impian atau katakanlah ambisi terhadap sebuah  jabatan, kuatkan kapasitas, tinggikan kredibilitas, dan memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kredibilitas itu akan menganta anda pada kedudukan kedudukan yagn lain.  (https://www.kompasiana.com/masnakoe99/5529346cf17e61c1498b46dc/filosofi-jabatan-dalam-bis-kota). Demikian juga, sebagai seorang yang menjabat sebuah kedudukan, wajib hukumnya menumbuhkan kesadaran kritis, kesadaran tentang keugaharian, agar benar-benar menjadi seorang yang ugahari, dan bukan ‘sok tahu’. (  ( ( (Ambrosius M. Loho, M. Fil, Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado - Pegiat Filsafat)


Pewarta : Ambrosius M. Loho, M. Fil
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024